Sejauh
yang saya pahami tentang politik Islam Hindia Belanda adalah sebuah usaha
Belanda yang pada saat itu menduduki Indonesia untuk melakukan zending kepada
penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam, khususnya di Jawa. Tokoh
utama dalam usaha ini adalah seorang orientalis berkebangsaan Belanda yang
bernama Snouck Hurgronje yang datang ke Indonesia pada tahun 1889. Pada mulanya
Belanda tidak mempunyai keberanian untuk ikut campur dalam kehidupan agama
Islam di Indonesia, hal itu disebabkan kurangnya pengetahuan Belanda terhadap
agama Islam sehingga menimbulkan ketakutan adanya pemberontakan orang-orang
Islam fanatik, namun di lain sisi Belanda juga optimis bahwa keberhasilan
kristenisasi akan segera menyelesaikan semua persoalan yang dihadapi Belanda.
Selain ketakutan yang dialami, Belanda juga belem mengetahui sistem sosial
kehidupan agama Islam yang berlangsung di Indonesia waktu itu, keengganan
mencampuri masalah Islam ini tercermin dalam undang-undang Hindia Belanda di
ayat 119 RR : “setiap warga negara bebas menganut pendapat agamanya, tidak
kehilangan perlindungan masyarakat dan anggotanya atas pelanggaran peraturan
umum hukum agama”, akibatnya pada taun 1865 pemerintah Belanda tidak sudi
memberikan bantuan bagi pembangunan suatu masjid.
Namun
hal-hal yang dianggap sebagai hambatan untuk melakukan kristenisasi tersebut
perlahan hilang seiring adanya ikut campur Snouck Hurgronje. Pertama dia menegaskan bahwa dalam Islam tidak dikenal
lapisan kependetaan seperti yang ada dalam Kristen. Kyai tidak apriori fanatik.
Ulama independen yang hanya menginginkan ibadah. Pergi ke Mekkah pun bukanlah
berarti mereka fanatik dan berjiwa pemberontak.dia juga menegaskan bahwa pada
hakikatnya orang Islam di Indonesia itu penuh damai, tapi dia juga tidak buta
terhadap kemampuan politik fanatisme Islam. Baginya musuh kolonialisme bukanlah
Islam sebagai agama, melainkan Islam doktrin politik. Oleh sebab itu Hugronje
membedkan Islam dalam arti ‘ibadah’ dengan Islam sebagai “kekuatan sosial
politik”, dia membagi masalah Islam dalam tiga kategori; 1. bidang agama murni
atau ibadah, yaitu dengan memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk
melaksanakan ajaran agamanya dengan catatan tidak menggangu kekuasaan
pemerintahan Belanda; 2. bidang sosial kemasyarakatan Belanda menggalakkan
rakyat agar dekat dengan Belanda; 3. dalam bidang ketata negaraan pemerintahan
Belanda mencegah setiap usaha yang akan membawa masyarakat kepada fanatisme dan
Pan Islam.
Pada
perkembangannya, persaingan antara pemerintah Belanda (dalam usaha menguasai
penduduk pribumi), kristenisasi, dan Islam lebih bersifat persaingan dua lawan
satu, karena sebagaian besar pribumi beragama Islam, maka persaingan menghadapi
Islam juga akan menyangkut sebagian besar penduduk Indonesia. Untuk menjaga
kelestarian penjajahannya, pemerintahan Belanda melihat bahwa penguasaan
masalah Islam merupakan faktor kunci pemecahan. Bagaimanapun jua Islam harus
dihadapi, karena “semua yang menguntungkan Islam di kepulauan Jawa akan
merugikan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda”.
Namun
bagaimanapun juga usaha yang dilakukan pemerintahan Hindia Belanda untuk
menguasai penduduk setempat dan misi pengkristenan pada akhirnya menemui jurang
penghambat, yaitu dengan munculnya Tarekat dan Pan Islam yang terus berkembang
di wilayah masyarakat pribumi dan masyarakat kecil pada khususnya. Mereka
menyadari bahwa gerakan tarekat akan bisa dipergunakan oleh para pemimpin
fanatik sebagai basis kekuatan untuk memberontak. Seperti yang terjadi pada
peristiwa Cianjur Sukabumi (1885), bermula dari tulisan Brunner dalam Javabode tanggal 22-09-1885
berjudul Prang Sabil, yang menyatakan akadanya kegelisahan dan suasana
keruh di Cianjur Sukabumi akibat aktivitas gerakan tarekat Naqsyabandiyah.
Seperti juga peristiwa Cilegon (1888), yaitu sebuah peristiwa pemberontakan di
Cilegon, Banten yang anggotanya banyan terdiri dari pengikut tarekat, salah
satu identitas gerakan tersebut adalah xenophobia (anti orang asing) dan
menggalakkan perang suci. Dan juga peristiwa Garut pada tahun 1919.
Pan Islam secara klasik berarti penyatuan
seluruh dunia Islam di bawah satu kekuasaan politik dan agama yang dikepalai
oleh seorang khalifah. Di Indonesia sendiri, masyarakat yang beragama Islam
memiliki hubungan erat dengan khalifah Turki. Dalam hal ini pemerintahan
Belanda, khsusnya Hurgronje sangat keras mentang gerakan ini, oleh sebab itu
dia merekomendasikan kepada pemerintahan belanda untuk bertindak tegas dalam
menjalankan kebijaksanaan yang didasarkan atas kepentingan sendiri dan penduduk
Belanda di Nusantara. Mereka juga melakukan pengawasan yang ketat terhadap para
mukimin dan orang-orang Arab yang menetap di Nusantara sebab mereka anggap
kedua unsur tersebut sangat membantu terhadap perkembangan Pan Islam di
Nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar