BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Agama merupakan sisi kehidupan manusia yang cukup menarik
untuk dipelajari, hal itu merupakan bagian dari konsekwensi posisi agama
sebagai sebuah jalan yang menfasilitasi secara institusi kepada manusia untuk
mencapai Tuhannya.
Mempelajari agama dari berbagai sisi atau sudut pandang adalah hal yang sangat mungkin, mengingat agama memang merupakan institusi sakral yang mewadahi berbagai dimensi kehidupan manusia. Artinya, agama membidangi berbagai dimensi kehidupan manusia, kemudian dalam tahap yang sama kemunculan agama sebagai institusi sakral tadi juga muncul dari sub dimensi kehidupan manusia. Secara lebih konkret terdapat keterkaitan yang saling aktif antara agama itu sendiri dengan sub dimensi kehidupan, pada sisi tertentu sub dimensi menjadi bagian dari agama, tetapi di sisi lain agama merupakan bagian dari sub dimensi kehidupan manusia. Berlandaskan gejala ini, mendekati agama dari berbagai sudut pandang adalah hal yang absah selagi dapat dituturkan secara berimbang dan bertanggung jawab.
Mempelajari agama dari berbagai sisi atau sudut pandang adalah hal yang sangat mungkin, mengingat agama memang merupakan institusi sakral yang mewadahi berbagai dimensi kehidupan manusia. Artinya, agama membidangi berbagai dimensi kehidupan manusia, kemudian dalam tahap yang sama kemunculan agama sebagai institusi sakral tadi juga muncul dari sub dimensi kehidupan manusia. Secara lebih konkret terdapat keterkaitan yang saling aktif antara agama itu sendiri dengan sub dimensi kehidupan, pada sisi tertentu sub dimensi menjadi bagian dari agama, tetapi di sisi lain agama merupakan bagian dari sub dimensi kehidupan manusia. Berlandaskan gejala ini, mendekati agama dari berbagai sudut pandang adalah hal yang absah selagi dapat dituturkan secara berimbang dan bertanggung jawab.
Dari berbagai pendekatan yang bisa digunakan untuk
memahami agama, kami di sini akan mengusung salah satu pendekatan yaitu
pendekatan Psikologis, suatu pendekatan yang bisa digunakan untuk mengetahui
kedalaman keberagamaan seseorang, begitu pula dengan respon seseorang yang
beragama dalam lingkungan sekitar.
B. Rumusan Masalah
Dalam penjelasan pada makalah ini, kami mengambil satu
perumusan masalah yang berguna sebagai pembatas pada pembahasan makalah ini.
1. Bagaimana studi agama dalam pendekatan psikologis?
BAB II
STUDI AGAMA DALAM PENDEKATAN PSIKOLOGIS
A. Pengertian Pendekatan Psikologis
Pengertian pendekatan psikologis tidak jauh berbeda
dengan pendekatan ilmiah lainnya. Kata psikologis sendiri mengambil dari kata
psikologi, yang berarti ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal,
dewasa dan beradab. Menurut Robert H. Thoules, psikologi sekarang dipergunakan
secara umum untuk ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia. Namun dari berbagai
pengertian yang dikemukakan oleh para ilmuan psikologi, secara umum psikologi
mencoba meneliti dan mempelajari sikap dan tingkah laku manusia sebagai
gambaran dari gejala-gejala kejiwaan yang berada di belakangnya. Karena jiwa
itu sendiri bersifat abstrak, maka untuk mempelajari kehidupan kejiwaan manusia
hanya mungkin dilihat dari gejala yang tampak, yaitu pada sikap dan tingkah
laku yang ditampilkannya.[1]
Jadi, dari penjelasan di atas pendekatan Psikologis
berarti suatu metode ilmiah yang digunakan untuk meneliti objek tertentu
menggunakan ilmu psikologi (kejiwaan).
B. Studi Agama dalam Pendekatan Psikologi
Pada kajian ini secara spesifik akan dibahas satu
pendekatan dalam studi agama, yaitu psikologi. Beberapa pandangan para ahli sangat beragam dalam
hal ini, ada yang menyatakan bahwa agama merupakantekanan terhadap seorang
pribadi yang kemudian melahirkan pengalaman individu yang mempunyai keterkaitan
kepada yang transenden (Tuhan), pendapat lain ada yang beroposisi dengan
pendapat ini yang menyatakan bahwa, tekanan atau pengalaman seorang individu
merupakan persoalan murni psikologi. Secara khusus ada beberapa pemikir yang
menempatkan persolaan psikologi tersebut sebagai bagian yang mempunyai hubungan
dengan yang transenden atau bagian dari kesadaran religius. Beberapa tokoh yang
berada pada kubu ini menggabungkan keduanya antara persoalan psikologi dan
persoalan transenden terdapat adanya saling keterkaitan. Jung, Campbel dan
Eliade adalah tokoh yang menyandarkan agama pada sebuah ketidaksadaran kolektif
yang merupakan bagian dari gejala psikologi universal. Kemudian Freud juga
berpendapat bahwa agama secara esensial mempunyai gejala-gejala yang cukup unik
yang perlu disingkap dan dikembangkan.
Secara garis besar kajian ini akan lebih
dikonsentrasikan pada dua hal, yang pertama,
pengujian teori agama sebagai sebuah keutuhan. Tekanannya adalah, pada sisi
psikologi yang berkaitan pada agama dan perseorangan yang di dalamnya juga
dikaitkan pada struktur keagamaan. Kemudian pada konsentrais yang kedua akan difokuskan pada pencarian
platform atau landasan teoritis dalam mendekati dan memetakan kajian kegamaan
sebagai sebuah disiplin ilmu yang terus menjadi bahan diskusi sepanjang zaman.
Beberapa pendapat para tokoh mengenai dua permasalahan
tersebut, yaitu:
1. William James
William James mengembangkan teori keagamaan
berlandaskan pengalaman pribadinya. Pengalamannya dengan pendekatan psikologi
dan subyektivitas yang diusungnya menjadi pondasi bagi agama sebagai sebuah
fenomena dan sebuah lembaga sosial. Dalam hal ini walau tidak secara vulgar,
William menempatkan agama sebagai fenomena dan institusi sosial yang
memungkinkan untuk didekati secara psikologi. William mendiksusikan agama
sebagai sesutau yang muncul dari bagian terluas pengalaman manusia. Karenanya,
dia menyatakan bahwa, perasaan keagamaan adalah hal yang serupa dengan
perasaaan-perasaan yang lain. Dengan demikian maka agama merupakan bagian
ekspresi dari pengalaman psikologi individu.
Teori yang diusung James tidak hanya mempertahankan
eksistensi dari dunia lain, dia juga tidak menolak keistimewaan umum dari
gejala pengalaman keagamaan. Pengalaman tersebut berakar dari gejala psikologi
yang kemudian secara tidak sadar terbawa pada obyek eksternal. Secara gamblang
agama kemudian ditampilkan sebagai sebuah akumulasi dari gejala-gejala kejiwaan
yang dirasakan oleh masing-masing individu lalu kemudian termanefestasikan pada
sebuah obyek di luar dunia manusia, berupa keyakinan adanya yang maha Tinggi
yaitu, Tuhan.
Agama jika dilirik pada bagian-bagiannya mempunyai
aturan-aturan yang membentuk sisi-sisi kehidupan manusia atau pengalaman yang
bergulir di tengah-tengah kehidupan. Sedangkan agama itu sendiri menjadikan
sesuatu yang dibutuhkan dengan mudah dan tepat. Bila boleh disederhanakan yang
dimaksudkan oleh James disini adalah, agama sebagai bagian dari fenomena
psikologi yang dapat memberikan konstribusi kemudahan dan tepat untuk
kepentingan manusia.
2. Sigmund Freud
Analisis yang dibangun oleh Freud dapat dibagi menjadi
dua bagian, pertama merupakan penilaian agama sebagai sebuah khayalan yang
kemudian dikembangkan dalam bukunya yang berjudul The Future of an Ilusion (1961) sedangkan yang kedua adalah,
dasar-dasar agama dan ritual yang kemudian dikembangkan juga dalam bukunya yang
berjudul Totem and Taboo (1950).
Agama yang diseret sebagai sebuah khayalan adalah akibat dari titik pandang
yang bertolak dari psikologi, sedangkan yang berkaitan dengan bahasan kedua
dari apa yang didiskusikan oleh Freud merupakan dampak dari titik pandang yang
bertolak dari fungsi agama bagi persorangan dan masyarakat umum. Maka kemudian
jika boleh disederhanakan apa yang akan digagas Freud disini merupakan
pendekatan studi agama lewat psikologi dan fungsi agama itu sendiri.
Mencoba mengenal lebih dekat pada apa yang digagas pertama
oleh Freud mengenai agama sebagai sebuah khayalan. Menurutnya agama merupakan
bagian gejala psikologi yang berupa penggabungan pengalaman pribadi dengan
pengalaman masyarakat. Sebagai sebuah analogi yang dibangunnya adalah, tatkala
seorang bayi atau anak bepersepsi tentang pengendali dunia lalu kemudian sang
bayi atau anak menisbatkan pengendali tersebut pada ayahnya. Pada tahap
berikutnya masyrakat membawa image ini ke ruang yang lebih luas, kemudian
akhirnya ayah sebagai seorang Tuhan menjadi kesadaran umum masyarakat yang
mengakar kuat. Dari sinilah kemudian agama itu terbentuk, begitulah pengamatan
Freud dalam memahami agama.
Secara prinsip garis besar teori yang digagas oleh
Freud berikisar pada model perkembangan budaya yang terjadi di tengah-tengah
masyrakat yang progresif. Sebagai misal, apa yang ada pada kebudayaan Eropa
yang tergolong sebagai bentuk budaya yang tinggi. Pada sisi ini Freud melihat
peran agama yang bermain di tengah-tengah manusia dan masyarakat, kemudian juga
tidak luput dari perhatiannya yaitu agama sebagai sebuah institusi.
Freud menyatakan yang dimaksud dengan khayalan
bukanlah sesuatu yang janggal, akan tetapi sebagai bentuk kepercayaan yang
dipegang untuk mengharap ketenangan dari berbagai bentuk pandangan yang saling
bertubrukan. Banyak hal yang dipertentangkan oleh manusia, termasuk masalah
pencipta dunia ini. Untuk menjadikan diri seseorang tenang maka kemudian
seorang individu berilusinasi sebagai jawaban atas kegalauannya yang
bergelimang dalam dirinya, hal tersebut dilakukan untuk menyingkirkan banyaknya
argumen yang saling bertubrukan tadi. Hal ini juga merupakan upaya agar
kehidupan seseorang tadi dapat berlanjut dan dapat berdampingan dengan Tuhan
yang dicarinya.
Dari penjelasan di atas maka agama secara tidak sadar
akan memberikan peran pada kehidupan manusia. Namun diperkirakan oleh Freud
peran-peran agama di masa yang akan datang akan diambil alih oleh science. Pada
perkembangan berikutnya manusia dengan secara sadar tidak akan menyediakan
tempat untuk agama. Walau ini hanya berupa teori, tetapi juga sangat terkesan
janggal, karena ilusi yang dibangun oleh Freud mengenai ilusi masa depan sangat
memojokkan umat beragama.
Satu hal yang mengundang kontroversi dari uraian Freud
mengenai pembunuhan dan perzinahan sedarah yang dilakukan oleh seorang anak
yang membunuh ayahnya kemudian menzinahi ibunya. Menurutnya kejadian ini
merupakan salah satu yang kemudian melahirkan pelarangan-pelarangan hukum
terhadap perbuatan tercela tersebut yang terkemas dengan sebutan aturan agama.
Menurutnya seluruh agama berkembang dan terbentuk lewat prilaku keras dan
kesalahan. Secara lebih sederhana Freud menganggap agama merupakan sebuah
kesadaran yang terbentuk lewat pengalaman kesalahan masa lalu yang kemudian
memunculkan rumusan-rumusan aturan untuk menangani kejanggalan yang terjadi.
Kisah ini memang terlalu mengejutkan bagi kalangan tertentu dengan contoh
vulgar yang diangkatnya. Akan tetapi, hal itu merupakan cara Freud memberikan
pemahaman bagi para pembaca idenya, agar apa yang digagasnya benar-benar dapat
dipahami dengan baik. Menyisihkan kisah yang kontroversinya, terdapat pesan
yang menyatakan bahwa agama merupakan sebuah kesadaran yang bermula dari
prilaku asusila.
3. Carl Gustav Jung
Di antarapendapatJung mengenaii agama adalahagama
merupakan wadah yang menyimpan warisan spiritual yang kemudian menjangkiti
kelompok masyarakat tertentu setelah melewati berbagai macam transmisi.
Akhirnya, secara tidak sadar kelompok-kelompok tersebut menerima warisan
spiritual tersebut tanpa memperhitungkan rasinolitasnya. Untuk itu kemudian
Jung menempatkan agama sebagai sesuatu yang berkembang pada kehidupan manusia
tanpa melewati titik tekan rasionalitas. Secara komunal manusia menerima
warisan spiritual itu dengan berlandaskan hati, sehingga kemudian Jung
berkesimpulan bahwa hati merupakan landasan dari agama. Dengan demikian,
manusia secara kolektif menerima agama tanpa pertimbangan rasio, lalu kemudian
Jung membahasakan proses ini sebagai teori ketidaksadaran kolektif (collective unconscious).
Teori ketidak sadaran atau dibawah sadar merupakan
pola dasar yang secara signifikan mempersentasikan Tuhan sebagai basis
perhatian obyektif psikologi. Pola dasar ini berkaitan dengan perkembangan
aspek lain kemanusiaan dan kepribadian. Sehingga kemudian Jung berkesimpulan
bahwa dasar dari setiap agama bermula dari ketidaksadaran. Selain konsep
ketidaksadaran konsep lain yang disodorkan Jung adalah mengenai pendongengan.
Yang dimaksud pendongenan disini adalah suatu fantasi yang dibangun dari dalam
dan luar kesadaran manusia yang berbentuk cerita-cerita bijak orang tua kepada
anaknya mengenai Tuhan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa agama merupakan
bentuk fantasi atau imajinasi yang dibangun dari dalam dan luar diri manusia
yang dialamatkan kepada Tuhan sebagai obyek fantasi. Lalu secara garis besar
dari seluruh uraian teori yang yang digagas oleh Jung tidak jauh beda dengan
para pendahulunya (Freud) yaitu hanya sebagai bagian sebuah pendekatan mistik
serata belum sampai bisak representif sebagai bagian dari pendekatan ilmiah.[2]
Sedikit menganalisis pembahasan di atas,
penulis memahami bahwa studi agama dalam pendekatan psikologis objeknya adalah
manusia yang beragama, oleh karenanya pendekatan tersebut nantinya akanmeng
hasilkan disiplin ilmu berupa psikologi agama (psychology of religion), di dalamnya akan membahas tentang
keberagamaan seseorang, baik ketika masa kanak-kanakataupundewasa. Dalam hal
ini Gordon Allport berependapat bahwa bentuk agama yang akhirnya diambil
seseorang atau cara yang mereka gunakan, pada dasarnya ditentukan oleh
faktor-faktor yang ada pada masa kanak-kanak. Dia juga membedakan bentuk agama
menjadi dua bagian, ekstrinsik dan intrinsik. Agama ekstrinsik adalah suatu
manfaat dengan dirinya sendiri, bentuk keagamaan yang dapat melindungi diri
sendiri yang memberikan kesenangan dan keselamatan kepada orang beriman dengan
merugikan kelompok atau individu lainnya. Agama intrinsik menandai kehidupan
dengan menginteriorkan (menjadikan sebagai bagian dalam) seluruh persaksian dari keimanannya tanpa
syarat.[3]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendekatan psikologis berarti suatu metode
ilmiah yang digunakan untuk meneliti objek tertentu menggunakan ilmu psikologi
(kejiwaan). Beberapa pandangan para ahli
sangat beragam mengenai pendekatan psikologis terhadap agama, ada yang
menyatakan bahwa agama merupakantekanan terhadap seorang pribadi yang kemudian
melahirkan pengalaman individu yang mempunyai keterkaitan kepada yang
transenden (Tuhan), pendapat lain ada yang beroposisi dengan pendapat ini yang
menyatakan bahwa, tekanan atau pengalaman seorang individu merupakan persoalan
murni psikologi. Secara khusus ada beberapa pemikir yang menempatkan persolaan
psikologi tersebut sebagai bagian yang mempunyai hubungan dengan yang
transenden atau bagian dari kesadaran religius. Beberapa tokoh yang berada pada
kubu ini menggabungkan keduanya antara persoalan psikologi dan persoalan
transenden terdapat adanya saling keterkaitan.
B. Saran-saran
Dalam memahami agama tidak cukup dengan melakukan satu
pendekatan saja, ketika seseorang
melakukan pendekatan secara psikologis bias saja objek memanipulasi apa yang
dialaminya secara kejiwaan, hingga dalam sikap dan tingkah laku terlihat
berbeda, bahkan mungkin bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya. Yang sedih
bias saja berpra-pura tertawa dan lain sebagainya. Namun secara umum, sikap dan perilaku yang
terlihat adalah gambaran dari gejala jiwa seseorang. Sikap dan perilaku baik
yang tampak dalam perbuatan maupun mimic umumnya tidak jauh berbeda dari
gejolak batinnya, baik cipta, rasa, dan karsanya. Waalhua’lam
DAFTAR PUSTAKA
Connolly. Peter, 2011, Aneka PendekatanStudi Agama, Yogyakarta: LKiS
Jalaluddin. H, 2010, Psikologi
Agama, Jakarta: RajaGrafindo Persada
Shodiq. A Tijani, 2010, PendekatanPsikologidalamMemahami
Agama, dalam internet website: http://ijan28.blogspot.com/2010/02/pendekatan-psikologi-dalam-memahami.html, diaksespadatanggal 28 Desember 2011
[1]
H. Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2010), hl: 10-11
[2]A.
TijaniShodiq, PendekatanPsikologidalamMemahami
Agama, 2010, dalam internet website: http://ijan28.blogspot.com/2010/02/pendekatan-psikologi-dalam-memahami.html,
diaksespadatanggal28 Desember 2011
[3]Peter
Connolly, Aneka PendekatanStudi Agama, (Yogyakarta:
LKiS, 2011), hl: 235
Tidak ada komentar:
Posting Komentar