Minggu, 23 September 2012

INKLUSIVISME AGAMA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Sudah menjadi hal yang lumrah apabila semua agama lahir dan hadir lengkap dengan “klaim kebenaran”. Hanya saja terdapat perbedaan dalam memandang kebenaran tersebut di antara para penganut agama, seperti halnya  eksklusivisme, yaitu bahwa kebenaran absolut hanya dimiliki suatu agama tertentu dan tidak di dalam agama lain. Klaim ini tidak memberikan alternatif apapun bagi agam alinnya. Adanya klaim eksklu­sivisme dan absolutisme kebenaran ini kemudian ditopang dengan konsep yuridis tentang “keselamatan”, di mana masing-masing agama tersebut meng­klaim diri sebagai satu-satunya “ruang soteriologis” yang hanya di dalamnya manusia dapat mendapatkan kesela­matan (salvation) atau kebe­basan (liberation) atau pencerahan (enlightenment). Yudaisme, dengan doktrin “the chosen people”-nya, hanya mengakui kebenaran, kesalehan, dan keselamatan atas dasar etnisitas yang sangat sempit, yaitu bangsa Yahudi saja. Kristen Protestan dengan doktrin “outside Christianity, no salvation”-nya menentukan status kesalehan dan keselamatan seseorang hanya dengan iman pada pengorbanan Yesus Kristus di atas tiang salib sebagai tebusan dosa warisan. Islam dengan statemen dalam al-Qur’an surat Ali Imran : 85, yang artinya “hanya dengan meniscayakan kepasrahan dan ketundukan total (ber-Islam) kepada Allah SWT sajalah seseorang bisa mendapatkan keselamatan.” Maka dari itulah, di masa kemudian muncul yang namanya paham inklusif. Paham tersebut diketahui muncul pertama kali dalam wilayah theologi Kristen dengan latar belakang sebagai penengah antara paham eksklusif dan pluralisme agama. Dalam makalah ini, akan dikupas mengenai paham inklusivisme, termasuk juga konsepnya dalam beberapa agama.
B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana inklusisvisme dalam agama?

BAB II
PANDANGAN INKLUSIVISME AGAMA
Inklusivisme agama hadir dengan bentuk klaim kebenaran absolut yang lebih longgar. Lain halnya dengan eksklusifisme agama, orang dengan paradigma tersebut cenderung memiliki kepribadian tertutup, menutup ruang dialog dengan pemeluk agama lain dan merasa bahwasanya hanya agama dan alirannya saja yang benar, sementara agama dan aliran yang lainnya salah dan dianggap sesat. Sikap seperti ini akan melahirkan sistem soial out group dan in group.
Inklusivisme sendiri bersifat lebih longgar dan terkesan fleksibel terhadap sesuatu yang di luar dirinya, tidak kaku dan memberi jalan kepada selain dirinya untuk mengakui kebenaran mereka. Jadi, asumsi dasar inklusivisme agama adalah mengakui bahwa kebenaran hanya terdapat dalam agama sendiri, namun memberi kesempatan atau jalan bagi mereka yang berlain keyakinan untuk mengakui bahwa agama mereka juga benar. Pernyataan seperti ini dikenal dengan kategori traditional inklusivisme. Kategori yang kedua adalah relatif inklusivisme yaitu anggapan kebenaran yang hanya terdapat di dalam agama sendiri, tetapi juga mengakui bahwa tidak ada kebenaran yang absolut yang betul-betul benar sehingga semua agama kelihatannya menuju kebenaran absolut.
Memang diakui bahwa eksklusifisme dibutuhkan ketika berbincang tentang teologi, karena memang wilayah paham eksklusifisme berada pada kesadaran yang tentunya mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap realitas, agar bisa mempertegas fungsi teologis suatu agama dalam masyarakat. Oleh karena itu, wajar bila paham seperti ini terkesan lebih kaku dan tidak fleksibel. Sedangkan paham inklusif menurut saya lebih berada pada wilayah sosial atau integrasi umat beragama, sehingga nantinya diharapkan lahir tindakan yang lebih konstruktif.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pendekatan teologi inklusif dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk formal atau simbol-simbol yang masing-masing mengklaim dirinya sebagai yang paling benar, tapi tidak menyalahkan agama lain dalam artian membiarkan mereka untuk mengakui bahwa agama mereka benar, sehingga tidak memandang yang lain murtad, kafir dan sejenisnya. Dalam keadaan demikian maka timbul proses tidak saling menyalahkan dan  mengkafirkan, timbul adanya dialog dan keterbukaan yang memunculkan adanya saling menghargai antar umat beragama.
Untuk mewujudkan paradigma keberagaman yang inklusif seperti yang dijelaskan di atas, salah satu pendekatan yang dapat dikembangkan adalah pendekatan teologis-dialogis, yaitu metode pendekatan agama melalui dialog nilai-nilai normatif masing-masing aliran atau agama. Dalam proses dialog, dibutuhkan keterbukaan antara satu sama lain, agar tumbuh saling pengertian dan pemahaman. W. Montgomery Watt memandang bahwa dialog merupakan upaya saling mengubah pandangan antara penganut agama yang saling terbuka dan belajar satu sama lain. Dia bermaksud menghilangkan sikap merendahkan agama seseorang oleh penganut agama lain, serta menghilangkan ajaran yang bersifat apologi dari masing-masing agama.[1]
Jadi, pandangan inklusivisme dalam beragama akan menghasilkan dua asumsi yang endukung sebagai bentuk pendekatan hubungan antar agama, yaitu meyakinkan ideologi seseorang terhadap agamanya sendiri, dan yang kedua tidak akan menimbulkan hal-hal yang dikira bisa merusak tatanan sosial dalam beragama karena masing-masing penganut agama saling memberi peluang terhadap agama yang lainnya. 
Inklusifisme Agama
Kristen
Berbicara mengenai inklusivisme dalam agama Kristen, sekilas kita pahami bahwa wacana Karl Rahner tentang "Anonymous Christian"  tidak berbeda dengan kategori tradisional inklusivisme. Namun bila kita kaji lebih mendalam, terdapat perbedaan signifikan dari konsep Kristen Anonim yang digagas olehnya, Kristen Anonim terkesan lebih kaku karena walaupun konsep tersebut mengakui terhadap kebenaran yang terdapat dalam agama-agama non-Kristen. Menurutnya keselamatan yang ada dalam agama-agama non-Kristen tersebut diberikan atau dipenuhi oleh Yesus Kristus, Karl Rahner mengatakan “Agama saya benar, sedangkan agama-agama yang lain sebebnarnya menjalankan nilai-nilai kekristenan, tapi menggunakan nam-nama yang lain” dengan demikian dia masih menganggap bahwa agama yang paling benar adalah agamanya sendiri (baca: Kristen). [2]
Penjelasan lebih mendetile dari Kristen Anonim adalah, menurut Rahner agama-agama lain di luar Kristen juga menerima rahmat dari Allah. Allah juga memberikan rahmat melalui Kristus di dalam agama-agama lain, dalam kepercayaan dan ritual-ritual agama lain tersebut. Menurutnya Kristus adalah alasan Allah memberikan rahmat-Nya kepada semua ciptaan. Namun, orang yang belum mengenal Kristus walaupun bisa merasakan kasih Allah yang menyelamatkan, tidak dapat melihat ke mana arah atau tujuan hidupnya. Lebih lanjut, Rahner menyatakan bahwa orang-orang ini sudah menerima rahmat Allah dan terorientasi pada Kristus, dan kehadiran Kristus terasa dalam setiap agama sehingga melalui agama mereka juga terorientasi ke dalam kekristenan. Orang-orang inilah yang disebut orang "Kristen Anonim" atau "Kristen tanpa nama". Orang-orang Kristen anonim ini, walaupun belum pernah mendengar Injil Kristen, bisa diselamatkan melalui Kristus. Mereka diselamatkan bukan karena moralitas tetapi karena mereka telah mengalami kasih karunia dari Yesus Kristus tanpa mereka menyadarinya. [3]
Para inklusivis lain melihat Yesus sebagai wakil (representative) kasih dan kebenaran Allah yang menyelamatkan. Ia tidak menyebabkan adanya kasih Allah, tetapi Yesus mewujudkan dan menyatakan kasih tersebut, oleh sebab itu Dia mewakili kasih Allah yang menyelamtkan secara sepenuhnya di dalam lingkungan hidup manusiawi. Walaupun para inklusivis segan membicarakan umat Buddha sebagai Kristen Anonim, mereka cenderung menganggap umat Buddha sebagai “Kristen potensial”; artinya, apa yang diperoleh umat Buddha melalui kebenaran transformatif paling tepat diwakili dan dipenuhi oleh Yesus Kristus. Seperti yang dikatakan oleh Schubert Ogden, baik eksklusifisme ataupun inklusivisme adalah mereka yang diistilahkan sebagai kaum “monis” dalam hal keselamatan; bahwa anugerah keselamatan Allah ditemukan secara jelas, cukup dan penuh hanya di dalam Yesus Kristus (Ogden 1992, 80-81).[4]
Islam
Di dalam Islam, tentu terdapat juga paham inklusif. Di mana paham tersebut memberikan ruang yang sangat longgar kepada orang-orang di luar keyakinannya, tidak menjustis apalagi menggap salah dan sesat agama lain. Sesuai dengan ajaran yang terdapat dalam al-Quran, Islam sangat menekankan kerukunan dan tidak memberikan paksaan kepada non-Islam untuk keluar dari keyakinannya, karena memang Allah SWT sudah memberikan penjelasan agama yang bagaimana yang palig benar dan Dia memberikan kelonggaran kepada kita untuk memilih sesuai apa yang diyakini oleh kita sendiri.[5]
Tuhan menciptakan manusia secara beragam, dan keragaman itu tidak dimaksudkan agar masing-masing tidak saling menghancurkan satu sama lain, akan tetapi agar manusia saling mengenal dan menghargai eksistensi masing-masing. Dengan menurunkan bermacam-macam agama, tidak berarti tuhan membenarkan diskriminasi satu umat atas umat lain, melainkan agar masing-masing berlomba-lomba berbuat kebaikan. Agama bukan tujuan, melainkan sarana yang mengantarkan penganut agama menuju Tuhan/ The real.[6] Hal demikian, kami kira searah dengan pemahaman mengenai kebenaran universal, di mana kebenaran tersebut mengalami manifestasi lahiriyah secara beraneka ragam dalam ruang lingkup manusia yang tunggal (karena berpegang teguh pada kebenaran yang tunggal). Kemudian mereka berselisih dan berusaha memahami kebenaran itu setaraf dengan kemampuan dan sesuai dengan keterbatasan mereka. Maka terjadilah perbedaan penafsiran terhadap kebenaran yang tunggal itu, yang perbedaan itu mengkerucut oleh masuknya vested interest (memihak diri sendiri) akibat dari adanya nafsu untuk memenangkan suatu persaingan.[7]
Dengan demikian pandangan Islam terhadap agama-agama lain adalah sebagai perbedaan dan keragaman hakikat ontologis (haqiqah wujudiyah/ kauniyah) dan sunnatullah. Termasuk di dalamnya adalah klaim kebenaran (truth-claim) yang absolut dan eksklusif yang mana tanpanya jati diri dan identitas sebuah agama menjadi kabur, tak jelas, atau hilang sama sekali. Dengan kata lain, Islam memperlakukan agama-agama lain sebagaimana adanya (as the way they are) dan membiarkan mereka untuk menjadi diri mereka sendiri, tanpa reduksi dan manipulasi. Apapun kondisi­nya, klaim kebenaran agama harus diapresiasi, tidak boleh dinafikan. Jadi, klaim kebenaran (truth-claim) bagi agama adalah sesuatu yang alami atau natural. Lebih dari itu, ia merupa­kan esensi jati-diri sebuah agama.
ayat-ayat yang membuktikan bahwa dalam Islam juga terdapat paham inklusivisme :
QS al-Baqarah ayat 62 :Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin[8], siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah[9], hari kemudian dan beramal saleh[10], mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
QS al-Baqarah ayat 48: “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian[11] terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, [12] Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”
QS al-Baqarah ayat 148: “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
QS al-Baqarah ayat 256: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[13] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
QS al-Baqarah ayat 6:Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Inklusivisme sendiri bersifat lebih longgar dan terkesan fleksibel terhadap sesuatu yang di luar dirinya, tidak kaku dan memberi jalan kepada selain dirinya untuk mengakui kebenaran mereka. Jadi, asumsi dasar inklusivisme agama adalah mengakui bahwa kebenaran hanya terdapat dalam agama sendiri, namun memberi kesempatan atau jalan bagi mereka yang berlain keyakinan untuk mengakui bahwa agama mereka juga benar.
Karl Rahner dengan konsep "Anonymous Christian"  yaitu walaupun konsep tersebut mengakui terhadap kebenaran yang terdapat dalam agama-agama non-Kristen namun dia mengatakan lebih jauh bahwa keselamatan yang ada dalam agama-agama non-Kristen tersebut diberikan atau dipenuhi oleh Yesus Kristus, dengan demikian dia masih menganggap bahwa agama yang paling benar adalah agamanya sendiri yaitu Kristen.
Inklusivisme dalam Islam, bersifat sangat longgar kepada orang-orang di luar keyakinannya, tidak menjustis apalagi menggap salah dan sesat agama lain. Sesuai dengan ajaran yang terdapat dalam al-Quran, Islam sangat menekankan kerukunan dan tidak memberikan paksaan kepada non-Islam untuk keluar dari keyakinannya, karena memang Allah SWT sudah memberikan penjelasan agama yang bagaimana yang palig benar dan Dia memberikan kelonggaran kepada kita untuk memilih sesuai apa yang diyakini oleh kita sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Dalam internet, website: http://id.wikipedia.org/wiki/Inklusivisme.htm, diakses pada tanggal 26 Maret 2012,  jam 11:54 WIB
Daya. H. Burhanuddin, 2004, Agama Dialogis, Mereda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama, Yogyakarta: LkiS, 2004
Ghazali. Abd. Moqsith, 2009, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Quran, Depok: KataKita, 2009
Khoirul Asfiyak, Teologi Inklusivisme Monistik, dalam internet, website: http://kongkow-with-me.blogspot.com/teologi-inklusivisme-monistik.html, diakses pada tanggal 26 Maret 2012, jam 13:30 WIB
Knitter. Paul F, 2003, Satu Bumi Banyak Agama, Dialog Multi Agama dan Tanggung Jawab Global, diterjemahkan oleh Nico A. Likumahuwa, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2003
Madjid. Nurcholis, 1992, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina
Naim. Ngainun, 2011, Teologi Kerukunan, Mencari Titik Temu dalam Keragaman, Yogyakarta: Teras



[1] Ngainun Naim, Teologi Kerukunan, Mencari Titik Temu dalam Keragaman, (Yogyakarta: Teras, 2011), hal : 27
[2] Khoirul Asfiyak, Teologi Inklusivisme Monistik, dalam internet, website: http://kongkow-with-me.blogspot.com/teologi-inklusivisme-monistik.html, diakses pada tanggal 26 Maret 2012, jam 13:30 WIB
[3] Dalam internet, website: http://id.wikipedia.org/wiki/Inklusivisme.htm, diakses pada tanggal 26 Maret 2012,  jam 11:54 WIB
[4] Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, Dialog Multi Agama dan Tanggung Jawab Global, diterjemahkan oleh Nico A. Likumahuwa, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2003), hal: 39-40
[5] H. Burhanuddin Daya, Agama Dialogis, Mereda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama, (Yogyakarta: LkiS, 2004), hal 229-231
[6] Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Quran, (Depok: KataKita, 2009), hal: 4
[7] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992) hal: 179
[8] Shabiin ialah orang-orang yang mengikuti syari'at nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa.
[9] Orang-orang mukmin begitu pula orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang beriman kepada Allah Termasuk iman kepada Muhammad SAW, percaya kepada hari akhirat dan mengerjakan amalan yang saleh, mereka mendapat pahala dari Allah.
[10] Ialah perbuatan yang baik yang diperintahkan oleh agama Islam, baik yang berhubungan dengan agama atau tidak.
[11] Maksudnya: Al Quran adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam Kitab-Kitab sebelumnya.
[12] Maksudnya: umat Nabi Muhammad SAW dan umat-umat yang sebelumnya.
[13] Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah SWT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar