A. Gambaran Umum
Seminar
tentang sejarah masuknya Islam ke Indonesia di kota Medan pada bulan Maret 1963
yang dihadiri oleh para ahli sejarah dari seluruh pelosok tanah air,
menjelaskan bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia pada abad pertama
Hijriyah atau bertepatan dengan abad ke tujuh Masehi, langsung dari Arab,
dibawa oleh para saudagar dalam perjalanan mereka untuk mencari rempah-rempah
dikepulauan Nusantara. Para ahli sejarah menganggap bahwa Pasai di daerah aceh
adalah kerajaan pertama yang beragama Islam. Dari daerah inilah Islam
berkembang ke tiga jurusan dengan aman dan tanpa paksaan.
1.
Jurusan Pidie, Aceh
Besar, Daya, Trumon, Barus, Pariaman, dan sekitarnya, sepanjang pesisir barat
pulau Sumatra.
2.
Jurusan Malaka dan
pulau-pulau sekelilingnya.
3.
Jurusan Pesisir Utara,
pulau Sumatera dan Jawa.
B. Tata kelembagaan Islam
di Indonesia
Tata
kelembagaan di Indonesia pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1.
Ilmu Tauhid, sebagai
sistem ketuhanan
2.
Ilmu Fiqh, sebagai sistem ilmu hukum
3.
Ilmu Tasawuf/ ilmu
Suluk, sebagai sistem kesusilaan dan kegaiban (mistik)
Dari
ketiga ilmu itu, ilmu fiqh yang sangat mempengaruhi bentuk kelembagaan, karena
ilmu fiqh menyangkut bidang kegiatan peribadatan dan lainnya, termasuk hubungan
manusia dengan Tuhan, Muslim, dan sesamanya.
Dalam
ajaran hukum Islam (ilmufiqh), ditentukan lima kategori bagi setiap
tindak-tanduk manusia, yaitu :
1.
Wajib atau farduh,
hal-hal yang harus dilaksanakan. Kategori ini bisa dibagi menjadi dua, fardu
‘ain (kewajiban individual) dan fardu kifayah (kewajiban kolektif bagi
sekelompok masyarakat)
2.
Sunnah, hal-hal yang
diseyogiakan
3.
Mubah atau ja’iz, hal
yang tidak diharuskan dan diharamkan
4.
Makruh, hal-hal yang
seyogianya dihindarkan
5.
Haram, hal-hal yang
diharamkan
Secara
umum fardu kifayah tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.
Memberikan nasehat dan
fatwa kepada sesama Muslim, yang disebut al-iftah, yang secara konkrit berupa
penyiaran agama (da’wah) dan pendidikan (tarbiyah). Orang yang mengmban amanah
tersebut bisa dibilang ‘alim Ulama’.
2.
Mendirikan shalat
Jum’at. Kewajiban kewajiban untuk melakukan shalat jum’at- menurut ajaran
Madzhab Syafi’i yang sangat berpengaruh di indonesia-barulah dibebankan secara
bersama bila dalam kelompok masyarakat Islam yang bermukim pada suatu wilayah
tertentu sudah ada paling sedikit 40 orang laki-laki. Shalat jumat dilakukan di
masjid Jami’.
3.
Menyelenggarakan
kesejahteraan umum, seperti mengurus kematian, pemeliharaan anak yatim,
ketertiban bersama dan lain-lain yang berkenaan dengan kemaslahatan umat.
4.
Melaksanakan peradilan
(qadla’). Ketertiban dan kesejahteraan masyarakat akan terjamin bila sengketa
atas hak dan kewajiban anggota msyarakat dapat penyelesaian yang baik. Islma
mengajarkan bahwa penyelenggaraan peradilan merupakan kewajiban kolektif (fardu
kifayah). Pelaksanaannya dapat terjadi dalam tiga bentuk. Pertama, peradilan harus dilakukan atas dasar pelimpahan wewenang,
yaitu “tausiyah” dari imam. Kedua, bila tidak terdapat imam, maka pelaksanaan
peradilan dilakukan atas dasar penyerahan wewenang secara kesepakatan dari para
tertua dan sesepuh masyarakat. Ketiga, dalam
kedaan tertentu, terutama bila tidak terdapat hakim, maka dua orang yang saling
sengketa dapat mengangkat seseorang untuk bertindak sebagai hakim, dengan
persyaratan antara lain kedua belah pihak bersepakat untuk mematuhi
keputusannya.
5.
Mendirikan kepemimpinan
umat dalam negara (imamah). Fungsi utamanya adalah sebagai kelanjutan tugas
kenabian yang mengarah kepada dua hal, yaitu: memelihara agama dan mengatur
dunia, baik dalam arti sipil maupun militer.
6.
Lembaga fardu kifayah
dengan organisasi massa/politik. Dalam hal ini dibagi dalam dua kelembagaan,
yaitu kelembagaan yang bersifat hukum perdata dan kelembagaan yang bersifat
publik atau tatanegara.
C. Majelis Ulama Indonesia
Aspirasi
masyarakat mendukung akan terbentuknya majelis ini untuk mempersatukan segenap
ulama Indonesia. Selain ituterdapat juga aspirasi dari pemerintah, yaitu:
1.
Mutlak perlunya suatu
wadah yang mempersatukan segenap ulama Indonesia guna meningkatkan peranannya
dalam Pembangunan Nasional.
2.
Para ulama Indonesia
diharapkan menjadi penerjemah yang menyampaikan pikiran-pikiran dan kegiatan
pembangunan nasional dan daerah kepada msyarakat.
3.
Memberikan bahan-bahan
pertimbangan yang berhubungan dengan kehidupan beragama kepada pemerintah dan
sekaligus merupakan penghubung antara pemerintah dan ulama.
4.
Melalui wadah Ulama
Islam Indonesia diharapkan dapat mewujudkan forum di mana para ualama dan pemuka
berbagai agama atau wakil-wakil dari berbagai organisasi keagamaan yang ada
dapat terhimpun, bermusyawarah dan bekerja sama dalam rangka terus menerus
memupuk hubungan yang harmonis antar pemeluk agama yang berlainan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar