Minggu, 23 September 2012

HERMENEUTIKA FILOSOFIS


(Studi atas Pemikiran Hans Georg Gadamer)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Perbincangan mengenai hermeneutika tidak lagi asing dalam keseharian kita, terkadang secara tidak sadar kita sendiri memperaktekkan hal tersebut dalam tindakan yang bisa dikategorikan dominan. Namun hal itu bukan berarti menyadarkan kita akan urgensi yang sebenarnya pada hermeneutika, hal itu dimungkinkan pengetahuan atau sangkaan kita akan hermeneutik hanyalah sebagai ‘ilmu tafsir’, sementara variabel-variabel filosofis dan kritisnya kita abaikan.
Sebelumnya mungkin telah dijelaskan asal kata hermeneutika, arti, dan sejarahnya. Pastinya, kalau kita menyimak penjelasan terdahulu tentang semua itu, maka kita akan mendapat sebuah pengertian sederhana mengenai hermeneutika, yaitu merupakan proses memahami, menerjemahkan dan menerangkan sebuah teks oleh penafsir (baca: pembaca). Dalam hal ini, kami memfokuskan kepada salah satu tokoh hermeneutika, Hans Georg Gadamer. Dia dikenal sebagai seorang filosof, pemikiran hermeneutika filosofis menjadikan corak tersendiri bagi dirinya. Lain halnya dengan para pendahulunya, seperti Shleiermacher dan Betti, dia mengasumsikan bahwa dalam memahami suatu teks seorang penafsir harus berdasarkan perandaian-perandaian yang dibangun oleh historisitasnya di masa kini. Atas pemahaman itulah maka kami mencoba untuk membahas hermeneutika filosofis Hans Georg Gadamer ini.
B.     Rumusan masalah
  1. Siapakah Hans Georg Gadamer?
  2. Bagaimana pola pikir hermeneutiknya?

BAB II
HANS GEORG GADAMER
Hans Georg Gadamer dilahirkan di Marburg pada tahun 1900. Dia belajar filsafat pada Nikolai Hartman dan Martin Heidegger di Uniersitas, di kotanya. Dia juga kuliah kepada Rudolf Butmann, seorang teolog protestan yang cukup terkenal. Pada tahun 1922 dia memperoleh gelar doktor filsafat. Pada tahun 1929 dia menjadi ‘privatdozent’ di Marburg dan menjadi profesor di tepat yang sama pada tahun 1937. 1939 dia pindah ke Lipzing dan tahun 1947 pindah ke Frankfrutam Main. Sejak tahun 1949 dia mengajar di Heildelberg sampai pensiun. Menjelang masa pensiunnya pada tahun 1960, karier filsafat Gadamerjustru mencapai puncaknya, yaitu melalui publikasi bukunya yang berjudul ‘Kebenaran dan Metode’ (Eahrheit und Methode atau Truth and Method). Karya ini merupakan dukungan yang sangat berharga bagi karya Heidegger yang berjudul ‘Sin und Zeit’ (Being and Time). Bahkan gagasan Gadamer cukup berpengaruh pula dalam ilmu-ilmu kemanusiaan seperti misalnya dalam sosiologi, teori kesusastraan, sejarah, teologi, hukum dan bahkan dalam filsafat ilmu pengetahuan alam.[1]
Proyek filsafat Gadamer, seperti dijelaskan dalam Truth and Method, adalah menguraikan konsep "hermeneutika filosofis", yang dimulai oleh Heidegger namun tak pernah dibahasnya secara panjang lebar. Tujuan Gadamer adalah mengungkapkan hakikat pemahaman manusia. Dalam bukunya Gadamer berargumen bahwa "kebenaran" dan "metode" saling bertentangan. Ia bersikap kritis terhadap kedua pendekatan terhadap humaniora (Geisteswissenschaften). Di satu pihak, ia kritis terhadap pendekatan-pendekatan modern terhadap humaniora yang mengikuti model ilmu-ilmu alam (dan dengan demikian menggunakan metode-metode ilmiah yang ketat). Di pihak lain, ia mempersoalkan pendekatan tradisional dalam humaniora, yang muncul dari Wilhelm Dilthey, yang percaya bahwa penafsiran yang tepat tentang teks berarti mengungkapkan niat asli si pengarang yang menuliskannya.[2]
Sesudah menerbitkan karya besar itu, Gadamer menerbitkan buku Plato dialektische Ethik und andere Studien zur platonischen Philosophie (Etika dialektis dan studi-studi lain tentang filsafat Plato) pada tahun1968. Kemudian lahir juga Hegel Dialektik. Funf hermeneutische Studien (Dialektika Hegel. Lima studi hermeneutika) pada tahun 1971. Berbagai artikel yang ditulis di majalah atau kesempatan lain dikumpulkan dalam empat buku yang berjudul Kleine Schriften I, II, III, IV (1967, 1967, 1972, 1977). Dalam sebuah otobiografi, dia menuliskan filosof-filosof dan filsafat-filsafat yang telah mempengaruhi dia di masa mudanya: Philosophische Lehrjahre. Eine Ruckshau (Tahun-tahun saya belajar filsafat: sebuah retropeksi) pada tahun 1977.

BAB III
POLA PIKIR HERMENEUTIK HANS GEORG GADAMER
Hans Georg Gadamer meyakini bahwa hermeneutika merupakan penyelidikan proses universal dari tindak pemahaman yang juga diklaim sebagai hakikat kapasitas manusia sebagai sebuah Ada. “Pemahaman” atau “mengerti” harus dipandang sebagai sikap yang paling fundamental dalam eksistensi manusia, atau lebih sederhananya keadaan  “paham/ mengerti” itu tidak lain daripada cara berada manusia itu sendiri. Dengan demikian eksistensi manusia selalu dibangun oleh kualitas proses pemahaman sendiri.  Pemahaman adalah dinamika dasar wujud manusia, bukan perbuatan subjektivitas, pemahaman adalah ‘suatu modus keberadaan’, bukan sesuatu yang seseorang lakukan diantara berbagai hal yang ia kerjakan. Pemahaman adalah sebagian dari faktisitas, ia mengalir dari kenyataan wujud manusia. Pemahaman adalah suatu peristiwa, terbuka, tidak diduga, tidak ada ketentuan sebelumnya dan tidak direncanakan untuk pengakuan suatu kebenaran. Jadi, pemahaman bukanlah suatu penalaran diskursif, ia lebih dahulu dari pada penalaran diskursif. Tidak ada pembakuan normatif, harus begini atau begitu.[3]
Lain halnya dengan Betti, Scleiermacher dan Dilthey yang merupakan penggagas aliran hermeneutika obyektivis, di mana hermeneutik menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan alam positivisme yang notabene mensyaratkan commensurable, yaitu obyektivisme. Sekalipun ketiga tokoh hermeneutik tersebut memiliki perbedaan dalam konteks obyektivismenya, seperti Schleiermacher lebih memfokuskan kepada “pengarang” dan Dilthey lebih pada “teks”, namun ketiganya secara utopis mensyaratkan tampilan hermeneutika yang steril dari intervensi historisitas penafsir. Hal ini tentunya melahirkan dilema bagi hermeneutika lantaran sebagai ilmu interpretasi tentu saja ia tidak bisa begitu saja dilepaskan dari entitas penafsir atau pembaca itu sendiri yang tentu memiliki wilayah historisitasnya sendiri. Dalam krusialitas inilah Gadamer memunculkan entitesis yang sangat akstrem dengan hermeneutika filosofisnya, bahwa upaya obyektivistik hanya akan menjadi kesia-siaan bagi siapapun yang ingin menafsirkan sebuah teks. Sebab antara pengarang dan penafsir terjalin jurang tradisi yang tak mungkin disatukan lagi serta bahwa penafsir tidak mungkin dikosongkan dari arus kulturalnya yang memberikan watak tersendiri sebagai modal hermeneutisnya. Dengan kata lain, bagi Gadamer, hermeneutikan yang bisa dihidupkan dengan baik ialah subyektivisme interpretasi yang relevan dengan perandaian yang dibangun oleh historisitasnya di masa kini. Dia menegaskan bahwa justru yang terpenting dalam jurang waktu dan tradisi itu adalah dialektika atau dialog produktif antara masa lalu dengan masa kini, dan ini hanya bisa dimasuki oleh bahasa. Dengan pemahaman hermenuitika yang demikian, Gadamer memproklamirkan diri sebagai penentang positivisme dalam kancah hermeneuitika.
Secara kategoris, kerangka hermeneutika Gadamer berkaitan dengan pkok-pokok khusus yaitu:
A.    Kebenaran sebagai yang taktersembunyi
Gadamer memilah secara dikotomis antara kebenaran dan metode. Gadamer tidak pernah mengidealisasikan hermeneutika sebagai sebuah metode, karena pemahaman yang ditekankannya adalah tingkat ontologis, bukan metodologis. Menurutnya, kebenaran menerangi metode-metode individual, sedangkan metode justru merintangi dan menghambat kebenaran untuk mencapai kebenaran, kita harus menggunakan dialektika[4], bukan metode, sebab dalam proses dialektis kesempatan untuk mengajukan pertanyaan secara bebas lebih banyak kemungkinannya dibandingkan dengan proses metodis. Menurutnya kebenaran dipahami sebagai ketersingkapan, ketaktersembunyian atau “ada telanjang”. Penyingkapan kebenaran itu harus mengacu pada tradisi, bukan metode ataupun teori. Baginya, manusia mampu memahai karena mereka mempunyai tradisi dan tradisi adalah bagian dari pengalaman setiap manusia, sehingga tidak akan ada pengalaman yang berarti tanpa mengacu pada tradisi.
Gadamer juga berpendapat bahwa, pemahaman selalu dapat diterapkan pada keadaan kita saat ini, meskipun pemahaman itu berhubungan dengan peristiiwa sejarah, dialektik dan bahasa. Oleh karenanya, pemahaman selalu mempunyai posisi, misalnya posisi pribadi kita sendiri saat ini. Pemahaman tidak pernah bersifat objektif dan ilmiah. Sebaba pemahaman bukanlah “mengetahui” secara statis dan di luar kerangka waktu, tetapi selalu dalam keadaan tertentu, pada satu tempat khusus dalam kerangka ruang dan waktu, misalnya dalam sejarah. Semua ‘pengalaman hidup’ itu menyejarah, begitu pula dengan bahasa dan pemahaman. Sebuah teks, baik itu peraturan perundang-undangan atau Injil, harus dipahami setiap saat, dalam setiap situasi khusus, dalam cara yang baru dan berbeda dengan yang lama, jika kedua hal tersebut ingin kita pahami sebagai mana mestinya.[5] Pemahaman diarahkan pada “ada”, bukan pada manusia atau suatu kesadaran atau sesuatu dibalik teks. Karena bukan hasil metode, pemahaman tidak berurusan dengan masalah benar atau tidak benar, bukan pula masalah kesesuaian (korespondensi). Kebenaran adalah masalah penyingkapan “ada”. Dengan hermeneutikanya, Gadamer bermaksud mengem-balikan pemahaman akan merupakan arah dari “ada”.[6]
B.     Bahasa dan pemahaman
Gadamer menjadikan bahasa sebagai isu sentral hermeneutika filosofisnya, karena bahasa merupakan endapan tradisi sekaligus medium untuk memahami, termasuk juga dalam memahami kebenaran yang tak tersembunyi.  Bahasa harus dipahami sebagai yang menunjuk pada pertumbuhan manusia secara historis, dengan kesejarahan makna-maknanya, tata bahasa dan sintaksisnya, sehingga dengan demikian bahasa muncul sebagai bentuk-bentuk variatif logika pengalaman, hakikat, termasuk pengalaman historis/ tradisi. Bahasa mencakup banyak aspek fundamental, bukan sekedar sistem relasi pemahaman subyek-obyek, manusia-benda, tetapi bahkan pemikiran dan pengalaman hidupnya yang terkristalisir dalam tradisi.
Dengan epistemologi ini, sangatlah wajar bila Gadamer mendefinisikan bahasa bukan sebagai sesuatu yang tertuju pada manusia melainkan kepada situasi. Bahasa tidak memproduksi formula sesuatu yang mungkin telah kita ketahui sebeblumnya, tetapi merupakan bentuk wujud/ada (being) dalam pemahaman yang penuh makna. Oleh karena itu, kata-kata untuk merumuskan suatu obyek atau pengalaman tidak boleh dilakukan dengan sembarangan, tetapi selalu mengacu pada obyek yang bersangkutan dan harus ada kesesuaian dengan rangkaina sebelumnya. Sehingga Gadamer mengatakan bahwa ‘hanya dengan bahasa wujud bisa diungkapkan’ pernyataan tersebut menandakan betapa fundamentalnya aspek kebahasaan dalam pemikiran hermeneutiknya.
Aplikasi bahasa sebagai pengalaman dan tradisi dalam konsep hermeneutika filosofis Gadamer memberikan implikasi besar bagi proses pemahaman hermeneutis. Hal yang paling laik dikemukakan di sini adalah pensyaratan perandaian-peranadaian bagi seseorang yang akan melakukan suatu pemahaman atau interpretasi sehingga kemudian terbangun dialog/ dialektika tanya-jawab antara penafsir dengan teks yang ditafsirkannya. Di sini akan dikemukakan beberapa variabel yang sifatnya praktis dalam hermeneutika Gadamer.
1.      Perandaian
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa untuk membangun dialektika tanya jawab antara penafsir dan teks, Gadamer mensyaratkan adanya perandaian-perandaian. Baginya menghilangkan perandaian-perandaian tersebut sama halnya dengan mematikan pemikiran. Alasannya adalah; Hans Georg Gadamer tidak mengimpikan hermeneutika bertugas menemukan arti yang asli dari suatu teks. Menurutnya, interpretasi tidak sama dengan mengambil suatu teks, kemudian mencari arti yang diletakkan di dalamnya oleh pengarang. Suatu teks tetap terbuka dan tidak terbebas pada maksud sipengarang, sehingga interpretasi dengan sendiri menjadi wahana mempercaya makna suatu teks dan bersifat produktif. Selain itu, Gadamer menyatakan kemustahilan untuk menjembatani jurang waktu antara kita sebagai penafsir dengan pengarang, karena kita tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari situasi historis di mana kitaa berada. Kerena itu, interpretasi suatau teks akan menjadi tugas yang tidak akan pernah selesai. Setiap zaman harus mengusahakan interpretasinya sendiri. Di sinilah letak urgensi perandaian-perandaian seorang penafsir tentu beranjak dari historisnya ketika akan memasuki sebuah teks yang memiliki historisitasnya sendiri.
2.      Dialektika/ dialog
Bekal historisitas dan perandaian penafsir dalam aplikasi hermeneutika Gadamer meniscayakan suatu proses dialektis atau dialog mengikuti aturan bahasa. Dalam proses ini, teks dan penafsir menjalani suatu keterbukaan satu sama lain sehingga keduanya saling memberi dan menerima yang kemudian memungkinkan bagi lahirnya pemahaman yang baru. Peristiwa dialogis di mana pertemuan antara pertanyaan dan jawaban merupakan pemicu bagi munculnya suatu pemahaman. Peristiwa ini disebut dengan peleburan cakrawala-cakrawala.[7] Dengan demikian hermeneutika yang digagas oleh Gadamer bergerak secara sirkular, artinya masa lalu dan masa kini, dalam suatu pertemuan ontologis sehingga “ada” mewahyukan dirinya sendiri. Itulah sebabnya mengapa dia tidak pernah melegitimasi sebuah penafsiran sebagai yang benar dalam dirinya sendiri, sebab setiap penafsiran bergantung dari situasi di mana penafsiran itu timbul. Lahirnya suatu pengalaman yang baru atas kebenaran sebagai yang tersingkap itu sangat ditentukan oleh proses dialektika tanya-jawab proses cakrawal-cakrawala tradisi itu.
C.    Hubungan antara kebenaran dan metode
Gadamer memang tidak menafikan sama sekali kedudukan metode, namun Gadamer menandaskan bahwa kebenaran bukanlah produk metode. Metode tidak secara mutlak merupakan wahana pemahaman yang menghasilkan kebenaran, kebenaran justru akan dicapai jika batas-batas metodologis dilampaui. Dari sini menjadi jelas sistem relasi antara ketiga elemen yang mengkerangkai pemikiran hermeneutika Gadamer. Gerakan untuk memahami “ada yang tidak tersembunyi” berpijak pada tradisi. Bahasa sebagai endapan tradisi sekaligus medium untuk memahami sehingga “ada yang taktersembunyi” itu dipahami lewat dan dalam bahasa. Akhirnya, kebebanran itu tercapai melalui “ada”-nya sendiri sesuai dengan proses dialektik dan linguistik yang melalmpaui batas-batas metodologis yang diaplikasikan oleh penafsir teks.[8]

BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Hans Georg Gadamer dilahirkan di Marburg pada tahun 1900. Dia belajar filsafat pada Nikolai Hartman dan Martin Heidegger di Uniersitas, di kotanya. Dia juga kuliah kepada Rudolf Butmann, seorang teolog protestan yang cukup terkenal. Karya terbesarnya terbit menjelang masa pensiunnya pada tahun 1960,  yaitu bukunya yang berjudul ‘Kebenaran dan Metode’ (Eahrheit und Methode atau Truth and Method).
Menurut Gadamer, hermeneutikan yang bisa dihidupkan dengan baik ialah subyektivisme interpretasi yang relevan dengan perandaian yang dibangun oleh historisitasnya di masa kini. Dia menegaskan bahwa justru yang terpenting dalam jurang waktu dan tradisi itu adalah dialektika atau dialog produktif antara masa lalu dengan masa kini, dan ini hanya bisa dimasuki oleh bahasa. Menurutnya juga, pemahaman adalah dinamika dasar wujud manusia, bukan perbuatan subjektivitas, pemahaman adalah ‘suatu modus keberadaan’, bukan sesuatu yang seseorang lakukan diantara berbagai hal yang ia kerjakan. Pemahaman adalah sebagian dari faktisitas, ia mengalir dari kenyataan wujud manusia. Pemahaman adalah suatu peristiwa, terbuka, tidak diduga, tidak ada ketentuan sebelumnya dan tidak direncanakan untuk pengakuan suatu kebenaran. Jadi, pemahaman bukanlah suatu penalaran diskursif, ia lebih dahulu dari pada penalaran diskursif. Tidak ada pembakuan normatif, harus begini atau begitu. Wallahua’lam

DAFTAR PUSTAKA
_______, 2003, Hermeneutika Transendental, Dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Editor: Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, Yogyakarta: IRCiSoD
Dalam internet, website: http://id.wikipedia.org/wiki/Hans-Georg_Gadamer.htm, diakses pada tanggal 12 Maret 2012, jm 14:50 WIB
Poespoprodjo. W, 2004, Hermeneutika, Bandung: CV Pustaka Setia
Sumaryono. E, 1999, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: P. Kanisius



[1] E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: P. Kanisius, 1999), hlm: 67-68
[2] Dalam internet, website: http://id.wikipedia.org/wiki/Hans-Georg_Gadamer.htm, diakses pada tanggal 12 Maret 2012, jm 14:50 WIB
[3] W. Poespoprodjo, Hermeneutika, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2004), hlm: 95
[4] Dialektika Gadamer lebih mengacu pada dialektika Sokrates, yang lebih tepat dikatakan dialog. Artinya, Gadamer bergerak lebih dalam kearah pengungkapan diri dalam realitas dan tidak berhenti pada pengungkapan konsep yang mutlak yaitu idealisme (pikiran dan cita-cita).
[5] E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, hlm: 81-83
[6] W. Poespoprodjo, Hermeneutika, hlm: 96
[7] Peleburan cakrawala-cakrawala itu menjadi mediator yang mengantarai masa lalu dan masa kini atau antara yang asing dengan yang lazim sebagai bagian dalam usaha memahami.
[8] _______, Hermeneutika Transendental, Dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Editor: Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), hlm: 134-144

1 komentar: