KHARISMA, Studi atas
Presiden Pertama RI Soekarno
A. Latar belakang
Seorang kolumnis Boston Globe yaitu DS Greenway pernah menulis
tentang ‘Kharisma Dalam Kepemimpinan’. Menurutnya kharisma
merupakan bakat yang secara garis besar dimiliki pemimpin
besar semacam Adolf Hitler, Martin Luther King, Winston Churchil, Fidel Castro,
Nelson Mandela begitu pula Eva Peron. Bila kita mencoba untuk sedakat
menganalisis potongan tulisan tersebut, bisa
diambil sebuah simpulan bahwa suatu kharisma terdapat kepada semua manusia
tidak terkecuali apakah orang tersebut memiliki sifat baik atau buruk seperti
halnya yang telah disebutkan oleh Greenway di atas, sorang pemimpin dari suatu kelompok besar Jerman (Nazi) yang diklaim kejam yaitu Adolf Hitler.
Tidak dapat dipungkiri memang seorang pemimpin memiliki yang namnya kharisma,
karena dengan adanya kharisma tersebut seorang pemimpin bisa mempengaruhi orang lain untuk menjadi pengikutnya, dan tidak memaksa.
Dengan adanya suatu kharisma di
dalam diri semua manusia, maka langkah selanjutnya yang musti dilakukan adalah
mengembangkan atau memperbesar kharisma tersebut dengan keterampilan dan
kecerdasan kita, karena kharisma cuma akan menjadi lebih berkembang ketika
orang lain dapat menganggap kita sebagai orang yang pintar cerdas, ataupun kelebihan
kita yang lainnya yang dapat kita tunjukkan kepada mereka. Jadi, bisa dikatakan
bahwa tolok ukur besar kecilnya pengaruh kharisma kita terhadap orang lain
yaitu tergantung kualitas atau kedudukan
kita, apa bila kita menjadi seorang pemipin negara maka kharisma kita jauh lebih besar ketimbang orang biasa yang tidak mempunyai
kedudukan sama sekali ataupun tidak mempunyai kualitas yang sama seperti
kita. Oleh sebab itulah kemudian, dirasa menarik ketika
kita berbicara kharisma pada domain Soekarno atau lebih dikenalnya Bung Karno
yang merupakan Presiden RI pertama.
B. Pengertian Kharisma
Sebelum kita beranjak
lebih jauh mengenai pembahasan kharisma, di sini kami ingin membahas terlebih
dahulu tentang definisi kharisma. Kata kharisma berakar dari bahasa Yunani, ‘charizethai’, yang berarti
karunia atau bakat. Menurut mitologinya, para dewa
mengaruniakan kekuatan spesial pada orang-orang tertentu sehingga mereka bisa
tampil lebih menawan, ataupun anggun.
Dalam Kamus Ilmiah Populer, Edisi Lengkap kata kharisma berarti
kewibawaan; pembawa, anugerah; kelebihan seseorang (pemberian tuhan); anugerah
istimewa dari tuhan.[1]
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Karisma (hkarisma) berarti keadaan atau bakat yang dihubungkan dengan
kemampuan yang luar biasa dalam hal kepemimpinan seseorang untuk membangkitkan
pemujuaan dan rasa kagum dari masyarakat terhadap dirinya, yang didasarkan atas
kualitas kepribadian individu.[2]
Menganalisis dari dua arti kata tersebut, kami mengartikan kharisma sebagai
kelebihan atau kemampuan luar biasa seseorang dalam hal memimpin yang
dikaruniai oleh tuhan sehingga bisa membangkitkan pemujaan dan rasa kagum dari
masyarakat atau kelompok terhadap dirinya yang didasarkan atas kualitas
kepribadian individu.
Sementara dalam studi
psikologi sosial modern, kharisma adalah pengaruh yang dimiliki seseorang
terhadap orang lain atau kelompok. Ahli sosiologi berkebangsaan Jerman, Max
Weber, orang pertama yang secara serius mempelajari tentang kharisma. Beliau menyatakan kharisma adalah, “… sebuah kualitas yang pasti dan dapat dipercaya
dari seorang individu, berdasarkan kebijakan yang mana diletakkan secara
terpisah dengan orang yang biasa dan diperlakukan sebagai diberkahi hal-hal
yang ghaib, melebihi yang dimiliki manusia,
atau setidaknya secara spesifik merupakan kekuatan atau kualitas yang luar
biasa,” dan menurut Pierre BourMannas, seorang pemerhati sosiologi Perancis, hal
tersebut hanya berada di alam persepsi orang yang melihatnya. Dengan kata lain,
Anda tidak bisa merasakan sendiri bahwa Anda berkharisma atau tidak, itu hanya bisa
dideteksi dan dirasakan oleh orang lain.[3]
Berdasarkan pengertian yang dilontarkan
kedua sosiolog di atas mengenai kharisma itu
sendiri, idealnya kharisma adalah pengelolaan
diri seseorang di mana, orang tersebut terus-menerus mengembangkan kelebihan
atau kemampuan dirinya yang bisa memancar keluar hingga orang lain di sekitar
kita bisa merasakannya atau bisa menjadi penggemar (pengikut) yang bisa saja
fanatik untuk diri kita. Seperti halnya inner
beauty, di mana inner beauty (kecantikan batin) bisa menjadi inner power maka kharismapun demikian,
orang akan merasakan jika berhadapan dengan seseorang yang mempunyai kharisma,
energi positif akan memancar keluar memberi daya tarik kepada orang yang
berinteraksi.
Sebuah kharisma juga bisa hilang dari seorang tokoh
yang kharismatik, hal itu biasanya disebakan oleh dirinya sendiri yang sudah
tidak mampu mengolah keterampilannya hingga kualitas kepribadiannya hilang. Dan
klaim kharismatik menemui kegagalan bila misinya juga tidak diakui oleh
orang-orang yang merasa diutus olehnya. Oleh sebab itu, untuk dapat menyandang
sebagai tokoh yang kharismatik seorang individu harus benar-benar menjaga
kualitas dirinya karena kharisma murni tidak mengenal ‘legitimasi’ apapun
selain yang berasal dari ketangguhan personal yaitu kekuatan yang terus-menerus
teruji, dalam hal itu yang dibutuhkan adalah bukti, [4]
taruhla seorang nabi. Jika memang ingin diakui sebagai seorang nabi, individu
tersebut harus membuktikan dirinya sebagai nabi, salah satunya harus
menampilkan suatu mukjizat.
C. Kharisma seorang Soekarno
Setelah pembahasan kita mengenai pengertian kharisma,
pembahasan selanjutnya mengani kharisma yang terdapat dalam diri seorang tokoh
pemimpin. Dalam sub pembahasan ini tokoh pemimpin yang menjadi objek kajian
adalah Presiden Republik Indonesia yang menurut salah seorang kolumnis Boston Globe, DS Greenway, -yang pernah
menulis tentang karisma dalam kepemimpinan- Soekarno atau lebih akrabnya dengan
panggilan Bung Karno merupakan satu-satunya pemimpin nasional yang dianggap
karismatik. [5]
Seorang wartawan asal AS, Martha Gelhorn, menyaksikan Bung
Karno berpidato pada tahun 1946. Ia menyimpulkan Bung Karno orator hebat, "hanya dengan mengikuti gerak kedua
tangannya, melihat kedua matanya dan mendengarkan suaranya. Siapapun bisa
merasakan kehebatan dia walau saya tidak mengerti apa yang diucapkannya" tuturnya. Kekuatan tersebut bisa dimungkinkan
muncul disamping Bung Karno seorang pemimpin juga karena bahasa yang dipakai
ketika berpidato ataupun memberikan orasi beliau selalu menggunakan bahasa yang
radikal, hal tersebut dilakukannya untuk semata membela rakyat dan
membangkitkan semangat rakyat untuk ikut berjuang. Pemakaian bahasa radikal
bagi seorang Soekarno merupakan alat seorang politikus untuk menggelorakan
semangat rakyat yang nantinya akan menimbulkan keberanian rakyat serta
kepercayaan akan masa depan. Hal itu juga merupakan alasan mengapa tahun 1930
Bung Karno ditangkap dan ditahan oleh Belanda selama dua tahun.[6]
Pola seperti itu dimiliki Bung Karno sejak beliau muda, sehingga tidak
dipungkiri akan kualitas dirinya, dan secara tidak langsung meningkatkan
kharisma pribadinya sendiri.
Bung Karno bukan hanya pendiri PNI tahun 1927 atau
presiden dalam periode 1945-1967. Beliau merupakan ideolog besar yang
menemukan, merumuskan, sekaligus mempraktikkan nasionalisme ala Indonesia.
Karisma Bung Karno yang terlalu besar membuat siapapun sukar membedakan
ideologi Soekarnoisme dengan nasionalisme. Konsep nasionalisme yang ditampilkam
oleh Bung Karno pada saat di mana pergerakan mendapat pukulan dan hambatan dan
ditengah-tengah kekacauan tujuan, membuka suatu babak baru dalam perkembangan
nasionalisme Indonesia.
Fokus baru diberikan Bung Karno bagi pergerakan dan
bagi semua orang yang terlibat dalam politik atau sadar akan politik. Dengan
aksi dan programnya Bung Karno bertindak seolah-olah telah berdiri suatu negara
di dalam negara kolonial. Salah seorang yang mendengar pidato Bung Karno
mengatakan bahwa pada saat itu dia seperti percaya bahwa Indonesia telah
merdeka. Dengan susah payah Bung Karno akhirnya berhasil mendirikan PPPKI
(Permoefakatan Perhimpoenan-perhimpoenan Politik Kebangsaan Indonesai) di mana
PNI partai yang didirikan oleh tangannya sediri mendapatkan peranan penting.[7]
Hal itu tak lain karena salah satu faktornya beliau merupakan pemimpin yang
kharismatik. Formulasi ideologi tersebut tak sekadar bersumber dari perenungan Bung
Karno sebagai intelektual, tetapi juga dari proses perjuangan panjang sejak
dipenjarakan Belanda di Bandung.
Bung Karno punya waktu lebih dari cukup untuk
menyempurnakan nasionalismenya melalui eksperimentasi pemikiran maupun praktik
politik (misalnya Pancasila, Demokrasi Terpimpin atau Manipol Usdek), formulasi
pembangunan (misalnya Rencana Pembangunan Nasional (RPN) atau sistem Kontrak
Karya (KK) migas/ tambang), dan mengobarkan flag-waving nationalism
yang bersifat antributif, sensasional dan penuh petualangan (misalnya
Konfrontasi atau Nasakom). Terlepas dari konfrontasi atau pro dan kontra, tak
dapat dipungkiri Bung Karno sejatinya ideolog besar.
Jika dituangkan dalam sebuah pohon keluarga (family
tree), Soekarnoisme (kadang disebut juga dengan marhaenisme) adalah ibu
kandung nasionalisme ala Indonesia. Ayahnya adalah PNI, partai yang terus
sambung menyambung selama 81 tahun terakhir.
D. Kesimpulan
Dari pembahasan di
atas, kami dapat mengambil sebuah simpulan. Pengertian kharisma adalah kelebihan atau kemampuan
luar biasa seseorang dalam hal memimpin yang dikaruniai oleh tuhan sehingga
bisa membangkitkan pemujaan dan rasa kagum dari masyarakat atau kelompok
terhadap dirinya yang didasarkan atas kualitas kepribadian individu. Sedangkan berdasarkan pengertian yang dilontarkan kedua sosiolog di atas mengenai kharisma itu sendiri, idealnya kharisma adalah pengelolaan diri seseorang di mana, orang tersebut
terus-menerus mengembangkan kelebihan atau kemampuan dirinya yang bisa memancar
keluar hingga orang lain di sekitar kita bisa merasakannya atau bisa menjadi
penggemar (pengikut) yang bisa saja fanatik untuk dirinya.
Soekarno merupakan pemimpin yang kharismatik, beliau
dilahirkan di bawah bintang Gemini yang menurut pendapatnya sendiri memberi
corak yang beraneka- berwarna kepada pribadinya. Dengan kualitas kepribadiannya
yang sangat mumpuni beliau menjadikan dirinya sebagai revolusioner. Selain itu,
pada masa puncak-puncak kekuasaannya Bung Karno digelari sebagai Pemimpin Besar
Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat, Amirul Amri, Panglima Tertinggi. Konsep
nasionalisme yang dibawanya berhasil membangkitkan semangat rakyat untuk
kembali percaya akan masa depan mereka. Beliau juga berhasil mendirikan
PPPKI dan PNI yang ikut berperan penting
di dalamnya. Wallahua’lam
DAFTAR PUSTAKA
__________,
Kamus Ilmiah Populer, Edisi Lengkap, (Gitamedia
Press: Surabay, 2006), hal: 247
__________,
Kamus Besar Bahasa Indunesia, Ebta
Setiawan, KBBI Offline versi 1,1 freewere© 2010
dePraxis. Lex, Meningkatkan
Kharisma diri, dalam internet, website: http://edukasi.kompasiana.com/2010/03/25/meningkatkan-kharisma-diri/, diakses pada tanggal 16 Juni 2011
Weber.
Max, Essays in Sosiology,(Oxford University
Press: Amerika Serikat, 1946), diterjemahkan olh Noorkholis danTim Penerjemah
Promothea, Sosiologi, (Pustaka
Pelajar: Yogyakarta, 2006) hal 297
Shambazy.
Budiarto, KOMPAS, 16 Juni 2008
Abdullah.
Taufik, dkk, Manusia Dalam Kemelut
Sejarah, (LP3ES: Jakarta, 1978), hal: 32-33
[1]
__________, Kamus Ilmiah Populer, Edisi
Lengkap, (Gitamedia Press: Surabay, 2006), hal: 247
[2]
__________, Kamus Besar Bahasa Indunesia,
Ebta Setiawan, KBBI Offline versi 1,1 freewere© 2010
[3]
Lex dePraxis, Meningkatkan Kharisma diri, dalam internet, website: http://edukasi.kompasiana.com/2010/03/25/meningkatkan-kharisma-diri/, diakses pada tanggal 16 Juni 2011
[4]
Max Weber, Essays in Sosiology,(Oxford
University Press: Amerika Serikat, 1946), diterjemahkan olh Noorkholis danTim
Penerjemah Promothea, Sosiologi, (Pustaka
Pelajar: Yogyakarta, 2006) hal 297
[5]
Budiarto Shambazy, KOMPAS, 16 Juni 2008
Dari kutipan pernyataan di atas, dapat dikatakan konsep
kharisma di sini dipakai dalam suatu pengertian yang sepenuhnya ‘bebas nilai’. (Weber,
Essays in Sosiology, hal: 293) Yaitu
tidak memandang apakah orang itu bersifat baik atau buruk, karena kaitannya
adalah bagai mana kemudian orang atau individu tersebut mampu mengolah dan
mengembangkan kualitas kepribadiannya sehingga dapat diikuti dan bahkan fanatik
kepadanya.
[6]
Taufik Abdullah, dkk, Manusia Dalam
Kemelut Sejarah, (LP3ES: Jakarta, 1978), hal: 32-33
[7]
Ibid, hal:30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar