Minggu, 23 September 2012

POLITIK ISLAM HINDIA BELANDA

Sejauh yang saya pahami tentang politik Islam Hindia Belanda adalah sebuah usaha Belanda yang pada saat itu menduduki Indonesia untuk melakukan zending kepada penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam, khususnya di Jawa. Tokoh utama dalam usaha ini adalah seorang orientalis berkebangsaan Belanda yang bernama Snouck Hurgronje yang datang ke Indonesia pada tahun 1889. Pada mulanya Belanda tidak mempunyai keberanian untuk ikut campur dalam kehidupan agama Islam di Indonesia, hal itu disebabkan kurangnya pengetahuan Belanda terhadap agama Islam sehingga menimbulkan ketakutan adanya pemberontakan orang-orang Islam fanatik, namun di lain sisi Belanda juga optimis bahwa keberhasilan kristenisasi akan segera menyelesaikan semua persoalan yang dihadapi Belanda. Selain ketakutan yang dialami, Belanda juga belem mengetahui sistem sosial kehidupan agama Islam yang berlangsung di Indonesia waktu itu, keengganan mencampuri masalah Islam ini tercermin dalam undang-undang Hindia Belanda di ayat 119 RR : “setiap warga negara bebas menganut pendapat agamanya, tidak kehilangan perlindungan masyarakat dan anggotanya atas pelanggaran peraturan umum hukum agama”, akibatnya pada taun 1865 pemerintah Belanda tidak sudi memberikan bantuan bagi pembangunan suatu masjid.
Namun hal-hal yang dianggap sebagai hambatan untuk melakukan kristenisasi tersebut perlahan hilang seiring adanya ikut campur Snouck Hurgronje. Pertama dia  menegaskan bahwa dalam Islam tidak dikenal lapisan kependetaan seperti yang ada dalam Kristen. Kyai tidak apriori fanatik. Ulama independen yang hanya menginginkan ibadah. Pergi ke Mekkah pun bukanlah berarti mereka fanatik dan berjiwa pemberontak.dia juga menegaskan bahwa pada hakikatnya orang Islam di Indonesia itu penuh damai, tapi dia juga tidak buta terhadap kemampuan politik fanatisme Islam. Baginya musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam doktrin politik. Oleh sebab itu Hugronje membedkan Islam dalam arti ‘ibadah’ dengan Islam sebagai “kekuatan sosial politik”, dia membagi masalah Islam dalam tiga kategori; 1. bidang agama murni atau ibadah, yaitu dengan memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya dengan catatan tidak menggangu kekuasaan pemerintahan Belanda; 2. bidang sosial kemasyarakatan Belanda menggalakkan rakyat agar dekat dengan Belanda; 3. dalam bidang ketata negaraan pemerintahan Belanda mencegah setiap usaha yang akan membawa masyarakat kepada fanatisme dan Pan Islam.
Pada perkembangannya, persaingan antara pemerintah Belanda (dalam usaha menguasai penduduk pribumi), kristenisasi, dan Islam lebih bersifat persaingan dua lawan satu, karena sebagaian besar pribumi beragama Islam, maka persaingan menghadapi Islam juga akan menyangkut sebagian besar penduduk Indonesia. Untuk menjaga kelestarian penjajahannya, pemerintahan Belanda melihat bahwa penguasaan masalah Islam merupakan faktor kunci pemecahan. Bagaimanapun jua Islam harus dihadapi, karena “semua yang menguntungkan Islam di kepulauan Jawa akan merugikan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda”.
Namun bagaimanapun juga usaha yang dilakukan pemerintahan Hindia Belanda untuk menguasai penduduk setempat dan misi pengkristenan pada akhirnya menemui jurang penghambat, yaitu dengan munculnya Tarekat dan Pan Islam yang terus berkembang di wilayah masyarakat pribumi dan masyarakat kecil pada khususnya. Mereka menyadari bahwa gerakan tarekat akan bisa dipergunakan oleh para pemimpin fanatik sebagai basis kekuatan untuk memberontak. Seperti yang terjadi pada peristiwa Cianjur Sukabumi (1885), bermula dari tulisan Brunner  dalam Javabode tanggal 22-09-1885 berjudul Prang Sabil, yang menyatakan akadanya kegelisahan dan suasana keruh di Cianjur Sukabumi akibat aktivitas gerakan tarekat Naqsyabandiyah. Seperti juga peristiwa Cilegon (1888), yaitu sebuah peristiwa pemberontakan di Cilegon, Banten yang anggotanya banyan terdiri dari pengikut tarekat, salah satu identitas gerakan tersebut adalah xenophobia (anti orang asing) dan menggalakkan perang suci. Dan juga peristiwa Garut pada tahun 1919.
 Pan Islam secara klasik berarti penyatuan seluruh dunia Islam di bawah satu kekuasaan politik dan agama yang dikepalai oleh seorang khalifah. Di Indonesia sendiri, masyarakat yang beragama Islam memiliki hubungan erat dengan khalifah Turki. Dalam hal ini pemerintahan Belanda, khsusnya Hurgronje sangat keras mentang gerakan ini, oleh sebab itu dia merekomendasikan kepada pemerintahan belanda untuk bertindak tegas dalam menjalankan kebijaksanaan yang didasarkan atas kepentingan sendiri dan penduduk Belanda di Nusantara. Mereka juga melakukan pengawasan yang ketat terhadap para mukimin dan orang-orang Arab yang menetap di Nusantara sebab mereka anggap kedua unsur tersebut sangat membantu terhadap perkembangan Pan Islam di Nusantara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar