(Pada zaman pertengahan dan masa modern)
A. Zaman Pertengahan
Sejarah zaman pertengahan agama Jepang diawali
dengan perpindahan pusat kota Kyoto ke Kamakura setelah revolusi pada tahun
1185. Keluarga Hojo membangun sebuah bentuk pemerintahan feodal yang kuat dan
rapi di Kamakura, dan mengadakan berbagai pembaharuan dalam berbagai bidang
kehidupan. Ketidak berhasilan penyebaran agama Budha oleh Saicho dan Kukai pada
masa awal Heian dikarenakan adanya kecenderungan untuk mengutamakan kaum bangsawan
saja. Dan pada akhir masa Heian dan masa awal Kamakura (1185-1333) terjadi
banyak kekacauan akibat lemahnya pemerintahan dan korupsi, sehingga menimbulkan
harapan umum akan munculnya perubahan. Dan agama Budha yang pada masa
sebelumnya menjadi agama yang asing dan sempat terlupakan telah berubah menjadi
agama asli Jepang dengan dipelopori oleh Saicho dengan berdasarkan pada
filsafat Tendai pada abad ke sembilan. Kelenteng yang terdapat di gunung Hiei
menjadi pusat pembaharuan itu, karena hampir semua tokoh agama abad 12 dan 13
belajar di sana dan menjadikan ajaran Tendai sebagai dasar pengajaran mereka.
Ada tiga gerakan-gerakan pembaharuan agama Budha
terpenting pada masa Kamakura, yaitu Amidaisme, Zen Budhisme, dan Budha
Nichiren.
1.
Amidaisme, aliran ini
muncul di India di bawah pengaruh Hinduisme dan memasuki Cina pada abad kedua
serta dibawa ke Jepang pada abad keenam. Pada awal abad kedua belas, paham
tersebut berkembang menjadi aliran agama Budha yang berpengaruh di Jepang
melalui tokoh-tokoh Rionin (1072-1132), Honen (1132-1212), dan Shinran
(1173-1262). Inti aliran ini mengajarkan akan keselamatan (soteriologi) yaitu,
kepercayaan mutlak kepada Amida Budha dengan istilah-istilah yang sederhana dan
mudah dicerna masyarakat. Menurut aliran ini, kelahiran kembali di negeri suci
dapat diperoleh oleh semua orang yang percaya dan memuja Amida Budha. Objek
utama pemujaannya adalah patung Amida Budha yang bisasnya dilengkapi dengan
patung Bodhisttva Kwannon, lambang kemurahan, patung Bodhisattva Daiseishi,
lambang kebijaksanaan. Ajaran-ajarannya didasarkan pada tiga kitab sutra negeri
suci, yaitu sutra Budha Kehidupan Abadi, Sutra Meditasi Budha Kehiduan Abadi,
dan sutra Amida Budha. Unsur utama peribadatannya adalah pemakaian nembutsu, yakni penyebutan nama Budha
atau pemujaan terhadap Budha.
Selain itu, terdapa
tiga sekte yang bergabung dengan aliran ini; pertama, Yuzu Nembutsu yang didirikan oleh Ryonin pada permulaan
tahun 117. Objek pemujannya berapa sebuah lukisan Amida yang dikelilingi pada
Bodhisattva. Menurut Ryonin, lukisan tersebut dibuat berdasarkan perwujudan
Amida yang dilihatnya saat dia menerima wahyu Amida; kedua, Jodo, didirikan oleh Honen pada tahun 1175. Menurutnya jalan
satu-satunya menuju keselamatan adalah penyerahan diri sepenuhnya pada
kemaha-kasih-sayangan Amida Budha. Mayoritas pengikut sekte ini percaya bahwa
setelah meninggal dunia mereka akan disambut oleh Amida Budha dan para
pengiringnya yang terdiri dari Bodhisattva. Kelak Budha Kwannon dan Budha
Daishi akan membawa mereka masuk kedalam negeri kebahagiaan; ketiga, Jhodo Shine yang didirikan pada
tahun 1224 oleh Shinran (1173-1262) murid terkenal Honen. Ajaran ini tidak
mengurangi terhadapa ajaran Honen, hanya ada beberapa tambahan yang berhubungan
dengan penyebutan nembutsu, yaitu: 1)
percaya pada penyebutan nama suci Amida sudah merupakan jaminan untuk
mendapatkan keselamatan, 2) dalam penyebutan semacam itu sudah terdapat
anugerah untuk lahir kembali di negeri suci, 3) ketika orang mempraktekkan
ajaran tadi, penyebutan nembutsu
hanya mungkin dilakukan jika dilandasi rasa terimakasih kepada Amida, dan 3)
kemampuan melakukan seperti itu bukan milik manusia, melainkan anugerah Amida,
sehingga tugas utama manusia adalah berterimakasih kepada Amida.
2.
Zen Budhisme, aliran
ini baru menjadi dasar bagi suatu sekte Zen itu sendiri pada tahun 1191, yaitu
Soto Zen. Soto Zen didirikan di Jepang oleh seorang pendeta yang bernama Dogen
(1200-1252), ajaran aliran ini memusatkan pikiran ketika melakukan meditasi
sambil duduk dalam posisi kaki bersilang. Aliran Zen Budhisme sering kali
disebut aliran pikiran Budha, tujuan aliran tersebut adalah memindahkan pikiran
Budha secara langsung ke dalam pikiran para pengikutnya, serta mengajarkan
bahwa pencerahan hanya dapat diperoleh melalui pemikiran intuitif. Seseorang
akan memperoleh pencerahan jika mlalui meditasi pikirannya menjadi kosong dan
menyerap alam ke dalam dirinya. Aliran ini sangat menekankan kepada disiplin
dan kesungguhan pribadi dalam melakukan meditasi dan kontemplasi untuk mencapai
pencerahan.
3.
Budha Nichiren,
Nichiren (1222-1282) adalah seorang tokoh utama dalam sejarah Jepang yang giat
melakukan pembaharuan sosial, sama halnya seperti pendiri aliran Amidaisme dan
Zen Budhisme, dia mula-mula mempelajari agama Budha melalui sekte Tendai di
gunung Hiei, tujuan aliran ini adalah untuk mengembalikan agama Budha pada
bentuknya yang murni yang akan dijadikannya dasar perbaikan masyarakat, setelah
sebelumnya mengalami perpecahan dan timbulnya banyak sekte yang hanya
memprioritaskan keinginan keduniawian pendetanya. Nichiren berkeyakinan bahwa
ajaran Budha yang murni hanya ditemukan dalam Lotus Sutra yang ditulis beberapa
abad sesudah masa Sakyamuni. Kitab ini kemudian dijadikan kitab utama yang
menjadi dasar ajaran yang dikembangkannya.
Pada tahun 1253, dia
mulai aktif menyebarluaskan pahamnya. Para pengikutnya kemudian bergabung dalam
sebuah sekte yang disebut sekte Nichiren, dan pengikutnya semakin bertambah
setiap tahunnya sehingga menjadi sekte yang paling utama di Jerpang.
Namun masa itu tidak berlangsung lama, setelah masa
Kamakura diganti oleh masa Ashikaga (1336-1575) agama Budha menjadi agama yang
sekuler karena tidak adanya pemerintahan yang stabil dan semangat keberagamaan
yang pupus. Masa ini bisa disebut dengan abad-abad kegelapan dalam sejarah
Jepang.
Tahun 1484, Yoshida Kanetomo (1435-1511) mendirikan
aliran Yoshida Shinto di Yamashiro, Kyoto. Pengajaran dan paham agam Shinto
lingkungan keluarga Yoshida itu kemudian dijadikan dasar aliran Yoshida Shinto.
Aliran ini mengajarkan kesatuan tiga agama, yaitu Shinto, Budha, dan Konfusius,
dengan agama Shinto sebagai basis utamanya. Jika digambarkan agama Budha dapat
dianggap sebagai bunga dan buah dari semua prinsip aturan (Sanskrit/dharma) di alam ini, agama Konfusius
sebagai cabang dan rantingnya, dan agama Shinto sebagai akar dan batangnya.
Ajaran ini tersebar luas di seluruh Jepang dan cukup berpengaruh dalam
lingkungan kependetaan dan dalam menentukan bentuk-bentuk upacara keagamaan
pada saat Restorasi Meiji 1868.
Pada awal pertenghan abad ke-16, untuk pertama
kalinya jepang mulai berhubungan dengan Barat melalui kedatangan Portugis
(1542). Tujuh tahun kemudian, St. Francis Xavier, missionaris Kristen, tiba di
Jepang dengan tujuan menyebarkan agama Kristen di kalangan bangsa Jepang. Namun
pada tahun-tahun berikutnya bangsa Jepang menyadari bahwa pemikiran-pemikiran
Barat di biarkan berkembang maka akan menimbulkan kekacauan di Jepang. Pada
tahun 1587 pemerintah memutuskan melarang semua bentuk kegiatan penyebaran
agama Kristen di Jepang, dan semua misi asing diperintahkan untuk meninggalkan
negeri tersebut, dan sebagai konsekuensinya ancaman kematian diberikan kepada
setiap orang Jepang yang menjadi pengikut agama Kriste, bahkan juga kepada
mereka yang memberikan perlindungan kepada orang-orang Kristen. Pada masa
Tokugawa atau Edo (1603-1868) adalah masa ketentraman rakyat Jepang, dia adalah
seorang jendral dan administrator yang cakap yang berhasil mempersatukan Jepang
pada tahun 1615. Sekalipun demikian dalam hal agam mengalami kemerosostan, pada
masa itu agama satu-satunya negara adalah Budha yang pada walnya dimaksudkan
agar tak seorangpun yang menjadi pengikut agama Kristen. Pemerintah melakukan
pengawasan terhadap agama tersebut dan juga mempergunakannya untuk tujuan
memelihara tertib sosial maupun untuk mengatur kehidupan spritual bangsa.
Pada awal masa Tokugawa muncul aliran Mito yang
dipelopori oleh Tokugawa Mitsukuni (1628-1700), para anggotanya terdiri dari
para sejarawan yang sangat menaruh perhatian pada teks-teks Jepang kuno dan
berusaha membangkitkan perhatian masyarakat terhadap sejarah budaya dan agama
asli Jepang. Kemudian juga muncul aliran Fukko Shinto, yang berarti Restorasi
Shinto atau Areformasi Shinto. Tokoh-tokohnya adalah Kada no Azumamaro
(1669-1736), Kamo no Mabuchi (1679-1769), Motoori Norinaga (1730-1801), dan
Hirata Atsutane (1776-1843), tujuannya adalah meneliti agama Shinto yang asli
berangkat dari penelitian yang cermat terhadap naskah-naskah kuno dan berusaha
menjelaskan alam pikiran bangsa Jepang kuno agar diperoleh pengertian inti
mengenai agama Shinto. Pada akhir masa Tokugawa berekmbang rasa tidak puas
masyarakat terhadap pemerintah, sehingga banyak terjadi pemberontakan kecil,
agama Budha yang menjadi agama negara memperoleh kesan buruk sementara perhatian
terhadap agama asli semakin meningkat, dan pada akhirnya bermunculan perasaan
anti-Budha di kalangan masyarakat. Disamping itu hubungan Jepang dengan bangsa
asing yang selama ini dihentikan, sejak dimulainya masa isolasi Jepang 1639
dibuka kembali melalui penandatangan perjanjian antara kaisar Jepang dengan
Komodor Perry pada tahun 1845. Namun hubungan tersebut hanya memperburuk
keadaan di Jepang.
Di lain pihak, pelbagai macam kelompok agama baru
banyak bermunculan. Salah satunya adalah sekte Kurozumi-kyo yang didirikan oleh
seorang pendeta Shinto pada tahun 1814 yaitu Kurozumi Munetada (1780-1850).
Pengikutnya percaya bahwa spirit yang meresapi alam adalah spirit Dewi
Matahari; dan orang harus berusaha mempersatukan diri dengan spirit ini agar
menghayati kesatuan antara dewa dan manusia yang menjadi sumber utama
kebahagiaan hidupnya.[1]
B. Masa Modern
Dimulai dari kekacauan-kekacauan yang terjadi pada
akhir masa Tokugawa memaksa kaisar turun tahta di tahun 1868, yang sekaligus
menandai awal masa modern dalam sejarah Jepang. Sejak dimulainya masa Meiji
(1868-1912) hingga meletusnya perang di tahun 1945, kehidupan agama di Jepang
sangat erat hubungannya dengan politik pemerintahan. Selama masa itu, ada hal
utama yang menjadi cirri pokok kehidupan agama di Jepang, terutama yang terkait
dengan agama Shinto, yaitu:
1.
Usaha pemerintah
menciptakan sebuah negara teokrasi
Pemerintah
Meiji berusaha mendirikan sebuah negara yang didasarkan atas konsep saisei
itchi, kesatuan agama dan politik. Oleh karena itu, banyak langkah pembaharuan
drastis dilakukan pemerintah, terutama yang berhubungan dengan agama. Semuanya
dimaksudkan untuk mendirikan sebuah negara teokrasi berdasarkan kultus agama
Shinto. Alah satu kebijakan yang mula-mula diambil adalah menghidupan kembali
Jingi-kan, lembaga resmi pemerintah yang mengurus masalah Shinto. Lembaga yang
dibentuk pada pertengahan abad ketujuh ini awalnya merupakan salah satu
departemen pemerintahan. Pada Juli 1869, lembagatadi dipisahkan dari cabinet
Jepang. Jingi-kan mengurus masalah-masalah yang berhubungan dengan berbagai
upacara dan perayaan keagamaan, hak milik agama, tingkat dan aturan kependetaa,
pengaturan tempat-tempat suci, pendidikan agama, dan ketentuan pemberian
bantuan keagamaan. Disamping itu,pemerintah juga melakukan setiap usaha yang
mungkin dilakukan dalam upaya menjadikan agama Shinto sebagai agama resmi
negara. Pada tahun 1870, dikeluaran sebuah ketetapan pemerintah yang isinya
memperkuat hubungan antara agama Shinto dan negara. Ketetapan ini secara
jelas-jelas memperlihatkan keinginan pemerintah untuk menciptakan sebuah kultus
nasional yang didasarkan atas pemujaan terhadap Dewi Matahari.dalam tahun itu
pula pemerintah mengirimkan petugas-petugas resmi keseluruh penjuru negeri
untuk mensosialisasikan ide kesatuan agama Shinto dengan negara (saise itchi).
Akan tetapi, pemerintah mengahadapi tantangan yang cukup kuat, baik dari agama
Buddha maupun dari kalangan kelompok agama baru yang banyak bermunculan pada
akhir masa pemerintahan Tokugawa. Pada bulan Agustus 1871 jingi-kan dibubarkan
sebagai gantinya dibentuk Jingi-sho atau kementrian Shinto. Lembaga inipun
hanya bertahan sementara waktu sebab pada tahun berikutnya juga dibubarkan.
Langkah pembaharuan yang diambil pemerintah menetapkan pemisahan agama dari
agama Buddha (shinbutsu bunri). Peran agama Buddha dikurangi sedemikian rupa
dan agama Shinto dijadikan kultus nasional. Setalah Kementrian Shinto juga dibubarkan sebagai
gantinya pada April 1872 dibentuk Kementrian Agama (Kyobu-sho) yang bertanggung
jawab mengurusi agama Shinto maupun agama Buddha.
Ketika terbukti usaha pengawasan
terhadap kelompok-kelompok agama baru itu sulit dilaksanakan, maka pada tahun
1882 pemerintah memutuskan untuk menggolongkannya sebagai lembaga keagamaan
ynag berdiri sendiri dengan nama tersendiri pula. Sejak saat itu, agama Shinto
dibedakan menjadi dua: Jinja Shinto
dan Kyoha Shinto. Perbedaan keduanya
didasarkan atas perbedaan sikap dan pandangan pemerintah terhadap
masing-masing. Kyoha Shinto merupakan sebuah organisasi gabungan sekte agama
yang berdiri sendiri, sementara Jinja Shinto adalah sistem keagamaan yang
diselenggarakan di tempat-tempat suci agam Shinto yang mendapat dukungan dan
bantuna dari pemerintah. Sekte-sekte yang tergabung dalam Kyoha Shinto umumnya
didirikan atas dasr ajaran dan petunjuk para pendirinya, sementara Jinja Shinto
dinyatakan sebagai agama yang berkembang secara spontan dalam kehidupan bangsa
tanpa ada yang mendirikannya, dan dilestarikan dengan tujuan memperkokoh
kepercayaan dan ritus tradisional bangsa. Pada tahun 1884 Badan Administrasi
dibubarkan, pemerintah selanjutnya menetapkan bahwa tempat-tempat suci nasional
bukan lagimerupakan lembaga-lembaga keagamaan, danmelarang semua bentuk
penyiaran dan Khutbah-khutbah agama di dalamnya. Pemeritah mengakhiri usahanya
mengawasi secara formal kehidupan agama bangsa. Tugas pengembangan kultus
nasional selanjutnya diserahkan pada Jinja Shinto.
2.
Penataan sistem Jinja
Seperti telah
disebut sebelumnya tempat-tempat suci yang tergabung dalam Jinja Shinto diawasi
dan memperoleh bantuan dari pemerintah. Hal-hal yang menyangkut organisasi
kependetaan dan upacara-upacara keagamaan di tempat-tempat suci tersebut juga
diatur dalam ketentuan-ketentuan resmi. Kegiatan-kegiatannya dibatasi hanya
dalam pelaksanaan upacara dan perayaan keagamaan yang dirasa tepat dan layak
untuk mengembangkan karakter bangsa. Keluarnya surat perintah yang melarang
tempat suci sebagai lembaga dan tempat penyiaran menjadikan Jinja Shinto
sebagai kepercyaan pemerintah dalam meneruskan pengembangan kultus nasional.
Jinja Shinto yang mendapatkan dukungan dari pemerintah membatasi
persoalan-persoalan yang menyangkut tentang kelembagaan, kependetaan, dan
upacara-upacara, dan semua itu diatur dalam ketentuan-ketentuan resmi. Tahun
1890, pemerintah mengeluarkan Piagam Pemerintah dalam hal pendidikan, yang
menekankan pada kesetiaan Kaisar dan harus menghormati jalan para dewa, dan
dihapuskannya pengajaran keagamaan di sekolah, pengembangan tekhnik pemujaan
yang tepat pada kaisar, keharusan menghormati gambar Kaisar dan tempat ibadah.
Pemerintah juga memtapkan sistem pengaturan tempat suci yang bertingkat mulai
dari desa-kota. Pengawasan akan penggunaan tempat-tempat ibadah menjadikan
sengketa terhadap kaum ultransionalis, yang memiliki anggapan putusan pemerintah
tersebut telah merendahkan martabat dan kemuliaan para dewa, dan meminta
didirikan kelembagaan yang diawasi langsung dari Kaisar. Kegagalan biro urusan
Jinja dalam memenuhi keinginana leluhur, perlunya bimbingan untuk bangsa serta
kwaliatas pemerintah yang tidak memenuhi syarat, tahun 1935 komite peneliti
Jinja mendesak agar didirikan suatu kelembagaan khusus Shinto. Selang lima
tahun kemudian badan khusus Jinja itu dipenuhi oleh pemerintah untuk
mengembangkan agama Shinto, dan badan ini mampu bertahan hingga meletusnya
perang.
- Campurtangan Pemerintah
Antara tahun
701 ketika undang-undang negeri Jepang untuk pertama kalinya dikondifikasikan
hingga tahun 1945 saat berakhirnya Perang Dunia ke II, prinsip dasr kebijakan
pemerintah dalam bidang agama adalah pengawasan dan pengarahan semua organisasi
dan lembaga keagamaan menurut selera dan keinginan pemerintah. Agama yang
diakui pemeritah memperoleh bantuan dan dukungan, semantara yang tidak diakui
tidak memiliki kebebasan menyiarkan ajarannya dan tidak mendapat bantuan
apapun.kebijakna seperti ini tetap dipertahankan sekalipun dalam undang-undang
Meiji 1889, yang diberlakukan mulai 11 Februari 1889 dicantumkan adanya hak
kemerdekaan beragama.
Hingga akhir
perang dunia II, pemerintah masih memonopoli lembaga-lembaga keagamaan. Lembaga
keagamaan yang diakui pemerintah mendapat dukunagan dan bantuan dari pemerintah
dan yang tidak diakui selalui dipersulit dalam penyiaraan keagamaannya meski
adanya undang-undang yang berisikan kebebasan beragama. Jinja Shinto yang tadinaya
ada untuk pemerintah memiliki kedudukan lebih tinggi dari sekte-sekte keagamaan
lain darri segi hukum dan tatanannya. Campur tangan pemerintah dalam hal
keagamaan terlihat juga dalam pembentukan badan keagamaan yang terpisah, yaitu
biro urusan Jinja dan biro urusan keagamaan. Kemudian dalam perjalanan waktu,
biro urusan Jinja dipindahkan ke Kementrian Pendidikan (yang tadinya bersama
biro urusan keagamaan di kementrian agama) dan merubah namanya menjadi Badan
Jinja. Undang-undang organisasi keagamaan memberi ketetapan pada tempat-tempat
suci agama Budha sebagai lembaga perseorangan dan begitu pula yang terjadi pada
agama Kristen serta sekte-sekte lainnya. Dengan demikian undang-undang
organisasi memberikan kebebasan bagi agama-agama di jepang untuk menyiarkan
ajarannya. Selain itu, undang-undang keagamaan juga mengawasi setiap gerak dari
agama-agama tersebut.
- Militerisasi Agama
Antara 1931
hingga 1945, bangsa Jepang dapat dikatakan berada dalam suasana perang. Segala
usaha pemerintah mengatur dan mengawasi semua agama pada dasarnya hanya
merupakan langkah awal mencapai tujuan yang lebih jauh yang dimulai dengan perang melawan Inggris dan Merika.
Lebih-Lebih lagi selama empat tahun, antara 1941-1945, agama dapat dikatakan
benar-benar menjadi duak pemerintah. Sebelum tahun 1940 semua badan keanggotaan
telah digunakan untuk mempertebal semangat nasionalisme dam militerisme.
Kedudukan semua tempat suci, baik local maupun nasional menjadi semakin
penting. Pemujaan dan peribadatan yang dilakukan di dalamnya bukan saja berarti
memperlihatkan entusiasme terhadap militer, tetapi juga dijadikan ukuran
kesetiaan seseorang kepada kaisar dan negerinya. Agama-agama selain Shinto,
yang pada awalnya menjauhkan diri dari corak pemujaan seperti itu akhirnya juga
ikut ambil bagaian penuh. Berdasarkan penegasan pemerintahan bahwa
tempat-tempat suci bukan merupakan lembaga-lembaga agama, maka baik agama
Protestan maupun Katolik sama-sama menceburkan diri dalam arus semangat
nasionalisme dam militerisme yang melanda seluruh Jepang. Para pemeluk agama
Buddha juga giat menyebarluaskan paham nasionalisme dan militerisme tersebut.
Berbagai gerakan ultranasionalis bahkan dipimpin langsung oleh
kelompok-kelompok agama Buddha. Semua tempat suci agama dijadikan alat untuk
mencapai tujuan nasional lebih jauh, apalagi para pendetanya terdiri dari
pegawai-pegawai pemerintah dan diatur melalui berbagai ketetapan pemerintah
tingkat pusat maupun daerah. Tempat suci Ise, Kashiwara, dan Meiji merupakan
pusat-pusat paham ultranasionalisme, dan tempat suci Hachiman menjadi sangat
popular karena memiliki hubungan erat dengan dewa perang.
Hubungan erat
antara agama dan negara di Jepang itu berakhir bersamaan dengan berakhirnya
Perang Dunia II. Pada tanggal 4 Oktober 1945 dikeluarkan sebuah ketetapan
berjudul Removal of Restriction on Polotical, Civil, and Religious Liberties
(Penghapusan Pembatasan Kemerdekaan Politik, Sipil dan Agama). Sesuai namanya,
ketetapan tadi mengharuskan penghapuskan semua undang-undang, ketetapan
peraturan, ataupun ketentuan yang membatasi hak kemerdekaan beragama, berfikir,
bersyarikat dan berpolitik. Undang-undang Organisasi Keagamaanan yang
diberlakukan pada 1940 dicabut. Pada 15 desember 1945 dikeluarkan sebuah
ketetapan lain yang disebut Abolition of Governmental Sponsorship, Support,
Perpetuation, Control, and Dissemination of the Shinto (Pencabutan Bantuan,
Dukungan, Pembakuan, Pengawasan, dan Pengembangan Agama Shinto Negara oleh
Pemerintah), yang kemudian lebih dikenal dengan istilah pedoman Shinto. Tujuan
pokok Pedoman Shinto adalah untuk menghapuskan sifat nasional agama Shinto yang
berdasarkan atas tiga prisip yaitu: pembasmian semua paham militerisme dan
ultranasionalisme, pembakuan kemerdekaan beragama dan pemisahan agama dari
negara. Pedoman Shinto juga menegaskan bahwa kepercayaan tentang kaisar Jepang
mempunyai kelebihan dibandingkan kepala-kepala negara lainnya kerena memiliki
keturunan asal-usul istimewa sebagai ajaran atau kepercayaan yang
ultranasionalis.
Pada tahun
1948, piagam Kaisar tentang pendidikan yang ditetapkan pada tahun 1890
dinyatakan tidak lagi berlaku. Sekolah-sekilah dilarang menyelenggarakan
upacara penundukan kepala ke arah Istana Kaisar, dilarang meneriakna kalimat Tenno Heika Banzai (Panjang Usia Putra
Langit) ataupun Upacara-upacara lain yang dimaksudkan untuk memuja Kaisar.
Kedudukan Kaisar Jepang sesudah perang merupakan sebuah kompromi yang
penerapannya tidak selalu mudah dan jelas. Sebagai pribadi kaisar dapat
mempraktekanagama Shinto, tetapi sebagai simbol sebuah negara ia harus menjauhkan
diri dari keterlibatkan dengan kegiatan-kegiatan agama. Bangsa Jepang
beranggapan bahwa hak kemerdekaan beragama telah di tetapkan dan dijamin dalam pasal 28 Undang-Undang
Meiji tahun 1889, tetapi undang-undang tersebut sebenarnya tidak dapat menjamin
hak kemerdekaan beragama yang sesungguhnya seperti yang ditunjukan sendiri
dalam pasal undang-undang tersebut. Perubahan sikap pemerintah merupakan dasar
utama kemerdekaan beragama dan pemisahan agama dari negara Jepang sekarang.
Sekarang agama Shinto tidak lagi menjadi agama nasional yang dapat dipaksakan,
kewajiban mmberikan bantuan terhadap agama Shintopun juga ditiadakan. Ajaran
dan peribadatannya juga sudah dihapuskan dari sistem pendidikan umum, dan Jinja
Shinto hanya dapat diakui sebagai sebuah agama yang sama kedudukannya denagna
agama-agama lain di Jepang.[2]
Daftar Pustaka
Djam’annuri, 1981, Agama Jepang, Yogyakarta:
PT Agus Arafag
Ustadi Hamzah, dkk, 2008, Agama Jepang, Yogyakarta: Bidang
Akademik UIN Sunan Kalijaga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar