Jumat, 24 Februari 2012

KHARISMA (Studi atas Presiden Pertama RI Soekarno)


KHARISMA, Studi atas Presiden Pertama RI Soekarno
A.    Latar belakang
Seorang kolumnis Boston Globe yaitu DS Greenway pernah menulis tentang Kharisma Dalam Kepemimpinan. Menurutnya kharisma merupakan bakat yang secara garis besar dimiliki pemimpin besar semacam Adolf Hitler, Martin Luther King, Winston Churchil, Fidel Castro, Nelson Mandela begitu pula Eva Peron. Bila kita mencoba untuk sedakat menganalisis potongan tulisan tersebut, bisa diambil sebuah simpulan bahwa suatu kharisma terdapat kepada semua manusia tidak terkecuali apakah orang tersebut memiliki sifat baik atau buruk seperti halnya yang telah disebutkan oleh Greenway di atas, sorang pemimpin dari suatu kelompok besar Jerman (Nazi) yang diklaim kejam yaitu Adolf Hitler. Tidak dapat dipungkiri memang seorang pemimpin memiliki yang namnya kharisma, karena dengan adanya kharisma tersebut seorang pemimpin bisa mempengaruhi orang lain untuk menjadi pengikutnya, dan tidak memaksa.
Dengan adanya suatu kharisma di dalam diri semua manusia, maka langkah selanjutnya yang musti dilakukan adalah mengembangkan atau memperbesar kharisma tersebut dengan keterampilan dan kecerdasan kita, karena kharisma cuma akan menjadi lebih berkembang ketika orang lain dapat menganggap kita sebagai orang yang pintar cerdas, ataupun kelebihan kita yang lainnya yang dapat kita tunjukkan kepada mereka. Jadi, bisa dikatakan bahwa tolok ukur besar kecilnya pengaruh kharisma kita terhadap orang lain yaitu tergantung kualitas atau kedudukan kita, apa bila kita menjadi seorang pemipin negara maka kharisma kita jauh lebih besar ketimbang orang biasa yang tidak mempunyai kedudukan sama sekali ataupun tidak mempunyai kualitas yang sama seperti kita. Oleh sebab itulah kemudian, dirasa menarik ketika kita berbicara kharisma pada domain Soekarno atau lebih dikenalnya Bung Karno yang merupakan Presiden RI pertama.


B.     Pengertian Kharisma
Sebelum kita beranjak lebih jauh mengenai pembahasan kharisma, di sini kami ingin membahas terlebih dahulu tentang definisi kharisma. Kata kharisma berakar dari bahasa Yunani, ‘charizethai’, yang berarti karunia atau bakat. Menurut mitologinya, para dewa mengaruniakan kekuatan spesial pada orang-orang tertentu sehingga mereka bisa tampil lebih menawan, ataupun anggun.
Dalam Kamus Ilmiah Populer, Edisi Lengkap kata kharisma berarti kewibawaan; pembawa, anugerah; kelebihan seseorang (pemberian tuhan); anugerah istimewa dari tuhan.[1] Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Karisma (hkarisma) berarti keadaan atau bakat yang dihubungkan dengan kemampuan yang luar biasa dalam hal kepemimpinan seseorang untuk membangkitkan pemujuaan dan rasa kagum dari masyarakat terhadap dirinya, yang didasarkan atas kualitas kepribadian individu.[2] Menganalisis dari dua arti kata tersebut, kami mengartikan kharisma sebagai kelebihan atau kemampuan luar biasa seseorang dalam hal memimpin yang dikaruniai oleh tuhan sehingga bisa membangkitkan pemujaan dan rasa kagum dari masyarakat atau kelompok terhadap dirinya yang didasarkan atas kualitas kepribadian individu.
Sementara dalam studi psikologi sosial modern, kharisma adalah pengaruh yang dimiliki seseorang terhadap orang lain atau kelompok. Ahli sosiologi berkebangsaan Jerman, Max Weber, orang pertama yang secara serius mempelajari tentang kharisma. Beliau menyatakan kharisma adalah, “… sebuah kualitas yang pasti dan dapat dipercaya dari seorang individu, berdasarkan kebijakan yang mana diletakkan secara terpisah dengan orang yang biasa dan diperlakukan sebagai diberkahi hal-hal yang ghaib, melebihi yang dimiliki manusia, atau setidaknya secara spesifik merupakan kekuatan atau kualitas yang luar biasa,” dan menurut Pierre BourMannas, seorang pemerhati sosiologi Perancis, hal tersebut hanya berada di alam persepsi orang yang melihatnya. Dengan kata lain, Anda tidak bisa merasakan sendiri bahwa Anda berkharisma atau tidak, itu hanya bisa dideteksi dan dirasakan oleh orang lain.[3]
Berdasarkan pengertian yang dilontarkan kedua sosiolog di atas mengenai kharisma itu sendiri, idealnya kharisma adalah pengelolaan diri seseorang di mana, orang tersebut terus-menerus mengembangkan kelebihan atau kemampuan dirinya yang bisa memancar keluar hingga orang lain di sekitar kita bisa merasakannya atau bisa menjadi penggemar (pengikut) yang bisa saja fanatik untuk diri kita. Seperti halnya inner beauty, di mana inner beauty (kecantikan batin) bisa menjadi inner power maka kharismapun demikian, orang akan merasakan jika berhadapan dengan seseorang yang mempunyai kharisma, energi positif akan memancar keluar memberi daya tarik kepada orang yang berinteraksi.
Sebuah kharisma juga bisa hilang dari seorang tokoh yang kharismatik, hal itu biasanya disebakan oleh dirinya sendiri yang sudah tidak mampu mengolah keterampilannya hingga kualitas kepribadiannya hilang. Dan klaim kharismatik menemui kegagalan bila misinya juga tidak diakui oleh orang-orang yang merasa diutus olehnya. Oleh sebab itu, untuk dapat menyandang sebagai tokoh yang kharismatik seorang individu harus benar-benar menjaga kualitas dirinya karena kharisma murni tidak mengenal ‘legitimasi’ apapun selain yang berasal dari ketangguhan personal yaitu kekuatan yang terus-menerus teruji, dalam hal itu yang dibutuhkan adalah bukti, [4] taruhla seorang nabi. Jika memang ingin diakui sebagai seorang nabi, individu tersebut harus membuktikan dirinya sebagai nabi, salah satunya harus menampilkan suatu mukjizat.
C.    Kharisma seorang Soekarno
Setelah pembahasan kita mengenai pengertian kharisma, pembahasan selanjutnya mengani kharisma yang terdapat dalam diri seorang tokoh pemimpin. Dalam sub pembahasan ini tokoh pemimpin yang menjadi objek kajian adalah Presiden Republik Indonesia yang menurut salah seorang kolumnis Boston Globe, DS Greenway, -yang pernah menulis tentang karisma dalam kepemimpinan- Soekarno atau lebih akrabnya dengan panggilan Bung Karno merupakan satu-satunya pemimpin nasional yang dianggap karismatik. [5]
Seorang wartawan asal AS, Martha Gelhorn, menyaksikan Bung Karno berpidato pada tahun 1946. Ia menyimpulkan Bung Karno orator hebat, "hanya dengan mengikuti gerak kedua tangannya, melihat kedua matanya dan mendengarkan suaranya. Siapapun bisa merasakan kehebatan dia walau saya tidak mengerti apa yang diucapkannya" tuturnya. Kekuatan tersebut bisa dimungkinkan muncul disamping Bung Karno seorang pemimpin juga karena bahasa yang dipakai ketika berpidato ataupun memberikan orasi beliau selalu menggunakan bahasa yang radikal, hal tersebut dilakukannya untuk semata membela rakyat dan membangkitkan semangat rakyat untuk ikut berjuang. Pemakaian bahasa radikal bagi seorang Soekarno merupakan alat seorang politikus untuk menggelorakan semangat rakyat yang nantinya akan menimbulkan keberanian rakyat serta kepercayaan akan masa depan. Hal itu juga merupakan alasan mengapa tahun 1930 Bung Karno ditangkap dan ditahan oleh Belanda selama dua tahun.[6] Pola seperti itu dimiliki Bung Karno sejak beliau muda, sehingga tidak dipungkiri akan kualitas dirinya, dan secara tidak langsung meningkatkan kharisma pribadinya sendiri.
Bung Karno bukan hanya pendiri PNI tahun 1927 atau presiden dalam periode 1945-1967. Beliau merupakan ideolog besar yang menemukan, merumuskan, sekaligus mempraktikkan nasionalisme ala Indonesia. Karisma Bung Karno yang terlalu besar membuat siapapun sukar membedakan ideologi Soekarnoisme dengan nasionalisme. Konsep nasionalisme yang ditampilkam oleh Bung Karno pada saat di mana pergerakan mendapat pukulan dan hambatan dan ditengah-tengah kekacauan tujuan, membuka suatu babak baru dalam perkembangan nasionalisme Indonesia.
Fokus baru diberikan Bung Karno bagi pergerakan dan bagi semua orang yang terlibat dalam politik atau sadar akan politik. Dengan aksi dan programnya Bung Karno bertindak seolah-olah telah berdiri suatu negara di dalam negara kolonial. Salah seorang yang mendengar pidato Bung Karno mengatakan bahwa pada saat itu dia seperti percaya bahwa Indonesia telah merdeka. Dengan susah payah Bung Karno akhirnya berhasil mendirikan PPPKI (Permoefakatan Perhimpoenan-perhimpoenan Politik Kebangsaan Indonesai) di mana PNI partai yang didirikan oleh tangannya sediri mendapatkan peranan penting.[7] Hal itu tak lain karena salah satu faktornya beliau merupakan pemimpin yang kharismatik. Formulasi ideologi tersebut tak sekadar bersumber dari perenungan Bung Karno sebagai intelektual, tetapi juga dari proses perjuangan panjang sejak dipenjarakan Belanda di Bandung.
Bung Karno punya waktu lebih dari cukup untuk menyempurnakan nasionalismenya melalui eksperimentasi pemikiran maupun praktik politik (misalnya Pancasila, Demokrasi Terpimpin atau Manipol Usdek), formulasi pembangunan (misalnya Rencana Pembangunan Nasional (RPN) atau sistem Kontrak Karya (KK) migas/ tambang), dan mengobarkan flag-waving nationalism yang bersifat antributif, sensasional dan penuh petualangan (misalnya Konfrontasi atau Nasakom). Terlepas dari konfrontasi atau pro dan kontra, tak dapat dipungkiri Bung Karno sejatinya ideolog besar.
Jika dituangkan dalam sebuah pohon keluarga (family tree), Soekarnoisme (kadang disebut juga dengan marhaenisme) adalah ibu kandung nasionalisme ala Indonesia. Ayahnya adalah PNI, partai yang terus sambung menyambung selama 81 tahun terakhir.
D.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, kami dapat mengambil sebuah simpulan. Pengertian kharisma adalah kelebihan atau kemampuan luar biasa seseorang dalam hal memimpin yang dikaruniai oleh tuhan sehingga bisa membangkitkan pemujaan dan rasa kagum dari masyarakat atau kelompok terhadap dirinya yang didasarkan atas kualitas kepribadian individu. Sedangkan berdasarkan pengertian yang dilontarkan kedua sosiolog di atas mengenai kharisma itu sendiri, idealnya kharisma adalah pengelolaan diri seseorang di mana, orang tersebut terus-menerus mengembangkan kelebihan atau kemampuan dirinya yang bisa memancar keluar hingga orang lain di sekitar kita bisa merasakannya atau bisa menjadi penggemar (pengikut) yang bisa saja fanatik untuk dirinya.
Soekarno merupakan pemimpin yang kharismatik, beliau dilahirkan di bawah bintang Gemini yang menurut pendapatnya sendiri memberi corak yang beraneka- berwarna kepada pribadinya. Dengan kualitas kepribadiannya yang sangat mumpuni beliau menjadikan dirinya sebagai revolusioner. Selain itu, pada masa puncak-puncak kekuasaannya Bung Karno digelari sebagai Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat, Amirul Amri, Panglima Tertinggi. Konsep nasionalisme yang dibawanya berhasil membangkitkan semangat rakyat untuk kembali percaya akan masa depan mereka. Beliau juga berhasil mendirikan PPPKI  dan PNI yang ikut berperan penting di dalamnya. Wallahua’lam



DAFTAR PUSTAKA
__________, Kamus Ilmiah Populer, Edisi Lengkap, (Gitamedia Press: Surabay, 2006), hal: 247
__________, Kamus Besar Bahasa Indunesia, Ebta Setiawan, KBBI Offline versi 1,1 freewere© 2010
dePraxis. Lex, Meningkatkan Kharisma diri, dalam internet, website: http://edukasi.kompasiana.com/2010/03/25/meningkatkan-kharisma-diri/, diakses pada tanggal 16 Juni 2011
Weber. Max, Essays in Sosiology,(Oxford University Press: Amerika Serikat, 1946), diterjemahkan olh Noorkholis danTim Penerjemah Promothea, Sosiologi, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2006) hal 297
Shambazy. Budiarto, KOMPAS, 16 Juni 2008
Abdullah. Taufik, dkk, Manusia Dalam Kemelut Sejarah, (LP3ES: Jakarta, 1978), hal: 32-33


[1] __________, Kamus Ilmiah Populer, Edisi Lengkap, (Gitamedia Press: Surabay, 2006), hal: 247
[2] __________, Kamus Besar Bahasa Indunesia, Ebta Setiawan, KBBI Offline versi 1,1 freewere© 2010
[3] Lex dePraxis, Meningkatkan Kharisma diri, dalam internet, website: http://edukasi.kompasiana.com/2010/03/25/meningkatkan-kharisma-diri/, diakses pada tanggal 16 Juni 2011
[4] Max Weber, Essays in Sosiology,(Oxford University Press: Amerika Serikat, 1946), diterjemahkan olh Noorkholis danTim Penerjemah Promothea, Sosiologi, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2006) hal 297
[5] Budiarto Shambazy, KOMPAS, 16 Juni 2008
Dari kutipan pernyataan di atas, dapat dikatakan konsep kharisma di sini dipakai dalam suatu pengertian yang sepenuhnya ‘bebas nilai’. (Weber, Essays in Sosiology, hal: 293) Yaitu tidak memandang apakah orang itu bersifat baik atau buruk, karena kaitannya adalah bagai mana kemudian orang atau individu tersebut mampu mengolah dan mengembangkan kualitas kepribadiannya sehingga dapat diikuti dan bahkan fanatik kepadanya.
[6] Taufik Abdullah, dkk, Manusia Dalam Kemelut Sejarah, (LP3ES: Jakarta, 1978), hal: 32-33
[7] Ibid, hal:30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar