(Studi
atas Pemikiran Hans Georg Gadamer)
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Perbincangan
mengenai hermeneutika tidak lagi asing dalam keseharian kita, terkadang secara
tidak sadar kita sendiri memperaktekkan hal tersebut dalam tindakan yang bisa
dikategorikan dominan. Namun hal itu bukan berarti menyadarkan kita akan
urgensi yang sebenarnya pada hermeneutika, hal itu dimungkinkan pengetahuan
atau sangkaan kita akan hermeneutik hanyalah sebagai ‘ilmu tafsir’, sementara
variabel-variabel filosofis dan kritisnya kita abaikan.
Sebelumnya
mungkin telah dijelaskan asal kata hermeneutika, arti, dan sejarahnya.
Pastinya, kalau kita menyimak penjelasan terdahulu tentang semua itu, maka kita
akan mendapat sebuah pengertian sederhana mengenai hermeneutika, yaitu
merupakan proses memahami, menerjemahkan dan menerangkan sebuah teks oleh
penafsir (baca: pembaca). Dalam hal ini, kami memfokuskan kepada salah satu
tokoh hermeneutika, Hans Georg Gadamer. Dia dikenal sebagai seorang filosof,
pemikiran hermeneutika filosofis menjadikan corak tersendiri bagi dirinya. Lain
halnya dengan para pendahulunya, seperti Shleiermacher dan Betti, dia
mengasumsikan bahwa dalam memahami suatu teks seorang penafsir harus
berdasarkan perandaian-perandaian yang dibangun oleh historisitasnya di masa
kini. Atas pemahaman itulah maka kami mencoba untuk membahas hermeneutika
filosofis Hans Georg Gadamer ini.
B. Rumusan
masalah
- Siapakah
Hans Georg Gadamer?
- Bagaimana
pola pikir hermeneutiknya?
BAB
II
HANS
GEORG GADAMER
Hans
Georg Gadamer dilahirkan di Marburg pada tahun 1900. Dia belajar filsafat pada
Nikolai Hartman dan Martin Heidegger di Uniersitas, di kotanya. Dia juga kuliah
kepada Rudolf Butmann, seorang teolog protestan yang cukup terkenal. Pada tahun
1922 dia memperoleh gelar doktor filsafat. Pada tahun 1929 dia menjadi
‘privatdozent’ di Marburg dan menjadi profesor di tepat yang sama pada tahun
1937. 1939 dia pindah ke Lipzing dan tahun 1947 pindah ke Frankfrutam Main.
Sejak tahun 1949 dia mengajar di Heildelberg sampai pensiun. Menjelang masa
pensiunnya pada tahun 1960, karier filsafat Gadamerjustru mencapai puncaknya,
yaitu melalui publikasi bukunya yang berjudul ‘Kebenaran dan Metode’ (Eahrheit
und Methode atau Truth and Method). Karya ini merupakan dukungan
yang sangat berharga bagi karya Heidegger yang berjudul ‘Sin und Zeit’
(Being and Time). Bahkan gagasan Gadamer cukup berpengaruh pula dalam
ilmu-ilmu kemanusiaan seperti misalnya dalam sosiologi, teori kesusastraan,
sejarah, teologi, hukum dan bahkan dalam filsafat ilmu pengetahuan alam.[1]
Proyek
filsafat Gadamer, seperti dijelaskan dalam Truth and Method, adalah
menguraikan konsep "hermeneutika filosofis", yang dimulai oleh
Heidegger namun tak pernah dibahasnya secara panjang lebar. Tujuan Gadamer
adalah mengungkapkan hakikat pemahaman manusia. Dalam bukunya Gadamer
berargumen bahwa "kebenaran" dan "metode" saling
bertentangan. Ia bersikap kritis terhadap kedua pendekatan terhadap humaniora (Geisteswissenschaften).
Di satu pihak, ia kritis terhadap pendekatan-pendekatan modern terhadap
humaniora yang mengikuti model ilmu-ilmu alam (dan dengan demikian menggunakan
metode-metode ilmiah yang ketat). Di pihak lain, ia mempersoalkan pendekatan
tradisional dalam humaniora, yang muncul dari Wilhelm
Dilthey, yang percaya bahwa penafsiran yang tepat tentang teks
berarti mengungkapkan niat asli si pengarang yang menuliskannya.[2]
Sesudah
menerbitkan karya besar itu, Gadamer menerbitkan buku Plato dialektische
Ethik und andere Studien zur platonischen Philosophie (Etika dialektis dan
studi-studi lain tentang filsafat Plato) pada tahun1968. Kemudian lahir juga Hegel
Dialektik. Funf hermeneutische Studien (Dialektika Hegel. Lima studi
hermeneutika) pada tahun 1971. Berbagai artikel yang ditulis di majalah atau
kesempatan lain dikumpulkan dalam empat buku yang berjudul Kleine Schriften
I, II, III, IV (1967, 1967, 1972, 1977). Dalam sebuah otobiografi, dia
menuliskan filosof-filosof dan filsafat-filsafat yang telah mempengaruhi dia di
masa mudanya: Philosophische Lehrjahre. Eine Ruckshau (Tahun-tahun saya
belajar filsafat: sebuah retropeksi) pada tahun 1977.
BAB
III
POLA
PIKIR HERMENEUTIK HANS GEORG GADAMER
Hans
Georg Gadamer meyakini bahwa hermeneutika merupakan penyelidikan proses
universal dari tindak pemahaman yang juga diklaim sebagai hakikat kapasitas
manusia sebagai sebuah Ada. “Pemahaman” atau “mengerti” harus dipandang
sebagai sikap yang paling fundamental dalam eksistensi manusia, atau lebih
sederhananya keadaan “paham/ mengerti”
itu tidak lain daripada cara berada manusia itu sendiri. Dengan demikian
eksistensi manusia selalu dibangun oleh kualitas proses pemahaman sendiri. Pemahaman adalah dinamika dasar wujud
manusia, bukan perbuatan subjektivitas, pemahaman adalah ‘suatu modus keberadaan’,
bukan sesuatu yang seseorang lakukan diantara berbagai hal yang ia kerjakan.
Pemahaman adalah sebagian dari faktisitas, ia mengalir dari kenyataan wujud
manusia. Pemahaman adalah suatu peristiwa, terbuka, tidak diduga, tidak ada
ketentuan sebelumnya dan tidak direncanakan untuk pengakuan suatu kebenaran. Jadi,
pemahaman bukanlah suatu penalaran diskursif, ia lebih dahulu dari pada
penalaran diskursif. Tidak ada pembakuan normatif, harus begini atau begitu.[3]
Lain
halnya dengan Betti, Scleiermacher dan Dilthey yang merupakan penggagas aliran
hermeneutika obyektivis, di mana hermeneutik menjadi bagian yang tak
terpisahkan dengan alam positivisme yang notabene mensyaratkan commensurable,
yaitu obyektivisme. Sekalipun ketiga tokoh hermeneutik tersebut memiliki
perbedaan dalam konteks obyektivismenya, seperti Schleiermacher lebih
memfokuskan kepada “pengarang” dan Dilthey lebih pada “teks”, namun ketiganya
secara utopis mensyaratkan tampilan hermeneutika yang steril dari intervensi
historisitas penafsir. Hal ini tentunya melahirkan dilema bagi hermeneutika
lantaran sebagai ilmu interpretasi tentu saja ia tidak bisa begitu saja
dilepaskan dari entitas penafsir atau pembaca itu sendiri yang tentu memiliki
wilayah historisitasnya sendiri. Dalam krusialitas inilah Gadamer memunculkan
entitesis yang sangat akstrem dengan hermeneutika filosofisnya, bahwa upaya
obyektivistik hanya akan menjadi kesia-siaan bagi siapapun yang ingin
menafsirkan sebuah teks. Sebab antara pengarang dan penafsir terjalin jurang
tradisi yang tak mungkin disatukan lagi serta bahwa penafsir tidak mungkin
dikosongkan dari arus kulturalnya yang memberikan watak tersendiri sebagai
modal hermeneutisnya. Dengan kata lain, bagi Gadamer, hermeneutikan yang bisa
dihidupkan dengan baik ialah subyektivisme interpretasi yang relevan dengan
perandaian yang dibangun oleh historisitasnya di masa kini. Dia menegaskan
bahwa justru yang terpenting dalam jurang waktu dan tradisi itu adalah
dialektika atau dialog produktif antara masa lalu dengan masa kini, dan ini
hanya bisa dimasuki oleh bahasa. Dengan pemahaman hermenuitika yang demikian,
Gadamer memproklamirkan diri sebagai penentang positivisme dalam kancah
hermeneuitika.
Secara
kategoris, kerangka hermeneutika Gadamer berkaitan dengan pkok-pokok khusus
yaitu:
A. Kebenaran
sebagai yang taktersembunyi
Gadamer
memilah secara dikotomis antara kebenaran dan metode. Gadamer tidak pernah
mengidealisasikan hermeneutika sebagai sebuah metode, karena pemahaman yang
ditekankannya adalah tingkat ontologis, bukan metodologis. Menurutnya,
kebenaran menerangi metode-metode individual, sedangkan metode justru
merintangi dan menghambat kebenaran untuk mencapai kebenaran, kita harus
menggunakan dialektika[4],
bukan metode, sebab dalam proses dialektis kesempatan untuk mengajukan
pertanyaan secara bebas lebih banyak kemungkinannya dibandingkan dengan proses
metodis. Menurutnya kebenaran dipahami sebagai ketersingkapan,
ketaktersembunyian atau “ada telanjang”. Penyingkapan kebenaran itu harus
mengacu pada tradisi, bukan metode ataupun teori. Baginya, manusia mampu
memahai karena mereka mempunyai tradisi dan tradisi adalah bagian dari
pengalaman setiap manusia, sehingga tidak akan ada pengalaman yang berarti
tanpa mengacu pada tradisi.
Gadamer
juga berpendapat bahwa, pemahaman selalu dapat diterapkan pada keadaan kita
saat ini, meskipun pemahaman itu berhubungan dengan peristiiwa sejarah,
dialektik dan bahasa. Oleh karenanya, pemahaman selalu mempunyai posisi,
misalnya posisi pribadi kita sendiri saat ini. Pemahaman tidak pernah bersifat
objektif dan ilmiah. Sebaba pemahaman bukanlah “mengetahui” secara statis dan
di luar kerangka waktu, tetapi selalu dalam keadaan tertentu, pada satu tempat
khusus dalam kerangka ruang dan waktu, misalnya dalam sejarah. Semua
‘pengalaman hidup’ itu menyejarah, begitu pula dengan bahasa dan pemahaman.
Sebuah teks, baik itu peraturan perundang-undangan atau Injil, harus dipahami
setiap saat, dalam setiap situasi khusus, dalam cara yang baru dan berbeda
dengan yang lama, jika kedua hal tersebut ingin kita pahami sebagai mana
mestinya.[5]
Pemahaman diarahkan pada “ada”, bukan pada manusia atau suatu kesadaran atau
sesuatu dibalik teks. Karena bukan hasil metode, pemahaman tidak berurusan
dengan masalah benar atau tidak benar, bukan pula masalah kesesuaian (korespondensi).
Kebenaran adalah masalah penyingkapan “ada”. Dengan hermeneutikanya, Gadamer
bermaksud mengem-balikan pemahaman akan merupakan arah dari “ada”.[6]
B. Bahasa
dan pemahaman
Gadamer
menjadikan bahasa sebagai isu sentral hermeneutika filosofisnya, karena bahasa
merupakan endapan tradisi sekaligus medium untuk memahami, termasuk juga dalam
memahami kebenaran yang tak tersembunyi. Bahasa harus dipahami sebagai yang menunjuk
pada pertumbuhan manusia secara historis, dengan kesejarahan makna-maknanya, tata
bahasa dan sintaksisnya, sehingga dengan demikian bahasa muncul sebagai
bentuk-bentuk variatif logika pengalaman, hakikat, termasuk pengalaman
historis/ tradisi. Bahasa mencakup banyak aspek fundamental, bukan sekedar
sistem relasi pemahaman subyek-obyek, manusia-benda, tetapi bahkan pemikiran
dan pengalaman hidupnya yang terkristalisir dalam tradisi.
Dengan
epistemologi ini, sangatlah wajar bila Gadamer mendefinisikan bahasa bukan
sebagai sesuatu yang tertuju pada manusia melainkan kepada situasi. Bahasa
tidak memproduksi formula sesuatu yang mungkin telah kita ketahui sebeblumnya,
tetapi merupakan bentuk wujud/ada (being) dalam pemahaman yang penuh
makna. Oleh karena itu, kata-kata untuk merumuskan suatu obyek atau pengalaman
tidak boleh dilakukan dengan sembarangan, tetapi selalu mengacu pada obyek yang
bersangkutan dan harus ada kesesuaian dengan rangkaina sebelumnya. Sehingga
Gadamer mengatakan bahwa ‘hanya dengan bahasa wujud bisa diungkapkan’ pernyataan
tersebut menandakan betapa fundamentalnya aspek kebahasaan dalam pemikiran
hermeneutiknya.
Aplikasi
bahasa sebagai pengalaman dan tradisi dalam konsep hermeneutika filosofis
Gadamer memberikan implikasi besar bagi proses pemahaman hermeneutis. Hal yang
paling laik dikemukakan di sini adalah pensyaratan perandaian-peranadaian bagi
seseorang yang akan melakukan suatu pemahaman atau interpretasi sehingga
kemudian terbangun dialog/ dialektika tanya-jawab antara penafsir dengan teks
yang ditafsirkannya. Di sini akan dikemukakan beberapa variabel yang sifatnya
praktis dalam hermeneutika Gadamer.
1. Perandaian
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa
untuk membangun dialektika tanya jawab antara penafsir dan teks, Gadamer
mensyaratkan adanya perandaian-perandaian. Baginya menghilangkan
perandaian-perandaian tersebut sama halnya dengan mematikan pemikiran.
Alasannya adalah; Hans Georg Gadamer tidak mengimpikan hermeneutika bertugas
menemukan arti yang asli dari suatu teks. Menurutnya, interpretasi tidak sama
dengan mengambil suatu teks, kemudian mencari arti yang diletakkan di dalamnya
oleh pengarang. Suatu teks tetap terbuka dan tidak terbebas pada maksud sipengarang,
sehingga interpretasi dengan sendiri menjadi wahana mempercaya makna suatu teks
dan bersifat produktif. Selain itu, Gadamer menyatakan kemustahilan untuk
menjembatani jurang waktu antara kita sebagai penafsir dengan pengarang, karena
kita tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari situasi historis di mana kitaa
berada. Kerena itu, interpretasi suatau teks akan menjadi tugas yang tidak akan
pernah selesai. Setiap zaman harus mengusahakan interpretasinya sendiri. Di
sinilah letak urgensi perandaian-perandaian seorang penafsir tentu beranjak
dari historisnya ketika akan memasuki sebuah teks yang memiliki historisitasnya
sendiri.
2. Dialektika/
dialog
Bekal historisitas dan perandaian
penafsir dalam aplikasi hermeneutika Gadamer meniscayakan suatu proses
dialektis atau dialog mengikuti aturan bahasa. Dalam proses ini, teks dan
penafsir menjalani suatu keterbukaan satu sama lain sehingga keduanya saling
memberi dan menerima yang kemudian memungkinkan bagi lahirnya pemahaman yang
baru. Peristiwa dialogis di mana pertemuan antara pertanyaan dan jawaban
merupakan pemicu bagi munculnya suatu pemahaman. Peristiwa ini disebut dengan
peleburan cakrawala-cakrawala.[7]
Dengan demikian hermeneutika yang digagas oleh Gadamer bergerak secara
sirkular, artinya masa lalu dan masa kini, dalam suatu pertemuan ontologis
sehingga “ada” mewahyukan dirinya sendiri. Itulah sebabnya mengapa dia tidak
pernah melegitimasi sebuah penafsiran sebagai yang benar dalam dirinya sendiri,
sebab setiap penafsiran bergantung dari situasi di mana penafsiran itu timbul.
Lahirnya suatu pengalaman yang baru atas kebenaran sebagai yang tersingkap itu
sangat ditentukan oleh proses dialektika tanya-jawab proses cakrawal-cakrawala
tradisi itu.
C. Hubungan
antara kebenaran dan metode
Gadamer
memang tidak menafikan sama sekali kedudukan metode, namun Gadamer menandaskan
bahwa kebenaran bukanlah produk metode. Metode tidak secara mutlak merupakan
wahana pemahaman yang menghasilkan kebenaran, kebenaran justru akan dicapai
jika batas-batas metodologis dilampaui. Dari sini menjadi jelas sistem relasi
antara ketiga elemen yang mengkerangkai pemikiran hermeneutika Gadamer. Gerakan
untuk memahami “ada yang tidak tersembunyi” berpijak pada tradisi. Bahasa
sebagai endapan tradisi sekaligus medium untuk memahami sehingga “ada yang
taktersembunyi” itu dipahami lewat dan dalam bahasa. Akhirnya, kebebanran itu
tercapai melalui “ada”-nya sendiri sesuai dengan proses dialektik dan
linguistik yang melalmpaui batas-batas metodologis yang diaplikasikan oleh
penafsir teks.[8]
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Hans
Georg Gadamer dilahirkan di Marburg pada tahun 1900. Dia belajar filsafat pada
Nikolai Hartman dan Martin Heidegger di Uniersitas, di kotanya. Dia juga kuliah
kepada Rudolf Butmann, seorang teolog protestan yang cukup terkenal. Karya
terbesarnya terbit menjelang masa pensiunnya pada tahun 1960, yaitu bukunya yang berjudul ‘Kebenaran dan
Metode’ (Eahrheit und Methode atau Truth and Method).
Menurut
Gadamer, hermeneutikan yang bisa dihidupkan dengan baik ialah subyektivisme
interpretasi yang relevan dengan perandaian yang dibangun oleh historisitasnya
di masa kini. Dia menegaskan bahwa justru yang terpenting dalam jurang waktu
dan tradisi itu adalah dialektika atau dialog produktif antara masa lalu dengan
masa kini, dan ini hanya bisa dimasuki oleh bahasa. Menurutnya juga, pemahaman
adalah dinamika dasar wujud manusia, bukan perbuatan subjektivitas, pemahaman
adalah ‘suatu modus keberadaan’, bukan sesuatu yang seseorang lakukan diantara
berbagai hal yang ia kerjakan. Pemahaman adalah sebagian dari faktisitas, ia
mengalir dari kenyataan wujud manusia. Pemahaman adalah suatu peristiwa,
terbuka, tidak diduga, tidak ada ketentuan sebelumnya dan tidak direncanakan
untuk pengakuan suatu kebenaran. Jadi, pemahaman bukanlah suatu penalaran
diskursif, ia lebih dahulu dari pada penalaran diskursif. Tidak ada pembakuan
normatif, harus begini atau begitu. Wallahua’lam
DAFTAR
PUSTAKA
_______, 2003, Hermeneutika
Transendental, Dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Editor:
Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, Yogyakarta: IRCiSoD
Dalam internet, website: http://id.wikipedia.org/wiki/Hans-Georg_Gadamer.htm,
diakses pada tanggal 12 Maret 2012, jm 14:50 WIB
Poespoprodjo. W, 2004, Hermeneutika, Bandung:
CV Pustaka Setia
Sumaryono. E, 1999, Hermeneutik,
Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: P. Kanisius
[1] E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta:
P. Kanisius, 1999), hlm: 67-68
[2] Dalam internet, website: http://id.wikipedia.org/wiki/Hans-Georg_Gadamer.htm,
diakses pada tanggal 12 Maret 2012, jm 14:50 WIB
[3] W. Poespoprodjo, Hermeneutika, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2004), hlm: 95
[4] Dialektika Gadamer lebih mengacu pada dialektika Sokrates, yang lebih
tepat dikatakan dialog. Artinya, Gadamer bergerak lebih dalam kearah
pengungkapan diri dalam realitas dan tidak berhenti pada pengungkapan konsep
yang mutlak yaitu idealisme (pikiran dan cita-cita).
[5] E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, hlm: 81-83
[6] W. Poespoprodjo, Hermeneutika, hlm: 96
[7] Peleburan cakrawala-cakrawala itu menjadi mediator yang mengantarai
masa lalu dan masa kini atau antara yang asing dengan yang lazim sebagai bagian
dalam usaha memahami.
[8] _______, Hermeneutika Transendental, Dari Konfigurasi Filosofis
menuju Praksis Islamic Studies, Editor: Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin,
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), hlm: 134-144
ijin copy ya?
BalasHapus