BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Sudah menjadi hal yang lumrah apabila semua agama lahir dan hadir
lengkap dengan “klaim kebenaran”. Hanya saja terdapat perbedaan dalam memandang
kebenaran tersebut di antara para penganut agama, seperti halnya eksklusivisme, yaitu bahwa kebenaran absolut
hanya dimiliki suatu agama tertentu dan tidak di dalam agama lain. Klaim ini
tidak memberikan alternatif apapun bagi agam alinnya. Adanya klaim eksklusivisme
dan absolutisme kebenaran ini kemudian ditopang dengan konsep yuridis tentang
“keselamatan”, di mana masing-masing agama tersebut mengklaim diri sebagai
satu-satunya “ruang soteriologis” yang hanya di dalamnya manusia dapat
mendapatkan keselamatan (salvation) atau kebebasan (liberation)
atau pencerahan (enlightenment). Yudaisme, dengan doktrin “the chosen
people”-nya, hanya mengakui kebenaran, kesalehan, dan keselamatan atas
dasar etnisitas yang sangat sempit, yaitu bangsa Yahudi saja. Kristen Protestan
dengan doktrin “outside Christianity, no salvation”-nya menentukan
status kesalehan dan keselamatan seseorang hanya dengan iman pada pengorbanan
Yesus Kristus di atas tiang salib sebagai tebusan dosa warisan. Islam dengan
statemen dalam al-Qur’an surat Ali Imran : 85, yang artinya “hanya dengan meniscayakan kepasrahan dan
ketundukan total (ber-Islam) kepada Allah SWT sajalah seseorang bisa
mendapatkan keselamatan.” Maka dari itulah, di masa kemudian muncul yang
namanya paham inklusif. Paham tersebut diketahui muncul pertama kali dalam
wilayah theologi Kristen dengan latar belakang sebagai penengah antara paham
eksklusif dan pluralisme agama. Dalam makalah ini, akan dikupas mengenai paham
inklusivisme, termasuk juga konsepnya dalam beberapa agama.
B.
Rumusan masalah
1.
Bagaimana inklusisvisme dalam
agama?
BAB II
PANDANGAN INKLUSIVISME AGAMA
Inklusivisme agama hadir dengan bentuk klaim kebenaran absolut yang
lebih longgar. Lain halnya dengan eksklusifisme agama,
orang dengan paradigma tersebut cenderung memiliki kepribadian tertutup,
menutup ruang dialog dengan pemeluk agama lain dan merasa bahwasanya hanya
agama dan alirannya saja yang benar, sementara agama dan aliran yang lainnya
salah dan dianggap sesat. Sikap seperti ini akan melahirkan sistem soial out group dan in group.
Inklusivisme sendiri bersifat lebih longgar dan
terkesan fleksibel terhadap sesuatu yang di luar dirinya, tidak kaku dan
memberi jalan kepada selain dirinya untuk mengakui kebenaran mereka. Jadi,
asumsi dasar inklusivisme agama adalah mengakui bahwa kebenaran hanya terdapat
dalam agama sendiri, namun memberi kesempatan atau jalan bagi mereka yang
berlain keyakinan untuk mengakui bahwa agama mereka juga benar. Pernyataan
seperti ini dikenal dengan kategori traditional inklusivisme. Kategori yang
kedua adalah relatif inklusivisme yaitu anggapan kebenaran yang hanya terdapat
di dalam agama sendiri, tetapi juga mengakui bahwa tidak ada kebenaran yang
absolut yang betul-betul benar sehingga semua agama kelihatannya menuju
kebenaran absolut.
Memang diakui bahwa eksklusifisme dibutuhkan
ketika berbincang tentang teologi, karena memang wilayah paham eksklusifisme
berada pada kesadaran yang tentunya mempengaruhi cara pandang masyarakat
terhadap realitas, agar bisa mempertegas fungsi teologis suatu agama dalam
masyarakat. Oleh karena itu, wajar bila paham seperti ini terkesan lebih kaku
dan tidak fleksibel. Sedangkan paham inklusif menurut saya lebih berada pada
wilayah sosial atau integrasi umat beragama, sehingga nantinya diharapkan lahir
tindakan yang lebih konstruktif.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pendekatan
teologi inklusif dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan
pada bentuk formal atau simbol-simbol yang masing-masing mengklaim dirinya
sebagai yang paling benar, tapi tidak menyalahkan agama lain dalam artian membiarkan
mereka untuk mengakui bahwa agama mereka benar, sehingga tidak memandang yang
lain murtad, kafir dan sejenisnya. Dalam keadaan demikian maka timbul proses
tidak saling menyalahkan dan
mengkafirkan, timbul adanya dialog dan keterbukaan yang memunculkan
adanya saling menghargai antar umat beragama.
Untuk mewujudkan paradigma keberagaman yang
inklusif seperti yang dijelaskan di atas, salah satu pendekatan yang dapat
dikembangkan adalah pendekatan teologis-dialogis, yaitu metode pendekatan agama
melalui dialog nilai-nilai normatif masing-masing aliran atau agama. Dalam
proses dialog, dibutuhkan keterbukaan antara satu sama lain, agar tumbuh saling
pengertian dan pemahaman. W. Montgomery Watt memandang bahwa dialog merupakan
upaya saling mengubah pandangan antara penganut agama yang saling terbuka dan
belajar satu sama lain. Dia bermaksud menghilangkan sikap merendahkan agama
seseorang oleh penganut agama lain, serta menghilangkan ajaran yang bersifat
apologi dari masing-masing agama.[1]
Jadi, pandangan inklusivisme dalam beragama akan menghasilkan dua asumsi yang endukung sebagai bentuk pendekatan hubungan antar agama, yaitu meyakinkan
ideologi seseorang terhadap agamanya sendiri, dan yang kedua tidak akan
menimbulkan hal-hal yang dikira bisa merusak tatanan sosial dalam beragama
karena masing-masing penganut agama saling memberi peluang terhadap agama yang
lainnya.
Inklusifisme Agama
Kristen
Berbicara mengenai inklusivisme dalam agama
Kristen, sekilas kita pahami bahwa wacana Karl Rahner tentang "Anonymous
Christian" tidak berbeda dengan
kategori tradisional inklusivisme. Namun bila kita kaji lebih mendalam,
terdapat perbedaan signifikan dari konsep Kristen Anonim yang digagas olehnya,
Kristen Anonim terkesan lebih kaku karena walaupun konsep tersebut mengakui
terhadap kebenaran yang terdapat dalam agama-agama non-Kristen. Menurutnya
keselamatan yang ada dalam agama-agama non-Kristen tersebut diberikan atau
dipenuhi oleh Yesus Kristus, Karl Rahner mengatakan “Agama saya benar,
sedangkan agama-agama yang lain sebebnarnya menjalankan nilai-nilai
kekristenan, tapi menggunakan nam-nama yang lain” dengan demikian dia masih
menganggap bahwa agama yang paling benar adalah agamanya sendiri (baca:
Kristen). [2]
Penjelasan lebih mendetile dari Kristen Anonim adalah, menurut Rahner agama-agama
lain di luar Kristen juga menerima rahmat dari Allah. Allah juga
memberikan rahmat melalui Kristus di dalam agama-agama lain, dalam kepercayaan dan
ritual-ritual agama
lain tersebut. Menurutnya Kristus adalah alasan Allah memberikan rahmat-Nya
kepada semua ciptaan. Namun, orang yang belum mengenal Kristus walaupun bisa
merasakan kasih Allah yang menyelamatkan, tidak dapat melihat ke mana arah atau
tujuan hidupnya. Lebih lanjut, Rahner menyatakan bahwa orang-orang ini sudah
menerima rahmat Allah dan terorientasi pada Kristus, dan kehadiran Kristus terasa
dalam setiap agama sehingga melalui agama mereka juga terorientasi ke dalam kekristenan.
Orang-orang inilah yang disebut orang "Kristen Anonim" atau
"Kristen tanpa nama". Orang-orang Kristen anonim ini, walaupun belum
pernah mendengar Injil
Kristen, bisa diselamatkan melalui Kristus. Mereka diselamatkan bukan karena
moralitas tetapi karena mereka telah mengalami kasih karunia
dari Yesus Kristus
tanpa mereka menyadarinya. [3]
Para inklusivis lain melihat Yesus sebagai wakil (representative) kasih dan kebenaran
Allah yang menyelamatkan. Ia tidak menyebabkan adanya kasih Allah, tetapi Yesus
mewujudkan dan menyatakan kasih tersebut, oleh sebab itu Dia mewakili kasih
Allah yang menyelamtkan secara sepenuhnya di dalam lingkungan hidup manusiawi.
Walaupun para inklusivis segan membicarakan umat Buddha sebagai Kristen Anonim,
mereka cenderung menganggap umat Buddha sebagai “Kristen potensial”; artinya,
apa yang diperoleh umat Buddha melalui kebenaran transformatif paling tepat
diwakili dan dipenuhi oleh Yesus Kristus. Seperti yang dikatakan oleh Schubert
Ogden, baik eksklusifisme ataupun inklusivisme adalah mereka yang diistilahkan
sebagai kaum “monis” dalam hal keselamatan; bahwa anugerah keselamatan Allah
ditemukan secara jelas, cukup dan penuh hanya di dalam Yesus Kristus (Ogden
1992, 80-81).[4]
Islam
Di dalam Islam, tentu terdapat juga paham
inklusif. Di mana paham tersebut memberikan ruang yang sangat longgar kepada
orang-orang di luar keyakinannya, tidak menjustis apalagi menggap salah dan
sesat agama lain. Sesuai dengan ajaran yang terdapat dalam al-Quran, Islam
sangat menekankan kerukunan dan tidak memberikan paksaan kepada non-Islam untuk
keluar dari keyakinannya, karena memang Allah SWT sudah memberikan penjelasan
agama yang bagaimana yang palig benar dan Dia memberikan kelonggaran kepada
kita untuk memilih sesuai apa yang diyakini oleh kita sendiri.[5]
Tuhan menciptakan manusia secara beragam, dan keragaman itu tidak
dimaksudkan agar masing-masing tidak saling menghancurkan satu sama lain, akan
tetapi agar manusia saling mengenal dan menghargai eksistensi masing-masing.
Dengan menurunkan bermacam-macam agama, tidak berarti tuhan membenarkan
diskriminasi satu umat atas umat lain, melainkan agar masing-masing
berlomba-lomba berbuat kebaikan. Agama bukan tujuan, melainkan sarana yang
mengantarkan penganut agama menuju Tuhan/ The
real.[6] Hal demikian, kami kira searah dengan pemahaman mengenai kebenaran
universal, di mana kebenaran tersebut mengalami manifestasi lahiriyah secara
beraneka ragam dalam ruang lingkup manusia yang tunggal (karena berpegang teguh
pada kebenaran yang tunggal). Kemudian mereka berselisih dan berusaha memahami
kebenaran itu setaraf dengan kemampuan dan sesuai dengan keterbatasan mereka.
Maka terjadilah perbedaan penafsiran terhadap kebenaran yang tunggal itu, yang
perbedaan itu mengkerucut oleh masuknya vested interest (memihak diri
sendiri) akibat dari adanya nafsu untuk memenangkan suatu persaingan.[7]
Dengan demikian pandangan Islam terhadap agama-agama lain adalah sebagai
perbedaan dan keragaman hakikat ontologis (haqiqah wujudiyah/ kauniyah)
dan sunnatullah. Termasuk di dalamnya adalah klaim kebenaran (truth-claim)
yang absolut dan eksklusif yang mana tanpanya jati diri dan identitas sebuah
agama menjadi kabur, tak jelas, atau hilang sama sekali. Dengan kata lain,
Islam memperlakukan agama-agama lain sebagaimana adanya (as the way they
are) dan membiarkan mereka untuk menjadi diri mereka sendiri, tanpa reduksi
dan manipulasi. Apapun kondisinya, klaim kebenaran agama harus diapresiasi,
tidak boleh dinafikan. Jadi, klaim kebenaran (truth-claim) bagi agama
adalah sesuatu yang alami atau natural. Lebih dari itu, ia merupakan esensi
jati-diri sebuah agama.
ayat-ayat yang membuktikan bahwa dalam Islam juga terdapat paham inklusivisme
:
QS al-Baqarah ayat 62 : “Sesungguhnya
orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang
Shabiin[8],
siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah[9],
hari kemudian dan beramal saleh[10],
mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada
mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
QS al-Baqarah ayat 48: “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran
dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab
(yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian[11] terhadap
Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang
Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat
diantara kamu, [12] Kami berikan aturan
dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya
satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah
kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu.”
QS al-Baqarah ayat 148: “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap
kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu
berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat).
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
QS al-Baqarah ayat 256: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang
ingkar kepada Thaghut[13] dan beriman
kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat
kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
QS al-Baqarah ayat 6: “Untukmu
agamamu, dan untukkulah, agamaku."
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Inklusivisme sendiri bersifat lebih longgar dan
terkesan fleksibel terhadap sesuatu yang di luar dirinya, tidak kaku dan
memberi jalan kepada selain dirinya untuk mengakui kebenaran mereka. Jadi,
asumsi dasar inklusivisme agama adalah mengakui bahwa kebenaran hanya terdapat
dalam agama sendiri, namun memberi kesempatan atau jalan bagi mereka yang
berlain keyakinan untuk mengakui bahwa agama mereka juga benar.
Karl Rahner dengan konsep "Anonymous
Christian" yaitu walaupun
konsep tersebut mengakui terhadap kebenaran yang terdapat dalam agama-agama
non-Kristen namun dia mengatakan lebih jauh bahwa keselamatan yang ada dalam
agama-agama non-Kristen tersebut diberikan atau dipenuhi oleh Yesus Kristus,
dengan demikian dia masih menganggap bahwa agama yang paling benar adalah
agamanya sendiri yaitu Kristen.
Inklusivisme dalam Islam, bersifat sangat longgar
kepada orang-orang di luar keyakinannya, tidak menjustis apalagi menggap salah
dan sesat agama lain. Sesuai dengan ajaran yang terdapat dalam al-Quran, Islam
sangat menekankan kerukunan dan tidak memberikan paksaan kepada non-Islam untuk
keluar dari keyakinannya, karena memang Allah SWT sudah memberikan penjelasan
agama yang bagaimana yang palig benar dan Dia memberikan kelonggaran kepada
kita untuk memilih sesuai apa yang diyakini oleh kita sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Dalam internet,
website: http://id.wikipedia.org/wiki/Inklusivisme.htm,
diakses pada tanggal 26 Maret 2012, jam
11:54 WIB
Daya. H.
Burhanuddin, 2004, Agama Dialogis, Mereda
Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama, Yogyakarta: LkiS, 2004
Ghazali. Abd.
Moqsith, 2009, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis
al-Quran, Depok: KataKita, 2009
Khoirul Asfiyak,
Teologi Inklusivisme Monistik, dalam internet, website: http://kongkow-with-me.blogspot.com/teologi-inklusivisme-monistik.html,
diakses pada tanggal 26 Maret 2012, jam 13:30 WIB
Knitter. Paul F,
2003, Satu Bumi Banyak Agama, Dialog
Multi Agama dan Tanggung Jawab Global, diterjemahkan oleh Nico A.
Likumahuwa, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2003
Madjid. Nurcholis, 1992, Islam
Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina
Naim. Ngainun, 2011,
Teologi Kerukunan, Mencari Titik Temu
dalam Keragaman, Yogyakarta: Teras
[1] Ngainun Naim, Teologi Kerukunan,
Mencari Titik Temu dalam Keragaman, (Yogyakarta: Teras, 2011), hal : 27
[2] Khoirul Asfiyak, Teologi Inklusivisme Monistik, dalam internet,
website: http://kongkow-with-me.blogspot.com/teologi-inklusivisme-monistik.html,
diakses pada tanggal 26 Maret 2012, jam 13:30 WIB
[3] Dalam internet, website: http://id.wikipedia.org/wiki/Inklusivisme.htm,
diakses pada tanggal 26 Maret 2012, jam
11:54 WIB
[4] Paul F. Knitter, Satu Bumi
Banyak Agama, Dialog Multi Agama dan Tanggung Jawab Global, diterjemahkan
oleh Nico A. Likumahuwa, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2003), hal: 39-40
[5] H. Burhanuddin Daya, Agama
Dialogis, Mereda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama, (Yogyakarta:
LkiS, 2004), hal 229-231
[6] Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi
Berbasis al-Quran, (Depok: KataKita, 2009), hal: 4
[7] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta:
Paramadina, 1992) hal: 179
[8] Shabiin ialah orang-orang yang mengikuti syari'at nabi-nabi zaman
dahulu atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa.
[9] Orang-orang mukmin begitu pula orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang
beriman kepada Allah Termasuk iman kepada Muhammad SAW, percaya kepada hari
akhirat dan mengerjakan amalan yang saleh, mereka mendapat pahala dari Allah.
[10] Ialah perbuatan yang baik yang diperintahkan oleh agama Islam, baik
yang berhubungan dengan agama atau tidak.
[11] Maksudnya: Al Quran adalah ukuran untuk
menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam Kitab-Kitab
sebelumnya.
[12] Maksudnya: umat Nabi Muhammad SAW dan umat-umat
yang sebelumnya.
[13] Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah
selain dari Allah SWT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar