Adanya tradisi biblikal dan tradisi
utilitarian di Amerika merupakan sebuah respon dari kekacauan yang terjadi di
Amerika pada tahun 1960an. Penduduk asli menganggap diri mereka sebagai “God’s new Israel”, sebuah bangsa di bawah naungan Tuhan (under God) dari sudut pandang ini,
penambahan kata under God dalam janji
loyalitas pada tahun 1950 adalah sebuah indikasi pengikisan tradisi, bukan
karena ia merupakan inovasi tetapi karena ia muncul dari kebutuhan untuk
mengeksplisitkan apa yang selama beberapa generasi diterima begitu saja,. Di
New England pemahaman seperti tersebut diekspresikan dalam simbol biblikal
sebuah janji yang mengisyaratkan suatu relasi khusus antara Tuhan dengan
manusia. Sedangkan individualism utilitarian, secara total tidak pernah sejalan
dengan tradisi biblikal, relasi saling tarik dan tolak antara keduanya sangat
kompleks. Dalam bentuk Hobbesian asli, utilitarianisme tumbuh sebagai upaya
untuk menerapkan metode ilmu dalam memahami manusia dan ia bersifat atheistik
sekaligus determenistik. Istilah pokok dalam tradisi biblikal adalah kesadaran,
dan utilitarian adalah kepentingan.
Pemahaman biblikal terhadap kehidupan
nasional didasarkan pada gagasan komunitas yang memberi manfaat bagi seluruh anggota, komunitas yang
didukung oleh kebaikan publik dan privat. Tradisi ini menjanjikan balasan
keduniaan dan juga akhirat untuk perbuatan baik. Tradisi utilitarian mensyaratkan
pengekangan-diri dan moralitas, jika bukan sebagai tujuan maka sebagai sarana.
Tetapi mekanisme untuk mengahrmoniskan hubungan di antara kedua hubungan
tersebut adalah pendistorsian tradisibiblikal oleh invidualisme utilitarian
sehingga agama biblikal itu sendiri pada akhirnya bagi banyak orang menjadi
sarana untk memaksimalkan pemenuhan kepentingan diri dengan tanpa adanya
hubungan yang efektif dengan kebaikan, anugerah, ataupun komunitas.
R. N. Bellah menggambarkan tiga
kemungkinan skenario terhadap masyarakat Amerika terkait dengan munculnya
kesadaran keagamaan baru yang kelihatan mulai berkembang di kalangan kaum muda
di San Fransisco Bay Area, yaitu liberal, otoritarian tradisional, dan
revulusioner. Masa depan yang diharapkan oleh sebagian besar orang dan proyeksi
yang dideskripsikan para futurology, sangat mirip dengan masyarakat saat ini
dengan sedikit perbedaan, inilah yang
disebut Bellah sebagai skenario liberal. Masyarakat Amerika akan selalu
mencurahkan dirinya untuk mengakumulasikan kekayaan dan kekuasaan.
Rasionalisasi cara yang bersifat mekanik dan tidak adanya fokus terhadap
tujuan., akan meningkat karena agama dan moralitas biblikal terus menerus
mengalami pengikisan. Individualism utilitarian dengan batasan atau sisi
biblika yang lebih sedikit dibanding sebelumnya, akan terus menjadi ideology dominan.
Tradisi yang secara laten ini terdapat dalam seluruh gerakan lanjutan
counter-budaya, politik dan keagamaan, menjadikan semua ini benar-benar
mungkin. Skenario ini menggambarkan masyarakat sebagai sesuatu yang bergerak
menuju, secara perlahan dan gradual kepada sesuatu seperti Brave New World Aldous Huxley. Skenario otoriatarianisme
tradisional baru akan membangun beberapa versi ortodoks tunggal tentang apa itu
kebenaran dan realitas dan juga memaksakan kesepakatan. Beberapa dogma,
keyakinan dan ritual yang relatif historis akan ditetapkan sebagai sesuatu yang
identik dengan realitas objektif itu sendiri. Dengan cara ini, korehensi
personal dan social akan tercapai, tetapi pada akhirnya dengan mengorbankan
objektifitas sesungguhnya. Selain itu juga mengakibatkan pergeran tajam dari
dominasi eksklusif akal teknis; tetapi ia juga tidak menggunakan akal objektif,
dan juga fokusnya yang lebih kepada tujuan ketimbang cara. Yang ketiga adalah
revolusioner, skenario ini diperkirakan akan membawa perubahan struktural
mendasar, baik secara kulturtal maupun social. Budaya ini akan memiliki
komitmen yang kuat terhadap pencarian realitas tertinggi. Prioritas akan
mengalami pergeseran dari akumulasi kekayaan dan kekuasaan yang tiada akhir,
kepada fokus yang lebih besar terhadap harmoni denganalam dan manusia.
Keadaban dan
agama sipil: Munculnya sekte
Phillip E.
Hammond
Salama dua puluh tahun setelah
perang Dunia II, tidak ada penurunan intensitas penggunaan simbol-simbol agama
sipil, bahkan terdapat serangkaian peristiwa yang merendahkan signifikansi
simbol-simbol itu, yang menyebabkan penolakan total terhadapnya. Hal itu
menjadikan komitmen generaasi muda terhadap segala jenis praktek yang
menggambarkan alur nilai-nilai Amerika menurun. Termasuk juga perubahan radikal
kaum muda terhadap ketaatan untuk pergi ke gereja sejak tahun 1950an.
Hal ini merupakan peluang untuk masuknya
sekte-sekte secara mulus yang menawarkan peluang untuk meneguhkan diri dan hal
itu dilakukan dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh kelas menengah dan
tidak pula oleh masyarakat Amerika khususnya. Sekte-sekte ketimuran paling baik
dalam menggambarkan penegasan ini, termasuk juga sekte-sekte yang memfokuskan
kepada radikalisme politik, komunalisme, obat-obatan yang merusak pikiran, atau
fundamentalisme protestan. Sekte-sekte lainnya berbeda karena bersifat
sentrifugal, bukan kekuatan yang mencakup; oleh karena itu mereka secara
signifikan menentang nilai-nilai inti Amerika (baca: agama sipil Amerika). Sekte-sekte itu pada
mulanya menarik kaum muda, dan mendorong anggotanya kepada sebuah dedikasi
total atau paling tidak loyalitas dan komitmen di mana hal ini bukanlah
karakteristik badan-badan keagamaan utama di Amerika, P. E. Hammond menyebutnya
dengan un- Amerikanisme yang memiliki
daya nilai menarik bagi mereka yang menjadi sumber kebencian bagi mereka yang
tertekan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar