A.
Pengantar
Masjid
Gedhe Kauman merupakan masjid tertua yang dibangun oleh Sri Sultan Hamengku
Buwono I bersama Kyai Faqih Ibrahim Diponingrat (Pnghulu Kraton 1) dan Kyai
Wiryokusumo sebagai arsitekturnya. Masjid ini dibangun pada hari Ahad Wage, 29 Mei 1773 M atau 6 Robi’ul Akhir
1187 H, dibangun sebagai sarana beribadah bagi keluarga raja serta untuk
kelengkapan sebuah kerajaan Islam. Atap masjid bersusun tiga dengan gaya
tradisional Jawa bernama Tajuk Lambang
Teplok dengan mustaka berbentuk Daun Kluwih dan Gada yang ditopang oleh
tiang-tiang dan kayu jati Jawa yang usianya mencapai ratusan tahun. Dinding masjid
terbuat dari susunan batu putih dan lantainya dari batu kali hitam.[1]
Menurut
masyarakat Sri Sultan Hemengkubuwono 1 sebelum jadi raja, beliau seorang muslim
yang taat mengerjakan sholat, puasa wajib dan puasa Senin-Kamis. Selain itu, ia
juga pemberani dalam ber-Amar Ma’ruf Nahi
Mungkar membersihkan kemaksiatan, menegakan keadilan dan kebenaran, serta
melawan penjajahan.
Antusias
masyarakat sekitar untuk beribadah pada waktu itu merupakan alasan yang utama
dibangunnya serambi masjid yang juga difungsikan sebagai “al Mahkamah al Kabiroh”,[2] pada
hari Kamis Kliwon, 20 Syawal 1189 H/ 1775 M. Dibangun juga Pagongan (Pa:
tempat, Gong-an: salah satu alat gamelan) yang berarti tempat gamelan, gamelan
tersebut dimainkan pada setiap bulan Maulid. Pada hari Senin 23 Syuro tahun Dal
1767 Jw/ Muharram 1255 H 1840 M dibangun pintu Gerbang Masjid atau Regol dengan
nama Gapura yang diambil dari kata Ghofuro
(ampunan dari dosa).[3]
Pada
tahun 1867 di Jogjakarta terjadi gempa bumi yang meruntuhkan serambi masjid.
Tetapi serambi tersebut dibangun kembali oleh Sultan Habengkubuwono VI dengan
dua kali lipat luasnya dari pada serambi Masjid Gedhe Kauman yang roboh.
serambi masjid yang baru ini tetap berdiri kokoh hingga saat ini. Pada tahun
1917 dibangun Gedung Pajangan (pa=tempat, jaga=berjaga keamanan), dan terletak
di kanan kiri Regol masjid, memanjang keutara dan keselatan. Gedung ini
digunakan untuk para prajurit keraton (tentara kraton), untuk keamanan masjid
dan setiap hari besar Islam.
Pada tahun 1933 atas prakarsa Sri Sultan
Habegkubawono VIII, lantai serambi Masjid yang tadinya dari batu kali diganti
dengan Tegal Kemangan yang indah. Setiap itu pula diadakan perggantian atap Masjid,
dari sirap diganti dengan Seng Wiron yang tebal dan lebih kuat. Pada tahun
1936 atas perakarsa Sultan Hamengkubuwono
VIII diadakan penggantian lantai dasar Masjid yang dulunya dari batu kali
kemudian di ganti dari marmer dari Itali. Pada zaman kemerdekaan Republik
Indonesia, Masjid Gedhe Kauman mendapat perhatian dari pemerintah yaitu
diadakan renovasi dan berbagai bentuk pemeliharaan secara bertahap hingga
sampai kini.
Terkait nama Masjid Gedhe Kauman,
pada awal berdirinya masjid ini lebih dikenal dengan sebuatan Masjid Gedhe. masjid
ini terletak di sebelah barat alun-alun Keraton, berdampingan dengan Pengalon yang terletak di sisi utara Masjid
Gedhe, pengalon tersebut merupakan perumahan yang disediakan oleh Sultan bagi
penghulu Keraton dengan keluarganya. Bagi para Ulama Ketib (Khotib), Modin (Muadzin),
Merbot, Abdi Dalem Pametakan, Abdi Dalem
Kaji Selusinan, Abdi Dalem Banjar Mangah, sebagian dari mereka diberikan
fasilitas perumahan disekitar kompleks Masjid Gedhe yang dinamakan Pakauman (=tempat para Kauman=
Qoimuddin+ Penegak Agama) yang akhirnya dikenal dengan Kampung Kauman. Pada awalnya masjid ini merupakan tempat beribadah
bagi raja, keluarganya dan abdi dalem serta masyarakat kampung Kauman di
sekitar Keraton sehingga masjid ini dikenal dengan Masjid Gedhe Kauman,
begitula yang dituturkan oleh ketua Takmir Masjid Bapak H. Budi Setiawan. Namun
pada perkembangannya masjid ini menjadi sarana peribadatan masyarakat sekitar
pada umumnya.
B.
Dewan
Takmir Masjid Gedhe Kauman
Seperti halnya lembaga-lembaga
agama pada umumnya, di Masjid Gedhe Kauman terdapat struktur kepengurusan
termasuk juga bidang-bidangnya, yaitu :
Ketua Umum : H. Budi Setiawan, ST
Wakil Ketua : Ir. H. Azman Latif.
Sekretaris Umum : H. M. Julianto Supardi
Sekretaris -1 : Drs. Muh Helmy AS
Bendahara Umum : H. M. Damrozi
Bendahara -1 : Drs. H. Radjiman
Humas : Ir. Ahmad Yulianto
M.
Rachman Kusuma
Bidang Ibadah
Ketua : H. A. Saifuddin Amin, BA
Kord. Imam : H. Badrzzaman
Kord. Khotib : Drs. Hamid Nurhadi
Kord. Muadzin : M Waslan Aslam
Kord. Tatib Jama’ah : M Uswar Badawi
Bidang Syi’ar
Ketua : Ngaliman, S.Pd I
Kord. Hari Besar : H. Edy Yanto
M.
Satrio Rifa’i, SE
M
Asrizal Noor, Amd
Kord. Kessosmas : Syahrir, S.Psi
Drs.
Haryadi
M.
Yusuf Fauzani
Feri
Indiyanto, S.Kom
Bidang
Pendidikan dan Dakwah
Ketua : Drs. H. A. Abadi Darban SU
Kord. Tarbiyah : Drs. M. Haffan Z Mpd
Wahyu
Hidayat S.Ag
Kord. Dakwah : Drs. Imam Johari
H.
Edy Yulianto SH, KN
Kord. Perpustakaan : Budi Cipto Wibowo
Kord. Remaja Masjid : Fatkhuni’am Arrozi
Bidang Rumah
Tangga
Ketua : Rohib Winastuan
Kord. Kebersihan : Untung Herbianto
Kord. Konsumsi : M Hartono
Oprtr. AME : Irianto Cahyo Utomo
M
Saiful Bahri
Kord. Kemanan : Drs. H. Asnawi A, N M.Si
Drs.
M Zamron Aslam
Bidang Sarana
dan Prasarana
Ketua : Ir. H. Munichy B E M. Arch
Kord. BSP : Ir. Arief Purwanto
Kord. AM&E : Akrom Nufitriyanto, ST
M
Arri Rusdiyantara, ST
Pem. Property : Drs. M Chawari,
Drs.
Widyastuti, M.Hum
Kord. Landscape : Ir. H. M. Iftironi M.La
M
Zuhairi
Penggalian Dana
Ketua : H. Nasri Yunus Anis, SH
H.
M. Fauzi
Drs.
H. Zamzuri Umar, SU
Priyo
Twiharsanto, ST
C. Program Kegiatan Masjid Gedhe Kauman
Dalam hal ini kegiatan Masjid dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu:
1.
Kegiatan Rutin
a.
Shalat rawatib berjemaah lima waktu
b.
Adzan Awwal
c.
Penyediaan fasilitas Shalat Lail (jam
03.00 WIB)
2.
Kegiatan Periodik
a.
Pengajian umum, setiap hari Kamis ba’dah
shalat Maghrib
b.
Taddarus safari al-Qur’an, setiap hari
Kamis ba’da shalat Isya’ (bergiliran)
c.
Penyelenggaraan shalat Jum’at
d.
Kajian tafsir fiqih/ kitab kuning,
setiap hari Jum’at ba’da shalat Maghrib
e.
Pengajian berbahasa Jawa, setiap hari
sabtu ba’da shalat Subuh
f.
Kajian tafsir al-Qur’an, setiap hari
Sabtu ba’da shalat Maghrib
g.
Pengajian anak-anak setiap hari Sabtu
ba’da shalat Maghrib
h.
Pengajian remaja, setiap hari Ahad
pertama (setiap bulan sekali)
i.
Mubalighin, setiap hari Ahad siang ba’da
shalat Ashar
j.
Kursus seni baca al-Qur’an setiap senin
petang
k.
Penyelenggaraan shalat Tarawih
berjema’at ba’da shalat Isya’ setiap bulan Ramadlan
l.
Penyelenggaraan shalat Tarawih
berjema’at dini hari pada bulan Ramadlan
m.
Penyelenggaran caramah agama dan buka
puasa bersama/ ta’jil pada bulan Ramdlan
n.
Pengajian menyambut Nuzulul Qur’an pada
bulan Ramadlan
o.
Pesantren Kilat untuk rmaja
p.
Pembatalan/ Buka Puasa bersama ba’da
shalat Subuh setiap tanggal satu Syawal
q.
Penghimpunan dan penyaluran zakat Fitrah
pada setiap Idul Fitri
r.
Penghimpunan, pemotongan dan penyaluran
hewan Qurban pada setiap Idul Adha
s.
Penyelenggaraan pengajian/ Dakwa empat
kali sehari selama sepuluh hari berturt-turut pada bulan maulud (sekaten)
t.
Penyelenggaran pasar rakyat di halaman
Masjid pada setiap perayaan Sekaten
u.
Penyelenggaran Silaturrahmi Antar siswa
SD/ MI Kota Yogyakarta (SILASKOTA) tiap bulan maulud setiap tahun, yang
dikonsep dengan ajang lomba agama bagi siswa-siswi SD/MI
v.
Penyelenggaraan Donor Darah setiap empat
bulan sekali bekerja sama dengan PMI
w.
Buka Puasa Arafah bersama setiap tanggal
Dzulhijjah
3.
Kegiatan Insidentil
a.
Upacara pengucapan ikrar Dua Kalimat
Syahadat/ peng-Islaman
b.
Penyelenggaraan Ijab Qabul/ Walimatul
Urs
c.
Upacara Pelepasan Jenazah
d.
Penyelenggaran seminar, raker dan
sebagainya oleh lembaga-lembaga lain
e.
Penampungan pangungsi pasca Gempa Bumi
tanggal 27 Mmei 2006
f.
Penyelenggaraan Dapur Umum untuk
menyediakan bantuan makan dan minum bagi pengungsi tiga kali/ Hari
g.
Santunan kepada Musafir yang terlantar/
kehilangan
h.
Penghimpunan dan pengiriman bantuan
untuk musibah bencana alam (gempa bumi, tsunami, tanah longsor, badai/ angin
puting beliung, kebakaran, banjir dan lain-lain).
D.
Masjid
Gedhe Kauman dilihat dari Fungsi Sosialnya
Masjid Gedhe Kauman yang merupakan salah
satu struktur dari sistem sosial di Yogyakarta, dan masyarakat kampung Kauman
pada khususnya. Tidak jauh berbeda dengan lembaga-lemabag lain yang memiliki
fungsi sosial. Sesuai dengan teori struktural fungsionalisme yang dikembangkan
oleh Talcott Parsons dengan empat fungsi yang penting untuk semua sistem
tindakan agar mampu bertahan, pertama adaptasi,
yaitu sebuah sistem harus mampu menanggulangi situasi eksternal yang gawat.
Sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Masjid Gedhe Kauman
sebagai lembaga yang didirkan oleh sultan asta nama Keraton Yogyakarta tentu
sangat diterima oleh masyarakat sekitar, selain sebagai sarana untuk beribadah
masyarakat dan juga sebagai wadah untuk menyelesaikan masalah-masalah yang di
hadapi masyarakat, seperti halnya masalah waris, perceraian, perkawinan, dan
sebagainya. Seperti halnya pada masa-masa sebelum dan paska penjajahan.
Pada sebelum dan masa kemerdekaan, Masjid
Gedhe Kauman mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam sejarah perjuangan
masyarakat melawan penjajah karena masjid ini menjadi tempat berkumpulnya massa
dan merupakan markas utama melawan penjajah. Setiap kali ada penyerbuan, pasukan
yang terdiri dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan masyarakat pribumi
diberangkatkan dari masjid ini. Seperti halnya penyerbuan markas Jepang di
Kotabaru pada tanggal 7 Oktober 1945 oleh pejuang Yogyakarta yang tergabung
dengan Polisi Istimewa dan Badan Keamanan Rakyat (Laskar Rakyat) yang kemudian
dikenal dengan penyerbuan Kotabaru. Terbukti di Kotabaru terdapat monomen yang
menandakan adanya pertempuran tersebut.
Pada masa Perjuangan Kemerdekaan
RI, Masjid Gedhe Kauman sering dipergunakan oleh TNI bersama para pejuang
Asykar Perang Sabil untuk menyusun strategi penyerangan melawan agresi Belanda.
Para pahlawan Hizbullah yang gugur kemudian dimakamkan di sisi barat Masjid Gedhe
Kauman, termasuk pahlawan nasional Nyai Hj. A Dahlan, area pemakaman tersebut
dinamai dengan makam Syuhada’.
Pada masa sekarang pun masjid ini
difungsikan sebagai tempat kegiatan masyarakat dengan syarat selama tidak
mengganggu kegiatan rutin masjid seperti shalat jamaah lima waktu. Seperti
pelaksanaan prosesi pernikahan di serambi masjid, dan sampai saat ini hampir
tiap minggu terdapat prosesi pernikahan di area Masjid Gedhe Kauman, tutur
Bapak Waslan Aslam selaku takmir masjid.
Kedua
pencapaian, yaitu sebuah sistem harus mendefinisikan
dan mencapai tujuan utamanya. Pada masa-masa penjajahan sampai orde baru Masjid
Gedhe Kauman tidak hanya berperan sebagai tempat beribadah masyarakat, tetapi
juga sebagai benteng utama masyarakat dalam memperjuangkan dan mempertahnkan
haknya sehingga banyak orang menyebut Masjid Gedhe Kauman sebagai simbol
perjuangan masyarakat. Seperti pada zaman revolusi perjuangan mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia, gedung Pajangan yang terletak di kanan kiri
Regol masjid, dan biasa digunakan untuk para prajurit keraton (tentara kraton)
untuk keamanan masjid dan setiap hari besar Islam, digunakan sebagai pusat
Markas Ulama Asykar Perang Sabil (MU-APS) yang membantu TNI melawan agresi
Belanda. Mereka mendorong semangat juang masyarakat yang tergabung dengan TNI
dengan hal-hal religius, seperti tausyiah dan doa bersama.
Pada tahun 1965-1966 masjid ini sebagai
sarana perjuangan Komponen Angkatan ’66 yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia), KAPPI (Kesatuan Aksi Persatuan Pelajar Indonesia)
dan sebagainya dalam menumbangkan Orde Lama dan membubarkan Gerakan 30
September Partai Komunis Indonesia (G 30 S PKI), begitu juga dengan aksi-aksi
mahasiswa sebagai perjuangan Angkatan Muda pada saat Reformasi dalam menumbangkan
rezim Orde Baru.
Ketiga
integrasi, yaitu sebuah sistem harus mengatur
hubungan antar bagian yang menjadi komponennya. Keempat pemeliharaan pola, sebuah sistem harus melengkapi,
memelihara dan memperbaiki motivasi individual maupun pola-pola kultural yang
menciptakan dan menopang motivasi. Dalam hal ini, Masjid Gedhe Kauman pada
masa-masa seperti di atas dan pada masa reformasi merupakan satu-satunya
lembaga yang berhasil mengatur hubungan antara berbagai komponen yang terdiri
dari berbagai kalangan. Contoh kongkritnya ketika terjadi aksi yang dimotori
oleh mahasisiwa, masyarakat kampung Kauman ikut mendukung dengan cara
menyediakan makanan dan minuman gratis untuk diberikan kepada semua mahasiswa
yang ikut serta dalam aksi tersebut, menyediakan tempat parkir gratis di
wilayah kampung Kauman bagi mahasiswa yang berkendaraan, dan kesediaan takmir Masjid
Gedhe Kauman untuk menampung seluruh mahasiswa di dalam masjid apabila terdapat
hal-hal yang tidak diinginkan, memberikan semangat baru bagi mahasiswa karena
merasa telah terlindungi dalam melaksanakan aksinya.
Kerusuhan pada tanggal 13-15 Mei
1998 yang berpusat di ibu kota Jakarta yang disebabkan oleh krisis finansial
Asia dan disokong dengan tragedi Trisakti,[4]
memicu semangat juang masyarakat dan mahasiswa Yogyakarta untuk mengadakan aksi
pada malam tanggal 15 Mei 1998, aksi kali itu berupa aksi religius yaitu dengan
shalat malam bersama dengan diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat dan
mahasiswa yang memenuhi alun-alun Keraton dengan Amin Rais sebagai Imam, namun
rencana itu tidak berjalan dengan lancar karena ternyata Amin Rais yang
diundang sebagai imam waktu itu tidak bisa hadir disebabkan terjebak kerusuhan
di Jakarta, dan sebagai gantinya H. Budi Setiawan, ST sebagai ketua takmir
meminta Amin Rais untuk membuat tulisan berisi semangat juang yang kemudian di
fax dan dibacakan kepada jemaah shalat malam pada malam itu juga.
Voluntaristic
Theory of Action
Melalui teon-teori Pareto dan
Durkheim, Parsons membuat sintesis baru
mengenai pola aksi manusia yang disebut Voluntaristic Theory of Action atau "teori aksi
sukarela." la menganggap bahwa individu bertindak karena adanya proses
keputusan subjektif yang dilakukan secara sukarela. Proses pengambilan
keputusan ini dipengaruhi oleh kondisi-kondisi tertentu, yaitu normatif dan
situasional. Faktor-faktor normatif dan
situasional ini melekat dalam benak individu, sehingga dalam melakukan aksinya,
tidak ada faktor pemaksaan, karena seorang aktor akan melakukannya dengan
sukarela. Eleman dasar yang membentuk "aksi sukarela" adalah ;
1. Aktor
atau individu
2. Aktor
dianggap sebagai orang yang ingin mencapai tujuan
3. Aktor
mempunyai seperangkat alternatif alat untuk mencapai tujuan atau sasaran
4. Aktor
dihadapkan oleh beberapa macam kondisi situasional, seperti kondisi biologis,
keturunan, ekologi eksternal yang dapat menghalangi individu, yang semuanya
mempengaruhi aktor dalam menentukan sasarannya, serta alat yang akan
digunakannya untuk mencapai sasaran.
5. Aktor
juga dipengaruhi oleh nilai-nilai, norma, dan ideologi yang semuanya
mempengaruhi pemilihan sasaran dan bagaimana mencapai sasaran tersebut.
6. Maka,
sebuah aksi (perbuatan) akan melibatkan aktor yang membuat keputusan subjektif
untuk menentukan sasaran dan alat yang digunakannya, yang semuanya dibatasi
oleh nilai dan norma serta kondisi situasional dari aktor tersebut.[5]
Upacara Grebek yang dilakukan pada
hari-hari besar Islam yaitu 12 Maulud, 1 Syawal, dan 10 Besar/ Dzulhijjah
sebebnarnya merupakan contoh praktis dari Keraton kepada masyarakat untuk
bersedekah (shodaqoh), dalam
tradisinya gunungan didoakan di Masjid Gedhe Kauman oleh penghulu Keraton
sebelum dibagikan kepada masyarakat untuk kemudian di grebek atau diambil
secara beramai-ramai. Maka sangat wajar jika masyarakat yang ada di lingkungan Masjid
Agung Kauman, gemar bersedekah. Seperti yang telah di jelaskan di atas mengenai
partisipasi masyarakat pada masa-masa perjuangan.
Untuk mempererat tali silaturrahim
antar individu salah satu upaya yang dilakukan oleh takmir masjid adalah
mengadakan buka bersama/ ta’jilan
pada bulan suci Ramadlan yang diikuti oleh ratusan orang setiap harinya, dan
pada hari raya idul fitrih setelah jamaah subuh pasti diadakan makan bersama
sebagai tanda bahwa hari itu adalah hari diharamkannya puasa bagi umat Islam.
Pada bulan Maulud sendiri acara skatenan yang
dimulai pada tanggal 5-12 bulan Maulud terdapat pengajian umum yang selain dipergunakan
sebagai sarana mempererat tali silaturrahim juga untuk memberikan wawasan ilmu
keagamaan.
Pada saat bencana alam yaitu Gempa
yang melanda Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006, takmir Masjid Gedhe Kauman
menampung orang-orang yang terkena bencana di area masjid, takmir masjid
memberikan izin kepada masyarakat untuk bertempat tinggal sementara di teras
dan halam masjid, bahkan takmir mencarikan dana bantuan untuk menyantuni mereka
serta juga menyediakan listrik yang dihasilkan dari alat pembangkit listrik
berbahan bakar solar yang disediakan oleh takmir masjid, pada waktu itu
masyarakat sempat tinggal beberapa waktu hingga keadaan benar-benar aman. Dan
pada erupsi merapi tahun 2010, takmir masjid juga menampung beberapa pengungsi
yang diletakkan di area masjid termasuk juga bangunan-bangunan yang berada di
sekitar Masjid Gedhe Kauman sperti gedung Pajangan dan lain sebagainya yang
bisa menampung pengungsi. Diceritakan oleh bapak Budi Stiawan ketika dia masih
ada di luar kota untuk melihat keadaan masyarakat Lereng Merapi, pada waktu dini hari beliau menelpon
temen-temen takmir Masjid Gedhe Kauman untuk membuka masjid dan menyalakan lampu
serta menyediakan makanan untuk diberikan kepada orang-orang yang digiring oleh
beliau untuk diungsikan di Masjid Gedhe Kauman, dan alhamdulillah masyarakat
kauman dengan sukarela dan tanpa adanya paksaan juga ikut berpartisipasi dalam
segala hal di antaranya menyediakan makanan untuk pengungsi, untuk menyantuni
mereka takmir masjid melaporkan keadaan tersebut kepada pemerintahan setempat
untuk kemudian mendapatkan dana bantuan.
Dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat kampung Kauman khususnya, yang mengalami musibah berupa kematian,
takmir Masjid Gedhe Kauman menyediakan kamar Sauobah yang terletak di sebelah utara masjid, yaitu tempat
pemandian jenazah, takmir juga membantu sepenuhnya upacara penguburan janzah
secara sukarela, mulai dari memandikan, mengkafani dan mensholati janazah
dilakukan di masjid kemudian mengantarkan janazah sampai ke liang lahat.
Selain itu, di Masjid Gedhe Kauman
ini terdapat Remaja Takmir Masjid Gedhe Kauman yang biasanya mengadakan
kegiatan-kegiatan yang diikut sertakan dalam hari-hari besar Islam, misalnya
SILASKOTA (Silaturrahmi Anak Shaleh Kota Yogyakarta) yang dikonsep dengan
lomba-lomba yang berbau keislaman seperti lomba adzan, lomba ngaji, lomba
shalawat dan lain-lain bagi siswa MI/SD. Kegiatan lain yang hampir setiap tahunnya
diadakan adalah Baksos yang biasanya dilaksanakn di luar kota Yogyakarta,
Misalnya kegiatan Baksos yang pernah dilakukan di kampung Dhawingwa, Bantul.
Setelah itu dilanjutkan dengan pemberian atau pembagian sembako kepada warga
sekitar. Remaja Takmir juga menyediakan media berupa stasiun radio yang masih
belum setingkat swasta, karena memang baru-baru ini didirikannya, diantara
kegiatannya meliput atau memberitakan kegiatan-kegiatan yang sedang berlangsung
dan yang akan diselenggarakan oleh takmir Masjid Gedhe Kauman.
Kegiatan lain yang mendukung
kesejah teraan masyarakat yaitu pemberian barang berupa sembako oleh takmir
kepada masyarakat satu hari menjelang hari raya. Terdapat juga pelayanan
kesehatan yaitu dengan cara mendirikan klinik untuk Lansia dan penggalangan
donor darah secara gratis.
Untuk melaksanakan
kegiatan-kegiatan dan mewujudkan kemakmuran masjid serta masyarakat sekitar
cukup memerlukan dana yang lumayan besar, dana tersebut sepenuhnya diambil dari
masyarakat Kauman dan jemaah masjid melalui kotak infaq yang terletak di
serambi masjid, dan setiap minggunya dana yang terkumpul hampir mencapai 34
juta rupiah, sedangkan bantuan dari pemerintah dana yang diperoleh hanya
berkisar 40 juta rupiah tiap tahunnya, selain itu juga sebagian diambil dari
dana yang terkumpul dari ZIS (Zakat, infaq dan shodaqah), mengingat
kegiatan-kegiatan yang berlangsung sangat membutuhkan dana yang lumayan banyak.
Seperti dana untuk pelaksanaan ta’jilan di bulan Ramadlan yang menghabiskan
dana sebesar Rp.150.000.000 (seratus lima
puluh juta rupiah). Dan perlu
diketahui dalam menggalang dana yang terkumpul dalam bentuk ZIS tidak terdapat
paksaat sedikitpun kepada masyarakat, hal itu termotifasi dari sultan sebagai
seorang teladan masyarakat dan tokoh utama yang mendirikan Masjid Gedhe Kauman
Yogyakarta. Wallahua’lam
Sumber
:
1.
H. Budi Setiawan, ST, selaku Ketua Umum
Takmir Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta
2.
M Waslan Aslam, anggota Pengurus Takmir
Bidang Ibadah sekaligus koord. Muadzin Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta
3.
Puspitawati. Harien, 2009, Teori Sturktural Fungsional dan Aplikasinya
dalam Kehidupan Keluarga, Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas
Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
[1] Atap
mesjid berbentuk Tajuk Lambang Teplok yaitu
bangunan yang mempunyai atap bertingkat tiga, bermaksud bagi setiap orang yang
ingin mencapai kesempurnaan hidup baik di dunia maupun di akhirat haruslah
melampaui tiga tingkatan; hakekat,
syariat dan ma’rifat.
Daun Kluwih : (sejenis buah sukun)
–linuwih= orang akan mempunyai kelebihan/ keistimewaan apabila telah melampaui
tiga tingkatan tadi.
Gadha: yang berbentuk huruf
“ALif” melambangkan bahwa yang disembah hanyalah Allah yang Esa
[2] yaitu tempat
pertemuan para Alim Ulama, Pengajian Dakwah Islamiyah, Pengadilan Agama, Pernikahan,
Pembagian Waris dan sebagainya.
[3] Gerbang ini berbentuk Semar Tinandu yang mempunyai makna
sesuai dengan tugas dari seorang punakkawa yaitu mengasuh, menjaga, dan
memberikan tauladan yang baik.
[4] Tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh
dalam demonstrasi 12 Mei 1998.
[5] Harien Puspitawati, Teori
Sturktural Fungsional dan Palikasinya dalam Kehidupan Keluarga, (Departemen
Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor,
2009), hal: 14-15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar