(Pada Masa Kerajaan dan
Penjajahan
serta Kemunculan Agama Tirta
dan Perkembangannya)
BAB I
PENDHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seperti halnya masyarakat yang belum di jamah
oleh suatu agama, Nusantara yang sekarang menjadi Indonesia mempunyai
masyarakat yang menganut kepercayaan dinamisme dan animisme, suatu kepercayaan
yang sudah membudaya sekian lamanya. Sehingga kemudian masuklah agama Hindu di
Indonesia. Perkembangan agama Hindu di Indonesia berlangsung pesat, hal itu
dikarenakan adanya unsur-unsur kesamaan antara agama Hindu dengan agama nenek
moyang, antara lain pemujaan agama Hindu terhadap Brahman dan para dewa tidak
jauh berbeda dengan kepercayaan masyarakat Indonesia waktu itu yang memuja
roh-roh leluhur, dilihat dari tempat pemujaannya dalam agama Hindu terdapat
lingga, candi, dan arca, sedangkan masyarakat setempat terdapat menhir, punden
berundak, tahta batu, dan patung, dilihat dari pelaksanaan upacara umat Hindu
dipimpin oleh kaum Brahman sedangkan masyarakat setempay dipimpin oleh dukun.
Selain itu hal yang menjadikan cepatnya penyebaran agama Hindu bahwa kedatangan
agama Hindu di Indonesia tidak merubah budaya asli, melainkan menjiwai sistem
budaya yang telah ada, sehingga mencerminkan nilai kebenaran, kebajikan dan
keindahan.
Dalam hal ini, kami akan memaparkan bagaimana
sejarah pertumbuhan dan perkembangan Hindu di Indonesia: masa kerajaan dan
penjajahan (kemunculan agama Tirta dan ajarannya) secara lebih luas, sehingga
nantinya bisa dijadikan pembelajaran bersama dan menjadi ilmu bantu untuk
memahami keberadaan agama Hindu di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Untuk lebih mengarahnya pembahasan yang akan
kami paparkan selanjutnya, sangat dierlukan rumusan masalah sebagai batasan
pembahasan kami, yaitu:
1. Bagaimana sejarah pertumbuhan dan perkembangan agama
Hindu di Indonesia pada masa kerajaan?
2. Bagaimana sejarah agama Hindu di Indonesia pada masa
penjajahan dan kapan kemunculan agama Tirta di Indonesia?
BAB II
SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HINDU
DI INDONESIA PADA MASA KERAJAAN
A. Masa Keemasan
Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi
pada abad ke-4 Masehi, hal ini dapat diketaahui dengan adanya bukti tertulis
atau benda-benda purbakala pada abad ke-4 Masehi di kerajaan Kutai. Dan
prosesnya tidak jauh berbeda dengan masuknya agama Islam di Indonesia yaitu
dengan melalui kontak-kontak dagang. Transaksi dagang India yang beragama Hindu
memicu pertumbuhan dan perkembangan agama Hindu di Indonesia yang pada saat itu
bersistem kerajaan. Jejak-jejak pertumbuhan Hindu di Indonesia di temukan di
Kalimantan Timur (Kutai, abad ke-4), Bali, dan Jawa Barat (Purnawarman, abad
ke-5). Ada dua sumber yang dapat dijadikan acuan untuk memahami perkembangan
agama Hindu di tahap awal Nusantara (baca: Indonesia), yaitu prasasti dan
bangunan suci (candi) yang erat kaitannya dengan kerajaan Hindu pada waktu itu.
1. Prasasti
Prasasti pertama yang
berkaitan erat dengan kerajaan Hindu ditemukan pertama kali di Kutai,
Kalimantan Timur pada awal abad ke-5 dalam bentuk tujuah buah Yupa (memakai
huruf Pallawa dan bahasa sansakerta). Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan
keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: “Yupa itu didirikan untuk memperingati dan
melaksanakan yadnya oleh Mulawarman”, selain itu Prasasti tersebut memuat
silsilah raja-raja pertama Kutai. Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja
Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa.
Tempat itu disebut dengan “Vaprakeswara”.[1]
Di jawa Barat juga ditemukan sejumlah prasasti (memakai huruf Pallawa dan
bahasa sansakerta) yang dibuat pada abad ke-5 sebagai peninggalan raja
Purnamarwan.
Dan hal yang perlu
digaris bawahi, semua prasasti yang ditemukan di Kalimantan Timur dan jawa
Barat tidak menunjukkan angka tahun yang pasti, prasasti pertama yang berangka
tahun adalah prasasti Canggal yang yang memakai tahun Candra Sangkala “Sruti Indria Rasa”, artinya tahun 654
Saka/ 732 M. Berdasarkan prasasti Canggal dan sejumlah prasasti yang ditemukan
di Yogyakarta, Magelang, dan Kedu, dapat disimpulakan bahwa antara tahun
732-929 M di Jawa Tengah berdiri kerajaan Hindu yang bernama Kerajaan Mataram,
dengan ibu Kota Kerajaan berrnama Medang. Prasasti-prasasti itu menyebut
dewa-dewa Tri Murti, dengan dewa Siwa sebagai dewa yang paling utama, dan dapat
dipastikan Hinduisme yang menonjol waktu itu adalah sekte Siwa.
Prasasti Dinoyo (760
M) yang ditemukan di Jawa Timur dekat kota malang dengan memakai huruf Jawa
Kuno berbahasa sansakerta, menceritakan keberadaan kerajaan Kanjuruhan yang diperintah
oleh dewa Simha, beliau tergolong raja yang sangat bijaksana, dan pemuja dewa
Siwa. Selajutnya kerajaan Kanjuruhan disatukan oleh Mataram pada zaman
pemerintahan Rakai Balitung. Pada tahun 929 kerajaan Mataram Jawa Tengah
dipindahkan oleh Mpu Sindok ke Tawlang (Jawa Timur, deket Jombang) dan
mendirikan dinasti Isana. Senagai seorang yang taat beragama Hindu, pada masa
pemerintahan Mpu Sindok berhasil disusun kitab-kitab agama Hindu (Bhuana Kosa, Bhusana Sanksepa, Vrhaspati
Tattva). Pemerintahan selanjutnya yang dipimpin oleh Dharmawangsa Teguh
(991-1016) disusun kitab hukum Purwadigama
(bersumber pada Manava Dharmasastra)
dan Siwasesana. Di lakukan juga
penerjemahan kitab Mahabrata dan Ramayana dari bahasa Sansakerta ke bahasa Jawa
yang dipimpin langsung oleh Dharmawangsa sebagai tim penerjemah. Pada
pemerintahan Airlangga yang juga beragama Hindu tapi bersekte Wisnu (1019-1042)
dalam uapayanya sebagai penerus Dinasti Isana, berhasil disusun kitab Arjuna
Wiwaha oleh Mpu Kanva (1030 M). Kemudian Airlangga lengser keprabon mandeg pandito, menjadi seorang pertapa dengan
nama Rsi Gentayu, setelah sebelumnya membagi kerajaan menjadi dua, yaitu
Jenggala dan Kediri dan menyerahkan kepada kedua putranya.
Perkembangan
selanjutnya Kerajaan Kediri menjadi kerajaan besar dan berpengaruh dengan agama
Hindu yang bersekte Wisnu. Pada pemerrintahan raja pertama yaitu Jayawarsa
berhasil dibuat kekawin Ramayana. Pada masa pemerintahan Kameswara (1115-1130)
disusun kekawin Samarandana oleh Mpu Darmaja. Pada masa pemerintahan Jayabaya
(1130-1160) berhasil digubah kekawin Bharata Yudha oleh Mpu Sedah dan Panuluh;
Kisnayana, Hariwangsa, dan Gatotkacasraya oleh Mpu Panuluh; Lubdaka oleh Mpu
Tanakung; dan Bhoma Kavya oleh Monaguna. Dan akhirnya Kerajaan Kediri runtuh
pada masa pemerintahan Kertanegara (1200-1222) karena diserang oleh Ken Arok
(pendiri kerajaan singosari).
Bersamaan dengan
pemerintahan Airlangga di Jawa Timur, di Jawa Barat terdapat kerajaan
Parahyangan Sunda. Rajanya bernama Sri Jayabhupati Jayamahen Wisnumurti,
beragama Hindu sekte Vaisnava. Kerajaan tersebut meninggalkan prasasti tentang
pemujaan kepada Sang Hyang tapak. [2]
2. Candi
Bukti lain yang
menunjukkan bahwa dewa siwa menjadi dewa yang paling utama di mayoritas
masyarakat Indoneisa khususnya di Jawa Tengah pada saat kerjaan Mataram Jawa
Tengah (723-929 M) adalah pendirian candi Prambanan pada zaman pemerintahan
Pakai Pikatan dan permaisurinya Pramodhawardhani yang menempatkan candi Siwa
sebagai candi pusat.[3]
Hal itu terjadi sebelum Mpu Sindok memindahkan Kerajaan Mataram Jawa Tengah ke
Jawa Timur. Di Jawa Timur Dewa Simha seorang Raja Kanjuruhan (760 M) mendirikan
candi Badut yang di dalamnya ada patung Lingga dan patung Puntikeesvara sebagai
penghormatan kepada Maharsi Agastysa yang selalu digambarkan sebagai Siwa dalam
wujudnya sebagai Mahaguru.
Pada kerajaan singosari, banyak didirikan candi-candi
untuk pemujaan kepada arwah-arwah raja yang sudah wafat. Yang cukup menarik
raja-raja tersebut didirkan dua candi; Hindu dan Budha. Seperti Ken Arok, yang bergelar
Sri Rajasa Sang Amurwabhumi dibuatkan
candi kegenengan (dipuja sebagai titisan Siwa) dan candi Usana (dipuja sebagai
Budha).
Kehidupan berlangsung rukun ketika masa
kerajaan Majapahit (1293-1528) sehingga memberikan peluang dan berkembangnya
kebudayaan, yang diwujudkan dalam bentuk candi dan karya sastra dan produk
perundang-undangan. Peninggalan candi Seperti candi Simping, candi Penataran,
dan candi Rimbi. Karya satranya seperti
‘Negara Kertagama’ (Mpu Prapanca) yaitu tentang keluarga kerajaan dan
kondisi masyarakat, ‘Sutasoma’ (Mpu
Tantular) tentang keserasian hubungan antara Hindu-Buddha lewat sesanti Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma
mangrwa, dan ‘Arjuna Wiwaha’ tentang
ajaran kepemimpinan panca stiti dharmeng
prabu, tentu pagelaran, Calon Arang, Bubuksah, Sundayana, Rangga Lawe, dll.
Dua buah kitab hukum yang berhasil disusun adalah kitab Kutaramanawa yang
dibuat oleh gajah Mada, mengacu pada Manavadharmasastra disesuikan dengan hukum
adat yang sudah ada dan kitab Patiguna yang mengatur tentang pertanian dan
pemanfaatan tanah.
B. Masa Keruntuhan
Masa keruntuhan agama Hindu di Indonesia
terjadi setelah Gajah Mada dan Hayam Wuruk wafat, kerajaan Majapahit mengalami
kemunduruan yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Tidak adanya kaderisasi kepemimpinan sehingga tidak ada
yang mempu menggantikan kedudukan gajah Mada,
2. Adanya perpecahan keluarga yang kemudian disusul dengan
terjadinya perang Peregreg,
3. Dan juga masuknya agama Islam yang sebelumnya memang
telah mengalami perekmabangan begitu pesat di daerah pesisir; Tuban, Gresik,
Jepara, Demak dll.
Pada saat Mjapahit lemah, bandar-bandar islam
menyerang kerajaan Majapahit dengan dipimpin oleh sultan Demak yaitu Raden
Patah. Keruntuhan Majapahit mengawali keruntuhan kerajaan-kerajaan Hindu lainnya,
seperti Kerajaan Pajajaran ditaklukan oleh Kesultanan Banten, sedangkan
Blambangan diserbu ooleh sultan Agung. Keruntuhan kerajaan Hindu Majapahit yang
disusul dengan Transformasi agama rakyat dari Hindu menjadi Islam secara umum
memang berlangsung cukup mudah, karena pada zaman itu agama rakyat bergantung
pada agama Raja “agama ageming aji” sehingga
merubah Hindu mayoritas menjadi Hindu Minoritas. Akan tetapi ada juga
orang-orang yang menolak untuk masuk Islam, sehingga mereka terpaksa
menyyingkir ke Pasuruan, Panarukan, dan Bali.
Beberapa pendeta yang datang ke Bali karena
menolak untuk masuk Islam diantaranya adalah Dang Hyang Nirartha dan Dang Hyang
Astapaka (Buddha). Kedua pendeta tersebut diangkat menjadi pendeta Istana di
Kerajaan Gelgel oleh Raja Dalem Waturenggong, oleh sebab itu terjadilah banyak
perubahan, yaitu:
1. Kedudukan para Mpu dan
Rsi Bujangga yang tadinya sebagai bhagavanta kerajaan digantikan
kedudukannya oleh beliau berdua;
2. Sistem catur warna yang
sudah ada sejak zaman Bali Kuno diganti dengan catur wangsa. Dalam hal ini keturunan kedua pendeta tersebut
menjadi Brahmana wangsa, keluarga Dalem (kerajaan) menjadi Ksatria wangsa,
sedangkan para arya yang berasal dari kedri dan majapahit dijadikan Waisya
wangsa, selain dari Tri wangsa tersebut
dinamakan Sudra wangsa. Pada umumnya orang-orang yang asli Bali tidak dapat
menerima digoolongkan sebagai sudra wangsa dan akhirnya mereka menyebut dirinya
sebagai Jaba (luar);
3. Disusun lontar-lontar pedoman hidup bernegara dan
bermasyarakat menurut sistem catur wangsa
serta pedoman upacara keagamaan. Mpu Lutuk menulis sebuah lontar Plutuk
yang berisi tentang pedoman sesaji;
4. Sebutan pendeta Dang Hyang menjadi Pedanda. Pedanda
Nirartha banyak menulis lontar keagamaan, misalnya Kidung Sebun Sangkung, Dharma
Pitutur, Dharma Putus, Dharma Senya Keling, Selutuk Menor, Siwa Sesana, Putra
Sesana, dll.
BAB III
SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HINDU
DI INDONESIA PADA MASA PENJAJAHAN
(Kemunculan agama Tirta dan Ajarannya)
Setelah Zaman Waturenggong di Bali,
perekmebangan agama Hindu di Bali tampaknya tidak mengalami perubahan yang
berarti. Apalagi setelah pemerintaha Sri Aji Dewa Agung Gede (1825-1870) yang
sangat lemah, yang memberi peluang beberapa punggawa daerah untuk melepaskan
diri dan membentuk kerajaan-kerajaan kecil. Kedatangan Belanda ke Indonesia
khususnya ke Bali ikut memperkeruh sistem kemasyarakatan, sehingga catur wangsa semakin kuat menjadi kasta
ala Bali.
Pada tahun 1939 di Klungkung berdiri
organisasi keagamaan bernama Tri Murti, sedangkan di Singaraja berdiri
Perkumpulan Bali Dharma Laksana. Organisasi-organisasi tersebut bermaksud
memperbaiki pelaksanaan agama melalui penerbitan buku-buku, untuk meningkatkan
kualitas umat. Pada zaman Jepang didirikan Paruman Pandita Dharma yang bertujuan
untuk mempersatukan berbagai paham keagamaan yang terdapat di Bali. Pada waktu
itu agama yang dianut oleh masyarakat Bali adalah agama Siwa Raditya atau agama Sang
Hyang Surya (sesuai dengan dewa yang dipuja masyarakat Jepang).[4]
Kemunculan Agama Tirta dan Ajarannya
Aagama Tirta (air) muncul pada zaman
kedudukan Belanda di Indonesia, karena agama ini menyembah Siwa dan Budha, dan
umumnya upacara yang diadakan oleh agama Tirta menggunakan air suci. Sekarang
nama resmi agama ini adalah agama Hindu Dharma.
Agama Hindu Dharma adalah agama upacara, umat
pada umumnya tidak berbicara mengenai teologi namun setia menjalankan upacara
agama sesuai petunjuk para imam. Kepercayaan akan kehidupan reinkarnasi itu
disertai upacara ngaben (pembakaran
mayat keluarga kaya). Mereka yang terpelajar mencari pengertian mengenai
dewa-dewi lokal dan ikatannya dengan sesama dewa. Sebagai contoh dewa Batara di
danau batur adalah saudara dewa Batara di gunung Agung, padahal keduanya
berasal dari dewa-dewi Jawa kuno. Untuk menjaga Bali, Dewa Jawa (Sang Hyang
Pasupati) mengirimkan 7 anak-anaknya ke Bali yang kemudian menjadi dewa-dewi
lokal.
Penyebaran agama disamping melalui para imam
(ajaran Weda) juga dengan kuat ditanamkan melalui upacara dan tari-tarian,
khususnya yang bertemakan Mahabarata dan Ramayana, juga babad (sejarah tradisi) dan tutu/ satua (sejarah yang diucapkan
turun-temurun). Dewa utama di Bali adalah Trimurti Weda, yaitu Brahma
(pencipta), Wisnu (pemelihara) dan Syiwa (perusak). Tiap keluarga Bali memiliki
kuil (sangga) beruang tiga untuk menyembah Trimurti dan roh-roh nenek-moyang.
Di tingkat desa, desa adat memiliki tiga kuil (pura-tiga kayangan), yaitu pura Desa, Puseh, dan Dalem yang
dipersembahkan kepada Brahma, Wisnu dan Syiwa bersama-sama. Disamping itu ada
pura yang bersifat regional yang disebut 'Kahyangan
Jagad' (tempat suci dunia), seperti pura Besakih, Batur, Lempuyang Luhur, Gua Lawah, Uluwatu, Batukara, Pusering
Jagad, Pulaki, Tanah Lot, dan Sakenan.
Dari seluruh pura ini, pura Besakih di lereng gunung Agung adalah yang
terbesar. Kuil-kuil diisi Meru (pagoda) yang biasanya beratap
ganjil jumlahnya dan maksimum sebanyak 11 buah dan biasanya digunakan untuk
menghormati dewa-dewi atau nenek-moyang tertentu.
Agama Hindu Bali adalah agama upacara dimana agama dituturkan
dari generasi-ke-generasi yang diperkuat dengan persembahan kepada dewa-dewi
setiap hari, dan khususnya pada hari-hari tertentu ada persembahan untuk
mengingat hari raya tertentu, dan juga untuk pergi ke kuil secara berkala.
Setiap perayaan penting selalu didahului upacara agama untuk mengusir roh-roh
jahat. Demikian juga, bencana alam (termasuk pengeboman di legian-Kuta) harus
disucikan dengan upacara doa. Hindu Bali menyembah dewa tertinggi yang disebut
Sang Hyang Widi sebagai manifestasi dewa matahari Syiwa Raditya. [5]
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan agama
Hindu di Indonesia pada masa kerajaan berlangsung dengan sangat mudah dan
cepat, hal itu dikarenakan terdapat banyaknya persamaan antara ajaran agama
Hindu dengan kepercayaan masyarakat Indonesia pada waktu itu. Masuknya agama
Hindu ke Indonesia terjadi pada abad ke-4 Masehi, Jejak-jejak pertumbuhan Hindu
di Indonesia di temukan di Kalimantan Timur (Kutai, abad ke-4), Bali, dan Jawa
Barat (Purnawarman, abad ke-5). Ada dua sumber yang dapat dijadikan acuan untuk
memahami perkembangan agama Hindu di tahap awal Nusantara (baca: Indonesia),
yaitu prasasti dan bangunan suci (candi) yang erat kaitannya dengan kerajaan
Hindu pada waktu itu.
Sejarah agama Hindu di Indonesia pada masa
penjajahan smeakin memper keruh suasana, karena waktu itu kerajaan Hindu sudah
banyak di runtuhkan oleh kerajaan-kerajaan yang beragama Islam. Di Bali,
kedatangan belanda menjadikan catur wangsa semakin kuat sebagai kasta ala Bali.
Pada zaman Jepang didirikan Paruman Pandita Dharma yang bertujuan untuk
mempersatukan berbagai paham keagamaan yang terdapat di Bali. Pada waktu itu
agama yang dianut oleh masyarakat Bali adalah agama Siwa Raditya atau agama Sang
Hyang Surya (sesuai dengan dewa yang dipuja masyarakat Jepang). Aagama
Tirta (air) muncul pada zaman kedudukan Belanda di Indonesia, karena agama ini
menyembah Siwa dan Budha, dan umumnya upacara yang diadakan oleh agama Tirta
menggunakan air suci. Sekarang nama resmi agama ini adalah agama Hindu Dharma.
DAFTAR PUSTAKA
_______,
Pebandingan Agama, dalam internet,
website: http://www.sarapanpagi.org/perbandingan-agama-vt2431.html?sid=7ff91da1ee6d1e1eededfa3e9c6efa35,
diakses pada tanggal 27 November 2011
_______,
Perkembangan Kerajaan
Hindu-Budha di Indonesia, dalam internet, website: http://history55education.wordpress.com/2011/07/20/perkembangan-kerajaan-hindu-budha-di-indonesia/,
diakses pada tanggal 27 November 2011
_______,
Sejarah Agama Hindu di Indonesia, dalam
internet, website: http://kmhd.lk.ipb.ac.id/2010/11/06/sejarah-agama-hindu-di-indonesia/,
diakses pada tanggal 27 November 2011
_______,
Sejarah, Teologi dan Etika Agama-Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hl:6-10
[1]
_______, Sejarah Agama Hindu di
Indonesia, dalam internet, website: http://kmhd.lk.ipb.ac.id/2010/11/06/sejarah-agama-hindu-di-indonesia/,
diakses pada tanggal 27 November 2011
[2]
__________, Sejarah, Teologi dan Etika
Agama-Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003), hl:6-10
[3]
________, Perkembangan
Kerajaan Hindu-Budha di Indonesia, dalam internet,
website: http://history55education.wordpress.com/2011/07/20/perkembangan-kerajaan-hindu-budha-di-indonesia/,
diakses pada tanggal 27 November 2011
[4]
__________, Sejarah, Teologi dan Etika
Agama-Agama,hl: 13-14
[5]
_________, Pebandingan Agama, dalam
internet, website: http://www.sarapanpagi.org/perbandingan-agama-vt2431.html?sid=7ff91da1ee6d1e1eededfa3e9c6efa35, diakses pada tanggal
27 November 2011
tulisan yg bagus & lengkap....
BalasHapus