Jumat, 24 Februari 2012

STUDI AGAMA DALAM PENDEKATAN PSIKOLOGIS


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Agama merupakan sisi kehidupan manusia yang cukup menarik untuk dipelajari, hal itu merupakan bagian dari konsekwensi posisi agama sebagai sebuah jalan yang menfasilitasi secara institusi kepada manusia untuk mencapai Tuhannya.
Mempelajari agama dari berbagai sisi atau sudut pandang adalah hal yang sangat mungkin, mengingat agama memang merupakan institusi sakral yang mewadahi berbagai dimensi kehidupan manusia. Artinya, agama membidangi berbagai dimensi kehidupan manusia, kemudian dalam tahap yang sama kemunculan agama sebagai institusi sakral tadi juga muncul dari sub dimensi kehidupan manusia. Secara lebih konkret terdapat keterkaitan yang saling aktif antara agama itu sendiri dengan sub dimensi kehidupan, pada sisi tertentu sub dimensi menjadi bagian dari agama, tetapi di sisi lain agama merupakan bagian dari sub dimensi kehidupan manusia. Berlandaskan gejala ini, mendekati agama dari berbagai sudut pandang adalah hal yang absah selagi dapat dituturkan secara berimbang dan bertanggung jawab.
Dari berbagai pendekatan yang bisa digunakan untuk memahami agama, kami di sini akan mengusung salah satu pendekatan yaitu pendekatan Psikologis, suatu pendekatan yang bisa digunakan untuk mengetahui kedalaman keberagamaan seseorang, begitu pula dengan respon seseorang yang beragama dalam lingkungan sekitar.
B.   Rumusan Masalah
Dalam penjelasan pada makalah ini, kami mengambil satu perumusan masalah yang berguna sebagai pembatas pada pembahasan makalah ini.
1.  Bagaimana studi agama dalam pendekatan psikologis?


BAB II
STUDI AGAMA DALAM PENDEKATAN PSIKOLOGIS
A.   Pengertian Pendekatan Psikologis
Pengertian pendekatan psikologis tidak jauh berbeda dengan pendekatan ilmiah lainnya. Kata psikologis sendiri mengambil dari kata psikologi, yang berarti ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab. Menurut Robert H. Thoules, psikologi sekarang dipergunakan secara umum untuk ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia. Namun dari berbagai pengertian yang dikemukakan oleh para ilmuan psikologi, secara umum psikologi mencoba meneliti dan mempelajari sikap dan tingkah laku manusia sebagai gambaran dari gejala-gejala kejiwaan yang berada di belakangnya. Karena jiwa itu sendiri bersifat abstrak, maka untuk mempelajari kehidupan kejiwaan manusia hanya mungkin dilihat dari gejala yang tampak, yaitu pada sikap dan tingkah laku yang ditampilkannya.[1]
Jadi, dari penjelasan di atas pendekatan Psikologis berarti suatu metode ilmiah yang digunakan untuk meneliti objek tertentu menggunakan ilmu psikologi (kejiwaan).
B.   Studi Agama dalam Pendekatan Psikologi
Pada kajian ini secara spesifik akan dibahas satu pendekatan dalam studi agama, yaitu psikologi. Beberapa pandangan para ahli sangat beragam dalam hal ini, ada yang menyatakan bahwa agama merupakantekanan terhadap seorang pribadi yang kemudian melahirkan pengalaman individu yang mempunyai keterkaitan kepada yang transenden (Tuhan), pendapat lain ada yang beroposisi dengan pendapat ini yang menyatakan bahwa, tekanan atau pengalaman seorang individu merupakan persoalan murni psikologi. Secara khusus ada beberapa pemikir yang menempatkan persolaan psikologi tersebut sebagai bagian yang mempunyai hubungan dengan yang transenden atau bagian dari kesadaran religius. Beberapa tokoh yang berada pada kubu ini menggabungkan keduanya antara persoalan psikologi dan persoalan transenden terdapat adanya saling keterkaitan. Jung, Campbel dan Eliade adalah tokoh yang menyandarkan agama pada sebuah ketidaksadaran kolektif yang merupakan bagian dari gejala psikologi universal. Kemudian Freud juga berpendapat bahwa agama secara esensial mempunyai gejala-gejala yang cukup unik yang perlu disingkap dan dikembangkan.
Secara garis besar kajian ini akan lebih dikonsentrasikan pada dua hal, yang pertama, pengujian teori agama sebagai sebuah keutuhan. Tekanannya adalah, pada sisi psikologi yang berkaitan pada agama dan perseorangan yang di dalamnya juga dikaitkan pada struktur keagamaan. Kemudian pada konsentrais yang kedua akan difokuskan pada pencarian platform atau landasan teoritis dalam mendekati dan memetakan kajian kegamaan sebagai sebuah disiplin ilmu yang terus menjadi bahan diskusi sepanjang zaman.
Beberapa pendapat para tokoh mengenai dua permasalahan tersebut, yaitu:
1.  William James
William James mengembangkan teori keagamaan berlandaskan pengalaman pribadinya. Pengalamannya dengan pendekatan psikologi dan subyektivitas yang diusungnya menjadi pondasi bagi agama sebagai sebuah fenomena dan sebuah lembaga sosial. Dalam hal ini walau tidak secara vulgar, William menempatkan agama sebagai fenomena dan institusi sosial yang memungkinkan untuk didekati secara psikologi. William mendiksusikan agama sebagai sesutau yang muncul dari bagian terluas pengalaman manusia. Karenanya, dia menyatakan bahwa, perasaan keagamaan adalah hal yang serupa dengan perasaaan-perasaan yang lain. Dengan demikian maka agama merupakan bagian ekspresi dari pengalaman psikologi individu.
Teori yang diusung James tidak hanya mempertahankan eksistensi dari dunia lain, dia juga tidak menolak keistimewaan umum dari gejala pengalaman keagamaan. Pengalaman tersebut berakar dari gejala psikologi yang kemudian secara tidak sadar terbawa pada obyek eksternal. Secara gamblang agama kemudian ditampilkan sebagai sebuah akumulasi dari gejala-gejala kejiwaan yang dirasakan oleh masing-masing individu lalu kemudian termanefestasikan pada sebuah obyek di luar dunia manusia, berupa keyakinan adanya yang maha Tinggi yaitu, Tuhan.
Agama jika dilirik pada bagian-bagiannya mempunyai aturan-aturan yang membentuk sisi-sisi kehidupan manusia atau pengalaman yang bergulir di tengah-tengah kehidupan. Sedangkan agama itu sendiri menjadikan sesuatu yang dibutuhkan dengan mudah dan tepat. Bila boleh disederhanakan yang dimaksudkan oleh James disini adalah, agama sebagai bagian dari fenomena psikologi yang dapat memberikan konstribusi kemudahan dan tepat untuk kepentingan manusia.
2.  Sigmund Freud
Analisis yang dibangun oleh Freud dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama merupakan penilaian agama sebagai sebuah khayalan yang kemudian dikembangkan dalam bukunya yang berjudul The Future of an Ilusion (1961) sedangkan yang kedua adalah, dasar-dasar agama dan ritual yang kemudian dikembangkan juga dalam bukunya yang berjudul Totem and Taboo (1950). Agama yang diseret sebagai sebuah khayalan adalah akibat dari titik pandang yang bertolak dari psikologi, sedangkan yang berkaitan dengan bahasan kedua dari apa yang didiskusikan oleh Freud merupakan dampak dari titik pandang yang bertolak dari fungsi agama bagi persorangan dan masyarakat umum. Maka kemudian jika boleh disederhanakan apa yang akan digagas Freud disini merupakan pendekatan studi agama lewat psikologi dan fungsi agama itu sendiri.
Mencoba mengenal lebih dekat pada apa yang digagas pertama oleh Freud mengenai agama sebagai sebuah khayalan. Menurutnya agama merupakan bagian gejala psikologi yang berupa penggabungan pengalaman pribadi dengan pengalaman masyarakat. Sebagai sebuah analogi yang dibangunnya adalah, tatkala seorang bayi atau anak bepersepsi tentang pengendali dunia lalu kemudian sang bayi atau anak menisbatkan pengendali tersebut pada ayahnya. Pada tahap berikutnya masyrakat membawa image ini ke ruang yang lebih luas, kemudian akhirnya ayah sebagai seorang Tuhan menjadi kesadaran umum masyarakat yang mengakar kuat. Dari sinilah kemudian agama itu terbentuk, begitulah pengamatan Freud dalam memahami agama.
Secara prinsip garis besar teori yang digagas oleh Freud berikisar pada model perkembangan budaya yang terjadi di tengah-tengah masyrakat yang progresif. Sebagai misal, apa yang ada pada kebudayaan Eropa yang tergolong sebagai bentuk budaya yang tinggi. Pada sisi ini Freud melihat peran agama yang bermain di tengah-tengah manusia dan masyarakat, kemudian juga tidak luput dari perhatiannya yaitu agama sebagai sebuah institusi.
Freud menyatakan yang dimaksud dengan khayalan bukanlah sesuatu yang janggal, akan tetapi sebagai bentuk kepercayaan yang dipegang untuk mengharap ketenangan dari berbagai bentuk pandangan yang saling bertubrukan. Banyak hal yang dipertentangkan oleh manusia, termasuk masalah pencipta dunia ini. Untuk menjadikan diri seseorang tenang maka kemudian seorang individu berilusinasi sebagai jawaban atas kegalauannya yang bergelimang dalam dirinya, hal tersebut dilakukan untuk menyingkirkan banyaknya argumen yang saling bertubrukan tadi. Hal ini juga merupakan upaya agar kehidupan seseorang tadi dapat berlanjut dan dapat berdampingan dengan Tuhan yang dicarinya.
Dari penjelasan di atas maka agama secara tidak sadar akan memberikan peran pada kehidupan manusia. Namun diperkirakan oleh Freud peran-peran agama di masa yang akan datang akan diambil alih oleh science. Pada perkembangan berikutnya manusia dengan secara sadar tidak akan menyediakan tempat untuk agama. Walau ini hanya berupa teori, tetapi juga sangat terkesan janggal, karena ilusi yang dibangun oleh Freud mengenai ilusi masa depan sangat memojokkan umat beragama.
Satu hal yang mengundang kontroversi dari uraian Freud mengenai pembunuhan dan perzinahan sedarah yang dilakukan oleh seorang anak yang membunuh ayahnya kemudian menzinahi ibunya. Menurutnya kejadian ini merupakan salah satu yang kemudian melahirkan pelarangan-pelarangan hukum terhadap perbuatan tercela tersebut yang terkemas dengan sebutan aturan agama. Menurutnya seluruh agama berkembang dan terbentuk lewat prilaku keras dan kesalahan. Secara lebih sederhana Freud menganggap agama merupakan sebuah kesadaran yang terbentuk lewat pengalaman kesalahan masa lalu yang kemudian memunculkan rumusan-rumusan aturan untuk menangani kejanggalan yang terjadi. Kisah ini memang terlalu mengejutkan bagi kalangan tertentu dengan contoh vulgar yang diangkatnya. Akan tetapi, hal itu merupakan cara Freud memberikan pemahaman bagi para pembaca idenya, agar apa yang digagasnya benar-benar dapat dipahami dengan baik. Menyisihkan kisah yang kontroversinya, terdapat pesan yang menyatakan bahwa agama merupakan sebuah kesadaran yang bermula dari prilaku asusila.
3.  Carl Gustav Jung
Di antarapendapatJung mengenaii agama adalahagama merupakan wadah yang menyimpan warisan spiritual yang kemudian menjangkiti kelompok masyarakat tertentu setelah melewati berbagai macam transmisi. Akhirnya, secara tidak sadar kelompok-kelompok tersebut menerima warisan spiritual tersebut tanpa memperhitungkan rasinolitasnya. Untuk itu kemudian Jung menempatkan agama sebagai sesuatu yang berkembang pada kehidupan manusia tanpa melewati titik tekan rasionalitas. Secara komunal manusia menerima warisan spiritual itu dengan berlandaskan hati, sehingga kemudian Jung berkesimpulan bahwa hati merupakan landasan dari agama. Dengan demikian, manusia secara kolektif menerima agama tanpa pertimbangan rasio, lalu kemudian Jung membahasakan proses ini sebagai teori ketidaksadaran kolektif (collective unconscious).
Teori ketidak sadaran atau dibawah sadar merupakan pola dasar yang secara signifikan mempersentasikan Tuhan sebagai basis perhatian obyektif psikologi. Pola dasar ini berkaitan dengan perkembangan aspek lain kemanusiaan dan kepribadian. Sehingga kemudian Jung berkesimpulan bahwa dasar dari setiap agama bermula dari ketidaksadaran. Selain konsep ketidaksadaran konsep lain yang disodorkan Jung adalah mengenai pendongengan. Yang dimaksud pendongenan disini adalah suatu fantasi yang dibangun dari dalam dan luar kesadaran manusia yang berbentuk cerita-cerita bijak orang tua kepada anaknya mengenai Tuhan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa agama merupakan bentuk fantasi atau imajinasi yang dibangun dari dalam dan luar diri manusia yang dialamatkan kepada Tuhan sebagai obyek fantasi. Lalu secara garis besar dari seluruh uraian teori yang yang digagas oleh Jung tidak jauh beda dengan para pendahulunya (Freud) yaitu hanya sebagai bagian sebuah pendekatan mistik serata belum sampai bisak representif sebagai bagian dari pendekatan ilmiah.[2]
Sedikit menganalisis pembahasan di atas, penulis memahami bahwa studi agama dalam pendekatan psikologis objeknya adalah manusia yang beragama, oleh karenanya pendekatan tersebut nantinya akanmeng hasilkan disiplin ilmu berupa psikologi agama (psychology of religion), di dalamnya akan membahas tentang keberagamaan seseorang, baik ketika masa kanak-kanakataupundewasa. Dalam hal ini Gordon Allport berependapat bahwa bentuk agama yang akhirnya diambil seseorang atau cara yang mereka gunakan, pada dasarnya ditentukan oleh faktor-faktor yang ada pada masa kanak-kanak. Dia juga membedakan bentuk agama menjadi dua bagian, ekstrinsik dan intrinsik. Agama ekstrinsik adalah suatu manfaat dengan dirinya sendiri, bentuk keagamaan yang dapat melindungi diri sendiri yang memberikan kesenangan dan keselamatan kepada orang beriman dengan merugikan kelompok atau individu lainnya. Agama intrinsik menandai kehidupan dengan menginteriorkan (menjadikan sebagai bagian dalam)  seluruh persaksian dari keimanannya tanpa syarat.[3]

BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Pendekatan psikologis berarti suatu metode ilmiah yang digunakan untuk meneliti objek tertentu menggunakan ilmu psikologi (kejiwaan). Beberapa pandangan para ahli sangat beragam mengenai pendekatan psikologis terhadap agama, ada yang menyatakan bahwa agama merupakantekanan terhadap seorang pribadi yang kemudian melahirkan pengalaman individu yang mempunyai keterkaitan kepada yang transenden (Tuhan), pendapat lain ada yang beroposisi dengan pendapat ini yang menyatakan bahwa, tekanan atau pengalaman seorang individu merupakan persoalan murni psikologi. Secara khusus ada beberapa pemikir yang menempatkan persolaan psikologi tersebut sebagai bagian yang mempunyai hubungan dengan yang transenden atau bagian dari kesadaran religius. Beberapa tokoh yang berada pada kubu ini menggabungkan keduanya antara persoalan psikologi dan persoalan transenden terdapat adanya saling keterkaitan.
B.   Saran-saran
Dalam memahami agama tidak cukup dengan melakukan satu pendekatan saja,  ketika seseorang melakukan pendekatan secara psikologis bias saja objek memanipulasi apa yang dialaminya secara kejiwaan, hingga dalam sikap dan tingkah laku terlihat berbeda, bahkan mungkin bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya. Yang sedih bias saja berpra-pura tertawa dan lain sebagainya.  Namun secara umum, sikap dan perilaku yang terlihat adalah gambaran dari gejala jiwa seseorang. Sikap dan perilaku baik yang tampak dalam perbuatan maupun mimic umumnya tidak jauh berbeda dari gejolak batinnya, baik cipta, rasa, dan karsanya. Waalhua’lam


DAFTAR PUSTAKA
Connolly. Peter, 2011, Aneka PendekatanStudi Agama, Yogyakarta: LKiS
Jalaluddin. H, 2010, Psikologi Agama, Jakarta: RajaGrafindo Persada
Shodiq. A Tijani,  2010, PendekatanPsikologidalamMemahami Agama, dalam internet website: http://ijan28.blogspot.com/2010/02/pendekatan-psikologi-dalam-memahami.html, diaksespadatanggal 28 Desember 2011


[1] H. Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010),  hl: 10-11
[2]A. TijaniShodiq, PendekatanPsikologidalamMemahami Agama, 2010, dalam internet website: http://ijan28.blogspot.com/2010/02/pendekatan-psikologi-dalam-memahami.html, diaksespadatanggal28 Desember 2011
[3]Peter Connolly, Aneka PendekatanStudi Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2011), hl: 235

Tidak ada komentar:

Posting Komentar