Selasa, 24 Mei 2011

RABI’AH AL-ADAWIYAH


Sosok Rabi’ah al-Adawiyah termasuk dalam golongan wanita sufi pilihan yang mengungguli hampir semua tokoh sufi sezamannya dalam menempuh jalan menuju sang Kholiq. Jika seseorang hendak mengutip nama-nama sebagian wali sufi besar dari periode awal Islam hingga sekarang ini, maka tak pelak lagi nama Rabi’ah pasti termasuk di dalamnya. Bahwa keunggulan ketakwaan, ma’rifat, dan kezuhudan Rabi’ah al-Adawiyah telah menjadikannya sebagai simbol kewalian dikalangan kaum sufi wanita cukup melukiskan kedudukannya yang tak tertandingi. Kesempurnaan dan berbagai keutamaan jiwanya (fadla’il nafsani) berkembang jauh melampaui kebanyakan wali sufi kurun waktu terkemudian, yang menjadikannya terkenal sebagai “Mahkota Kaum Pria”.
Perjalanan hidup Rabi’ah al-Adawiyah
Rabi’ah bin Isma’il al-Adawiyah al_Qisysyiyah atau yang lebih kita kenal dengan sebutuan Rabi’ah al-Adawiyah adalah termasuk  dalam golongan wanita sufi pilihan yang mengungguli hampir semua tokoh sezamannya dalam menempuh jalan menuju Sang Kholik. Beliau lahir pada malam hari di sebuah gubuk yang tidak ada penerangan apapun, tepatnya di kota Basrah dan diperkirakan pada tehun 95 H./713 M.[1]  beliau berasal dari kelurga yang miskin, diceritakan dalam sebuah literatur karya Fariduddin al-Attar (w.627 H) dalam buku Rabi’ah al-Adawiyah karangan Sururin, Ag. bahwa pada malam kelahiran Rabi’ah tidak terdapat suatu barang berharga yang didapat dalam rumah Isma’il, ayah Rabi’ah. Bahkan tidak terdapat setetes minyak untuk mengoles pusar putrinya, apalagi minyak untuk lampu penerang. Rumah tersebut juga tidak terdapat sehelai kainpun yang dapat digunakan untuk menyelimuti bayi yang baru lahir. Istrinya minta agar Isma’il  pergi kepada tetangga untuk meminta sedikit minyak guna menyalakan lampu. Akan tetapi Isma’il telah bersumpah bahwa ia tidak akan meminta sesuatupun dari manusia lain, sehingga ia pura-pura menyentuh rumah tetangganya, lalu kemabali ke rumah dan melaporkan bahwa tetangganya sedang tidur hingga tidak membukakan pintu.
Pada waktu kecil Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga biasa dengan kehidupan orang saleh yang penuh zuhud. Seperti anak-anak sebayanya, Rabi’ah tumbuh dan dewasa secara wajar. Hanya saja beliau terlihat sangat lain dengan teman sebaya menyangkut kerja otaknya, beliau kelihatan cerdik dan lincah dibandingkan dengan yang lain. Pada diri beliau juga tampak pancaran sinar ketaqwaan dan ketaatan yang tidak dimiliki oleh teman-temannya. Perbedaan tersebut sedikit jelas telah menunjukkan bahwa kesufian seorang Rabi’ah al-Adawiyah sudah tampak ketika beliau masih kecil.
Masa-masa remaja, merupakan masa-masa yang dinantikan dan terindah oleh anak manusia pada umumnya, ternyata tidak bagi seorang Rabi’ah al-Adawiyah. Sebagai seorang yang zuhud beliau tidak lagi memikirkan hal itu. Malah sebaliknya pada masa itu beliau ditinggal ayahnya yang kemudian disusul oleh ibunya. Kepergian orang tuanya merupakan ujian bagi Rabi’ah karena sang ayah merupakan tulang punggung keluarga. Betapapun cobaan yang dihadapi, Rabi’ah tetap tidak kehilangan pedoman, sepanjang siang dan malam beliau selalu bedzikir dan tafakkur kepada Allah SWT.
Bencana yang menimpa kota basrah berupa kemarau panjang dan kekeringan membuat beliau terpisah dari saudaranya dan jatuh ketangan peranpok yang kemudian dijual sebagai hamba sahaya dengan harga yang sangat murah sekali sekecil enam dirham. Menjadi budak dari seorang yang kejam, hingga dimerdekakan oleh tuannya yang kejam karena telah melihat sesuatu yang menakjubkan pada diri Robi’ah al-Adawiyah, yaitu pada suatu malam tuannya terbangun dan mendengar suara rintihan. Dari celah-celah kamar ia mengintip apa yang dilakukan Rabi’ah, ia tertegun melihat Rabi’ah bersujud di tanah seraya berdo’a, “Oh Tuhanku, Engkau mengetahui bahwa hatiku selalu mendambakan Engkau dan benar-benar tunduk pada perintah-Mu. Cahaya mataku mengabdi kepada kerajaan-Mu, jika itu terserah kepada-Mu, aku tak akan berhenti menyembah-Mu, walau barang sesaatpun. Namun, Engkau telah membuatku tunduk kepada seorang mahluk, karena itu aku terlambat datang dalam beribadah kepada-Mu” [2]
 Dengan mata kepalanya sendiri dia melihat sebuah lentera tanpa rantai tergantung di atas kepala Robi’ah al-Adawiyah, sedang cahayanya menerangi seluruh rumah. Demi melihat itu semua sang tuan kembali ke kamar tidurnya dan merenung sampai fajar menyingsing. Pagi itu juga tuannya memanggil Robi’ah al-Adawiyah dengan lembut dan berkata bahwa dia membebaskan Robi’ah. Tuannya juga menawarkan apakah Rabi’ah mau tinggal bersama tuannya atau pergi, tapi pilihan Robi’ah adalah pergi. Dalam perjalanan selanjutnya dunia sufi telah mantap menjadi pilihan Robi’ah hingga ajalnya tiba, ia selalu melakukan shalat tahajud sepanjang malam hingga fajar tiba. Abdah, sahabat karib Rabi’ah, menceritakan bahwa setiap hari Rabi’ah selalu melakukan shalat dan beribadah. Bila fajar menyingsing beliau tertidur sebentar. Dengan ibadah-ibadah yang beliau lakukan dapat mengangkat derajatnya, baik di dunia maupun di akhirat.
Selain itu Rabi’ah telah memilih hidup zuhud dan selama hidupnya beliau tidak pernah menikah, walaupun beliau termasuk wanita yang cantik dan menarik. Rabi’ah selalu menolak lamaran-lamaran laki-laki yang mau meminangnya. Dalam berbagai sumber disebutkan bahwa Rabi’ah pernah dilamar oleh seorang yang sangat dihormati dan berpengaruh dalam masyarakat pada waktu itu, Abdul Wahid ibn Zaid. Tetpi ketika Abdul Wahid ibn Zaid datang menyampaikan lamaran pada Rabi’ah, ia mendapatkan jawaban “hai orang yang bersyahwat, carilah orang yang sepadan dengan engkau”. Menurut Abdul Mu’in Qandil, bahwa pada suatu hari seseorang bertanya pada Rabi’ah tentang pilihan hidupnya untuk tidak menikah, namun pertanyaan tersebut dijawab dengan tiga masalah yang selama ini menimbulkan keprihatinan dalam dirinya. Jika ada seseorang yang yang bias menjawab permasalahan tersebut maka beliau akan menikah dengan orang tersebut, yaitu :
1.      Apabila beliau meninggal, apakah beliau akan mengahadap Allah dalam keadaan iman dan suci atau tidak?
2.      Apabila beliau menerima catatan amal perbuatan, apakah menerima dengan tangan kanan atau tangan kiri?
3.      Bila sampai pada hari berbangkit, termasuk dalam golongan kanan yang masuk surga, atau termasuk dalam golongan kiri yang masuk neraka?
Demikianlah argument-argumen yang dimajukan oleh Rabi’ah dalam menolak setiap lamaran yang ingin memperistrinya. Oleh sebab kecintaannya kepada Allah yang begitu tulus Rabi’ah meninggalkan semua hal yang berhubungan tentang keduniawian.
Beliau menjalani dunia kesufian hingga berumur delapan puluh tahunan, karena pada usia itulah beliau meninggal dunia. Diceritakan oleh Muhammad bin Amr, “aku datang melihat Rabi’ah, ia seorang wanita yang sudah tua, berusia delapan puluh tahun. Di rumahnya aku lihat tempat gantungan baju dari kayu dari Persia, tingginya kira-kira dua hasta. Selain itu terdapat pula sebuah kendi dari tanah liat, sebuah tikar dari bulu. Ketika ajalnya hampir tiba ia memanggil Abdah binti Abi Shawwal yang telah menemaninya dengan baik. Ia berkata, ”Janganlah kematianku sampai menyu-sahkan orang lain; bungkuslah mayatku dengan jubahku”. Rabi’ah memang tidak ingin menyusahkan orang lain. Beberapa orang saleh sebelum ia meninggal ingin mendampinginya disaat-saat terakhirnya, tetapi beliau menolak didampngi pada saat seperti itu. “Bangunlah dan keluarlah, lapangkanlah jalan untuk utusan Allah (malaikat) yang akan datang menjemputku.” Mereka bangkit lalu keluar, ketika mereka menutup pintu terdengar suara Rabi’ah mengucapkan syahadat.[3] Pada saat itulah guru sufi yang paling luhur dan berpengaruh telah tiada, berpulang ke rahmatullah. Mewariskan sebuah konsep tasawuf yang sangat popular hingga saat ini.
Konsep mahabbatullah Rab’ah al-Adawiyah
Pada masa hidupnya, rabi’ah telah membebaskan diri pada penghambaan dunia, dan beliau telah mengangkat martabatnya dalam ketakwaan, tulus dan ikhlas ke tingkat ma’rifat yang amat tinggi hingga pada saat itu dia merupakan orang yang berpengaruh besar. Dengan menjadi seorang guru para sufi-sufi yang lain beliau dapat menyalurkan pengalaman spiritual yang ia miliki dan juga memecahkan persoalan-persoalan yang dialami oleh para sufi lain dalam menempuh jalan menuju sang Kholiq. Sejak saat itu juga dari lidah beliau selalu tercipta kata-kata mutiara yang indah, hikmah kebijaksanaan yang dalam, dan tuntunan yang menyejukkan hati hingga beliau dijuluki guru perempuan sufi yang luhur oleh para sufi lainnya. Konsep mahabbatullah atau cinta kepada Allah yang merupakan pokok ajaran tasawuf Rabi’ah adalah merupakan sebuah maqam atau jenjang yang harus dilalui oleh para penempuh jalan Ilahi untuk mencapai ridla Allah dalam beribadah, bahkan mahabbatullah adalah puncak tertinggi dari semua maqam. Salah satu ungkapan Rabi’ah al-adawiyah kepada sang Kholik adalah:
Kucintai Engkau lantaran aku cinta, dan lantaran Kau patut dicintai
Cintakulah yang membuat rindu pada-Mu
Demi cinta suci ini, bukalah, tabir penutup tatapan sembahku
Janganlah Kau puji aku lantaran itu, bagi-Mulah segala puja dan puji….
Robi’ah pernah ditanya oleh Sofyan ath-Thawri “Bagaimana sebenarnya hakikat imanmu?” beliau menjawab, “Aku mengabdi kepada-Nya, bukan karena takut akan neraka-Nya atau karena mengharapkan surga-Nya. Kalau demikian halnya aku seperti pekerja yang menyembah atau mengabdi pada-Nya karena mengahrap sesuatu”. Beliau juga mengungkapkan dalam sya’irnya :
Sekiranya aku beribadah pada Engkau
karena takut akan siksa neraka, biarkanlah neraka itu bersamaku
Dan jika aku beribadah karena harap akan surga
maka biar jauhkan aku dari surga itu
Tetapi bila aku beribadah karena cinta semata
maka limpahkanlah keindahan-Mu selalu…”.[4]
Cinta Rabi’ah al-Adawiyah yang tinggi sehingga merendahkan manusia mendorong dirinya meraih kesepurnaan tertinggi; ia bahkan menjelajahinya, untuk sirna dalam indahnya cinta yang tidak dialami oleh selain dirinya. Semata pada saat beliau telah mendalami sufisme dan kearifan, dan memperoleh pengalaman batin, kemudian terangkat naik semata mencari Wajah Allah SWT. Hingga beliau dapat mengetuk dan memohon dipintu yang lebih tinggi, dan menjadi semacam cahaya sebagaimana jiwa yang mengikat tubuhnya, mengapung dalam pemujaannya lebih tinggi dan makin tinggi serta semakin bercahaya hingga akhirnya mencapai surga dengan sendirinya.[5] Oleh sebab itu Rabi’ah menghendaki agar manusia mengenal Allah sebaik-baiknya. Karena bila seorang telah mengenal Allah, maka ia akan mencintai-Nya, dan ikhlas mencintai serta beribadah kepada-Nya, bukan karena mengaharapkan pahala, atau takut pada siksa neraka-Nya.
Kemudian pada masa selanjutnya, cetusan tersebut -konsep mahabbatullah- terus berkembang di tangan beberapa sufi, dengan diperluas dan diberi nuansa-nuansa baru sesuai dengan pola pikir dan perkembangan yang ada. Dapat disebut sebagai contoh adalah; Jalaluddin ar-Rumi, Abu Yazid al-Bustami, Al-Ghazali, Al-Qusyairi, AL-Hujwiri, dan sebagainya. Al-Ghazali –dalam karyanya ‘Ihya Ulum al-Din’- membahas mahabbah secara luas. Dalam pembahasannya, Al-Ghazali antara lain memberi komentar pada salah satu sya’ir Rabi’ah tentang pembagian cinta. Dalam sya’ir tersebut:
Aku Mencintaimu-Mu dengan dua model cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena dir-iMu
Cinta karena diriku
Adalah keadaan senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Ku
Adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir
hingga engkau kulihat
Baik untuk ini maupun untuk itu
Pujian bukanlah untukku
Bagi-Mu segala pujian
Menurut Al-Ghazali, dalam mengomentari pembagian cinta tersebut, mungkin yang dimaksud dengan cinta karena diriku atau oleh dorongan hati belaka ialah cinta kepada Allah karena kebaikan dan karunia-Nya. sedangkan model cinta kedua, karena diri-Mu, adalah karena cinta sebab keindahan dan keagungan-Nya. Cinta yang terakhir inilah cinta yang paling luhur dan mendalam serta merupakan kelezatan melihat keindahan Tuhan.[6]
Simpulan
Maka dapat diambil konklusinya bahwa cinta Rabi’ah al-Adawiyah kepada Allah adalah cinta yang tidak beralasan dan bersifat rindu terhadap keagungan dan keindahan Allah SWT. yang kemudian menuju perjalanan mencapai ketulusan.  Sesuatu yang dianggap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut. Selain itu cinta Robi’ah kepada sang Kholik juga bisa disebut dengan cinta yang absolute, yaitu cinta yang sepenuhnya hanya kepada Allah dan tak seorangpun yang bisa dicintai Robi’ah karena cintanya hanyalah kepada Allah semata. Oleh karena itu ia selalu berkata, “Ya Allah, jadikanlah neraka tempat bagi orang-orang yang membangkang, dan jadikanlah surga bagi orang-orang yang menaati-Mu. Namun, untukku cukuplah keridhaan-Mu saja”.[7]



[1] Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), hal. 46
[2]Sururin, Rabi’ah Al-Adawiyah Hubb Al-Illahi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002),  hal. 35
[3] Muhammad Atiyyah Khamis, Rabi’ah al-Adawiyah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, tt), hal. 75-76
[4] Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), hal. 49
[5] Widad El Sakkaki, Pergulatan Hidup Perempuan Suci Rabi’ah al-Adawiyah : Dari Lorong Derita Mencapai Cinra Ilahi, (Surabaya: Tisalah Gusti, 1999), hal. 93-94
[6] Sururin, Rabi’ah Al-Adawiyah Hubb Al-Illahi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002),  hal.126-128
[7] Muhammad Atiyyah Khamis, Rabi’ah al-Adawiyah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, tt), hal. 60

Tidak ada komentar:

Posting Komentar