Kata Pengantar
Pendekatan
adalah suatu sikap ilmiah (persepsi) dari seseorang untuk menemukan kebenaran
ilmiah yang hendak diperoleh. Dengan demikaian, pendekatan bersifat umum yang
dalam suatu pendekatan tertentu dapat dipergunakan bermacam-macam metode.
Misalnya, seorang sosiolog yang mengkaji agama, ia akan menerapkan pendekatan
dan metode-metode sosiologi. Begitu pula sejarawan, antropolog, fenomenolog dan
lain-lain akan menerapkan pendekatan dan metode sesuai dengan latar belakang
keahliannya.
Pendekatan
atau metode yang paling dekat dan berhubungan dengan pendekatan historis adalah
pendekatan fenomenologis. Hal ini dikarenakan fenomenologi dan sejarah
itu saling melengkapi. Fenomenologi tidak dapat berbua tanpa etnologi,
filologi, dan disiplin kesejarahan lainnya. Sebaliknya, fenomenologi memberikan
disiplin kesejarahan untuk member arti keagamaan yang tidak dapat mereka
pahami. Oleh sebab itu, memahami agama dalam kajian fenomenologi berarti
memahami agama dari sejarah, memahami sejarah dalam arti menurut dimensi
keagamaannya.[1]
Kerangka
pendekatan ini lebih tepat disebut dengan metode Histriko-fenomenologis.[2]
Metode ini berusaha untuk memperjelas pengertian agama. Fenomenologi sudah
tentu mengambil materinya dari sejarah agama secara tepat dan adil, sepanjang
tidak memihak (merupakan sifat khasnya) dan tidak perlu membuat
batasan-batasan. Dari sini jelaslah bahwa fenomenologi agama tidak selalu tetap
dalam cara kerjanya.
Pendekatan
Fenomenologis
Para
peneliti dalam pandangan fenomenologi berusaha memahami arti peristiwa dan
kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu.
Pada dasarnya fenomenologis sangat dipengaruhi oleh Edmund Husserl, Alfred
Schulz, dan Weber. Yang paling ditekankan oleh kaum fenomenoogis adalah aspek
subjektif dari perilaku orang.[3]
Mereka berusaha untuk masuk ke dalam dunia konseptual para subjek yang
ditelitinya sedemikian rupa, sehingga mengerti apa dan bagaimana suatu
pengertian yang dikembangkan oleh mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupannya
sehari-hari. Mereka juga percaya bahwa pada makhluk hidup tersedia berbagai
cara untuk menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang lain,
dan dari pengalaman manusialah yang membentuk suatu kenyataan.
Pendiri
pendekatan fenomenologis adalah Edmund Husserl, yang memandang fenomenologi
sebagai suatu disiplin filsafat yang solid dengan tujuan membatasi dan
melengkapi penjelasan psikologis murni tentang proses-proses pikiran.kemudian
pendekatan ini dipakai untuk menjelaskan bidang-bidang seni, hukum, agama, dan
lain-lain. Adapun fenomenologi agama itu sendiri dikembangkan oleh Max Scheler,
Rudolf Otto, Jean Hearing, dan Gerardus Van der Leeuw. Tujuannya adalah
memahami pemikiran-pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa
mengikuti teori-teori filsafat, teologi, metafisika, ataupun psikologi. Salah satu cara untuk memahami fenomenologi
agama adalah menganggapnya sebagai reaksi terhadap pendekatan-pendekatan
historis, sosiologis, dan psikologis. Kebanyakan ahli fenomenologi menganggap
semua pendekatan semacam itu untuk mereduksi agama menjadi semata-mata aspek sejarah, atau
aspek sosial atau aspek kejiwaan.[4]
Fenomenologi
agama muncul berangkat dari evaluasi atas antesenden (pendekatan yang telah
mendahuluinya), dan berusaha menetapkan kerangka kerja metodologisnya sendiri
dalam studi agama dalam kaitannya sebagai pendekatan alternative terhadap
subjek agama. Terkait perkembangan historis pendekatan fenomenologis,
peneliti Jacques Waardenberg menggunakan
dua term kunci yaitu empiris dan rasional. Empiris mengacu pada
pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian ilmiyah dan diterapkan ke dalam
ilmu-ilmu sosial sebagai suatu pengujian terhadap struktur sosial dan perilaku
manusia. Sedangkan rasional mengacu pada penelitian perilaku manusia yang
sesuai dengan premis-premis dan penemuan pengetahuan ilmiah.
Pendekatan
fenomenologis berusaha mempelajari dan memahami berbagai gejala keagamaan
sebagaaimana apa adanya dengan cara membiarkan manifestasi-manifestasi
pengalaman agama berbicara bagi dirinya sendiri. Pendekatan ini muncul pada
akhir abad ke-20, terutama karena pengaruh filsafat yang dikembangkan Edmund
Husserl. Oleh sebab itu, pengetahuan tentang fenomenologi sebagai disiplin
filsafat juga diperlukan agar dapat menerapkan pendekatan fenomenologis tadi
secara baik ketika mempelajari suatu gejala keagamaan.[5]
Pendekatan
fenomenologis merupakan upaya untuk membangun suatu metodologi yang koheren
bagi studi agama. Terdapat beberapa filsafat yang dapat digunakan sebagai dasar
dibangunnya pendekatan in seperti; filsafat Hegel dan filsafat Edmund Husserl.[6]
Filsafat Hegel, dalam karyanya The Phenomenology of Spirit mempunyai
tujuan untuk menunjukkan pada pemahaman bahwa seluruh fenomena dalam berbagai
keragamannya tapi hanya didasarkan pada satu esensi atau kesatuan dasar.
Filsafat Edmund Husserl, terdapat dua konsep yang mendasari karyanya dan
menjadi titik tolak metodologis yang bernilai bagi studi fenomenologis terhadap
agama yaitu; epoch yang terdiri dari
pengendalian atau kecurigaan dalam mengambil keputusan, dan pandangan eidetic yaitu pandangan yang terkait dengan kemampuan melihat apa
yang ada sesungguhnya.
Beberapa
figur historis utama yang karyanya patut untuk dipertimbangkan dalam tradisi
fenomenologis seperti Van der Leeuw yang mendasarkan penelitiannya pada
berbagai disiplin ilmu seperti filsafat, psikologi, antropologi, sejarah, dan
teologi dalam mempertautkan antara agama dan seni. Sehingga pendekatan yang
dihasilkan merupakan pendekatan yang kompleks dan sangat luas tapi mudah untuk
dipahami. Pierre Daniel Chantepie de la Saussaye merupakan seorang yang pertama
memahami fenomenologi agama sebagai disiplin ilmiah. Nathan Soderblom merupakan
seorang pelopor terjadinya perubahan arah dalam sejarah agama karena pandangannya
yang teliti, tajam, dan mendalam tentang apa yang “tampak”. Ia juga
mengungkapkan komitmennya tentang agama sebagai ekspresi kesucian, suatu
fenomena sui generis, dan
mengungkapkan bahwa tidak ada agama sejati tanpa suatu pembedaan antara yang
suci (holy) dan yang profane. William Brede Kristensen, melihat fenomenologi
agama sebagai pelengkap pendekatan historis dan filosofis. Tugas fenomenologi
adalah melakukan pengelompokkan secara sistematis tentang karakteristik data
untuk menggambarkan watak keagamaan manusia. Fenomenologi hendak mengungkapkan
elemen-elemen esensial dan tipikal dari agama. Fenomenologi adalah prasyarat
bagi filosofis dalam menentukan esensi agama.
Karakteristik
dari pendekatan fenomenologis dapat dikategorikan menjadi dua, yang pertama
yaitu fenomelogi yang concern
malaksanakan suatu kajian agama “deskriptif” dengan tujuan untuk mengukuhkan
pengetahuan tentang berbagai ekspresi fenomena, sehingga dapat membawa pada
suatu klasifikasi tipe-tipe dan tipologi. Gagasan mengenai studi agama secara
fenomenologis sesungguhnya merupakan upaya menjustifikasi studi agama berdasar
istilah yang dimilikinya sendiri daripada berdasar sudut pandang teolog atau
ilmuan sosial. Sebagaimana yang diungkapkan oleh William James dalam bukunya The Varieties of Religious Experince: A
Study in Human Nature, dia memberi ciri pada suatu pendekatan yang
menggambarkan concern fenomenologis.
Berbeda dengan James, Mircea Eliade memiliki minat untuk mengidentifikasi
perbedaan antara sacred dan profane dalam pengalaman manusia.
Bukunya The Sacred and the Profane,
dia menunjukkan bagaimana seorang yang religious berupaya tetap berada dalam
suatu dunia sacred, dan oleh karenanya pengalaman kehidupan totalnya terbukti
bila dibandingkan dengan pengalaman orang tanpa rasa keagamaan yang hidup atau
ingin hidup dalam suatu dunia yang telah terdesakralisasikan.
Menurut
pendekatan ini agama adalah sebuah ekspresi simbolik tentang yang suci,[7]
maka tugas pendekatan ini adalah mendeskripsikan, mengintegrasikan atau
menyusun tipologi dari semua data yang diperoleh dari seluruh agama dunia. Sakral
atau Suci, menurut pandangan ini, adalah Suatu Realitas yang transenden dan
metafisik, yang sering disebut sebagai Wholly Other, Ultimate Reality,
Absolute, berada di luar waktu dan sejarah.
Ada
tiga tugas yang harus dipikul oleh fenomenologi agama,[8]
yakni:
1. Mencari
hakikat ketuhanan
2. Menjelaskan
teori wahyu
3. Meneliti
tingkah laku keagamaan.
Bleeker
menguraikan suatu cara kerja ganda yang menjadi karakteristik dari pendekatan
fenomenologi, yaitu: teori epoche, yakni penangguhan sementara dari
semua penelitian terhadap masalah kebenaran, dan eidetio-vision yang
dapat dijelaskan sebagai penelitian terhadap esensi-esensi. Prinsip eidetik menjadikan
eidos sebagai tujuan penelitian, yakni apakah yang menjadi esensi dalam
fenomenologi agama.
Van
der Leeuw memberikan catatan tujuh fase penelitian fenomenologis[9],
yaitu:
1. Memberikan
nama gejala
2. Menyisipkan
ke dalam kehidupan itu sendiri
3. Memperdalam
pengertian-pengertian agamis tentang hakikat di dalam epoche
4. Memberikan
pengertian agamis yang telah diperdalam
5. Mengetahui
pengertian-pengertian agamis yang telah diperdalam
6. Mengoreksi
dengan menyelidiki kebenarannya, pengertian, atau tujuan bahan fenomenologis
yang umum atau yang lazim
7. Memperkenalkan
pengertian agamis yang telah diperdalam beserta maksudnya.
Fenomenologi
tidak berusaha untuk membandingkan agama-agama sebagai unit yang luas, tetapi
memisahkan diri dari setting historis. Fakata-fakta dalam fenomena yang
sama yang didapati pada berbagai macam agama, dibawanya bersama, dan
dipelajarinya di dalam kelompok-kelompok. Tugas pendekatan ini adalah
mengklasifikasikan data yang sangat banyak dan beragam dengan cara tertentu
sehingga memperoleh gambaran menyeluruh tentang isi keagamaan yang terkandung
di dalamnya. Gambaran yang menyeluruh ini bukanlah merupakan ringkasan sejarah
agama, tetapi survei yang sistematis tentang data-data agama.
Berdasarkan
hal tersebut, jelaslah bahwa fenomenologi tidak boleh membuat suatu kontradiksi
di antara agama yang benar dan yang tidak benar. Dalam keadaan terpaksa,
fenomenologi dapat dengan penuh kewaspadaan membedakan religiusitas murni
dan yang tidak murni.[10]
Oleh karena itu, bidang garapan fenomenologi tidaklah sulit, yakni:
1. Menerangkan
apa yang sudah diketahui yang terdapat dalam sejarah agama, dengan caranya
sendiri. Fenomenologi agama tidak membedakan dirinya dengan macam-macam agama.
2. Menyusun
bagian pokok agama atau sifat alamiah agama, yang juga merupakan faktor
penamaan dari semua agama.
3. Tidak
mempersoalkan apakah gejala keagamaan itu benar, apakah ia bernilai, dan
bagaimana bisa terjadi demikian, atau menentukan lebih besar atau lebih
kecilnya nilai keagamaan mereka. Sekalipun ia berusaha untuk menentukan nilai
keagamaannya, nilai tersebut yang dimiliki oleh pemeluk-pemeluk agama itu
sendiri dan nilai semacam ini tidak pernah bersifat relatif, tetapi selalu
absolute. Oleh karena itu, titik berat yang dibicarakannya adalah bagaimana
kelihatannya dan dengan cara apa ia menempatkan diri kepada kita.
Berkenaan dengan keterkaitan antara
pendekatan historis dan fenomenologis, Van der Leeuw menyatakan bahwa
fenomenologi agama dapat secara terus menerus menarik sejarah. Fenomenologi
adalah interpretasi. Akan tetapi, hermeneutika fenomenologis ini
hanya menjadi seni dan fantasi belaka, setelah hermeneutika fenomenologis
ini dipisahkan dari penilikan hermeneutik-arkeologis-fenomenologis.[11]
Sekalipun demikian, fenomenologi agama dan
sejarah agama bukan merupakan dua ilmu, tetapi dua aspek integral yang saling
melengkapi (komplementer) yang ada dalam cakupan ilmu agama. Disinilah terdapat
suatu hal yang pelik, di satu pihak fenomenologi agama mempunyai sifat sistematis
sehingga dapat dibedakan dari sejarah, di pihak lain, ia tidak mempunyai sifat
normatif sehingga dapat dibedakan dengan filsafat agama dan teologi.
Fenomenologi agama masih memandang harga dan nilai kenyataan serta gejala
keagamaan.
Fenomenologi agama menegaskan bahwa semua
gejala yang tidak terikat oleh tuntutan terhadap kenyataan tidaklah ada
artinya. Namun demikian, fenomenologi agama tidak mengemukakan “nilai” (makna)
dan kebenaran (kenyataan).[12]
Fenomenologi agama menempatkan diantara dua kurung, menunda dan menangguhkan
penetapan sesuatu (epoche).
Fenomenologi agama diterima sebagai cabang
ilmu agama. Namun demikian, banyak ahli fenomenologi agama menginterpretasikan
istilah fenomenologi agama dengan cara pribadi. Misalnya wach mendefinisikan
fenomenologi agama sebagai “studi yang sistematis, jadi tidak historis,
mengenai gejala-gejala agama, seperti do’a, imamah, sekte, dan lain-lain”.
Menurut Raffaele Pettazzoni (1883-1959), guru besar sejarah agama pada
universitas Roma, fenomenologi agama adalah ilmu yang bertugas menemukan
beberapa struktur di dalam kebanyakan gejala keagamaan. W. B. Kristenan
mendefinisikan fenomenologi agama sebagai ilmu yang menggunakan pandangan yang
membandingkan data-data keagamaan, supaya mendapat dukungan baru untuk
interpretasi mereka.
Dari definisi-definisi tersebut, jelaslah
bahwa pada umumnya fenomenologi agama dianggap sebagai cabang sistematis ilmu
agama, sedangkan sejarah agama dipandang sebagai cabang sejarah ilmu agama.
Meskipun hal itu menjelaskan bahwa fenomenologi agama dapat dipandang identik
dengan ilmu perbandingan agama, pada permulaannya fenomenologi agama merupakan
reaksi atas ilmu perbandingan agama yang terlalu dipengaruhi oleh ide-ide
evolusionisme Darwin.
Capaian fenomenologi penting bagi teoritisasi
tentang hakekat agama secara umum, tetapi sedikit banyak membutuhkan
konsekuensi metodologis. Banyak fenomenolog yang memilih pluralism metodologi
yang mengkombinasikan pendekatan apapun dalam studi sejarah, bahasa, dan
ilmu-ilmu sosial agar dapat menyinari fenomena keagamaan dalam penelitian.
Khususnya dari koleksi data yang sangat luas yang disediakan para antropolog sosial,
keragaman ekspresi perilaku keagamaan manusia dipilih dan disaring dalam
penelitian tentang pola-pola umum, bentuk universal keberagaman manusia.[13]
Fenomenologi melanjutkan karakter
perbandingan dan ensiklopedik dari allegemine Religionsgeschichte abad 19,
yang lebih mengupayakan perbandingan sederhana melalui sintesis makna-makna
umum dan lintas budaya. Kontribusi terpenting fenomenologi dalam
tulisan-tulisan terbaru memusatkan pada proses pemahaman yang terjadi ketika
peneliti (sarjana, orang beragama) menghadapi objek (fenomena keagamaan, teks).
Metode historiko-filosofis lama mencari “niat” historis penulis teks dengan
analisis tekstual, dengan kata lain mencari makna asli sehingga tujuan
penjelasan terhadap teks atau ritual terlalu strukturalis, bukan makna
historis, diakronik sebagai makna holistik, sinkronik. Tampaknya fenomenologi
memandang proses agama dalam istilah rangsangan dan respon (pemikiran,
perbuatan suci, atau numenal) dan mengasingkan diri untuk menganalisis respon
atau “pengalaman” keagamaan sebagai bidang penelitian. Fenomenologi juga sangat
membutuhkan pendekatan terbuka dan empatik untuk memahami fenomena keagamaan.
Salah satu kecenderungan penting historiografi abad 19 adalah distingsi yang
dibuat Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan tokoh lainnya antara ilmu alam dan studi
budaya (Geisteswissenchaften).[14]
Untuk tidak sampai terjadi distorsi atau
reduksi yang berlebihan terhadap fenomena keberagamaan manusia, maka pendekatan
model applied sciences[15]
baik dalam bentuk sosiologi, sejarah maupun psikologi terhadap agama dirasa
perlu untuk dilengkapi dengan jenis pendekatan dan pemahaman lain yang bersifat
fenomenologis, yaitu suatu bentuk pendekatan keilmuan yang berusaha mencari
hakikat atau esensi dari apa yang ada dibalik segala macam bentuk manifestasi
agama dalam kehidupan manusia di muka bumi.
Dari sini kita dapat memahami bahwa
pendekatan fenomenologi terhadap agama-agama mirip-mirip dengan pendekatan pada
dataran Pure Science.[16]
Pendekatan yang kedua ini jelas-jelas tidak kalah pentingnya dibandingkan
dengan bentuk pendekatan yang pertama, lantaran dari situlah sebenarnya
pluralitas umat beragama dapat dipahami seutuhnya, sehingga tidak perlu
mendorong munculnya konflik yang tidak berarti antar berbagai pemahaman dan
penghayatan terhadap agama tertentu.
Beberapa
figur historis utama yang karyanya patut untuk dipertimbangkan dalam tradisi
fenomenologis seperti Van der Leeuw yang mendasarkan penelitiannya pada
berbagai disiplin ilmu seperti filsafat, psikologi, antropologi, sejarah, dan
teologi dalam mempertautkan antara agama dan seni. Sehingga pendekatan yang
dihasilkan merupakan pendekatan yang kompleks dan sangat luas tapi mudah untuk
dipahami. Pierre Daniel Chantepie de la Saussaye merupakan seorang yang pertama
memahami fenomenologi agama sebagai disiplin ilmiah. Nathan Soderblom merupakan
seorang pelopor terjadinya perubahan arah dalam sejarah agama karena
pandangannya yang teliti, tajam, dan mendalam tentang apa yang “tampak”. Ia
juga mengungkapkan komitmennya tentang agama sebagai ekspresi kesucian, suatu
fenomena sui generis, dan
mengungkapkan bahwa tidak ada agama sejati tanpa suatu pembedaan antara yang
suci (holy) dan yang profane. William Brede Kristensen, melihat fenomenologi
agama sebagai pelengkap pendekatan historis dan filosofis. Tugas fenomenologi
adalah melakukan pengelompokkan secara sistematis tentang karakteristik data
untuk menggambarkan watak keagamaan manusia. Fenomenologi hendak mengungkapkan
elemen-elemen esensial dan tipikal dari agama. Fenomenologi adalah prasyarat
bagi filosofis dalam menentukan esensi agama.
REFERENSI
Muchtar Ghazali, adeng. Ilmu Perbandingan Agama. Bandung:
Pustaka Setia, 2000.
Djam’annuri
(ed.), Agama Kita: Prespektif Sejarah Agama-agama. Yogyakarta: Kurnia
Kalam Semesta, 2000.
Djam’annuri,
Ilmu Perbandingan Agama: Pengertian dan Obyek Kajian. Yogyakarta: Kurnia
Kalam Semesta, 1998.
C. Martin, Richard (ed.), Pendekatan Kajian
Islam dalam Studi Agama. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001.
Abdullah, amin. Studi Agama: Normativitas
atau Historisitas?. Yogyakarta: 1996.
Connolly, Peter. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LKiS, 2011.
http://id.wikipedia.org/wiki/pendekatan
fenomenologis, diambil tgl. 29 november 2011.
[1]
Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama, hlm. 41.
[2]
Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama, hlm. 42.
[3]
http://id.wikipedia.org/wiki/pendekatan
fenomenologis, diambil tgl. 29 november 2011
[4]
Djam,annuri (ed.), Agama Kita:Prespektif Sejarah Agama-agama, hlm. 21.
[5]
Djam’annuri, Ilmu Perbandingan Agama: Pengertian dan Obyek Kajian, hlm.
20.
[6]
Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi
Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2011), hlm. 110
[7]Djam,annuri
(ed.), Agama Kita:Prespektif Sejarah Agama-agama, hlm. 21.
[8]
Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama, hlm. 42.
[9]
Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama, hlm. 43.
[10]Adeng
Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama, hlm. 43.
[11]
Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama, hlm. 45.
[12]
Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama, hlm. 45.
[13]
Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, hlm. 9.
[14]
Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, hlm. 9-10.
[15]
Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, hlm. 27.
[16]
Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, hlm. 27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar