Selasa, 24 Mei 2011

NIKAH BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF ISLAM


BAB I
                                                                   PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dilihat dari segi etnis pada khususnya. Dari segi agama, Indonesia memiliki banyak agama seperti Islam, Hindu, Kristen, Budha, Katolik dan Konghucu. Dalam semua hal pasti ada dampaknya, begitu pula dengan Indonesia sendiri, dampak tersebut atau yang lebih pasnya disebut sebagai konsekuensi adalah adanya interaksi antar indivudunya, baik itu sesama maupun antar agama yang masing-masing mereka hidup dalam satu negara yaitu Indonesia toh walaupun mereka dalam sehari-harinya dihadapkan dengan berbagai hal perbedaan, baik itu dari segi kebudayaan, cara pandang hidup antar individual.
Dalam berkehidupan sosial seperti itu sangat mustahil sekali untuk dapat membatasi atau bahkan menghalangi mereka, karena di Indonesia sendiri hak asasi manusia sangat dijunjung tinggi. Sehingga nantinya pergaulan yang semacam itu akan menghasilkan sesuatu yang tidak bisa dianggap remeh. Pacaran beda agama antara orang muslim dengan non muslim yang merupakan salah satu hasil dari pergaulan tersebut bukan tidak mungkin malah menjalar ketingkat yag lebih serius yaitu pernikahan, yang kemudian disebut dengan ’pernikahan antar agama ataupun pernikahan beda agama’.
Selain itu pernikahan merupakan bagian dari kemanusiaan seseorang, seorang muslim yang hidup di negara yang majemuk seperti ini hampir dipastikan sulit untuk menghindari dari persentuhan dan pergaulan dengan orang yang beda agama. Pada posisi seperti ini ketertarikan pria atau wanita muslim dengan orang yang beda agama dengannya atau sebaliknya, yang berujung pada pernikahan hampir pasti tidak terelakkan. Dengan kata lain, persoalan pernikahan antar agama hampir pasti terjadi pada setiap masyarakat yang majemuk.
Hal tersebut akan menjadikan persoalan yang serius bagi agama-agama yang berada di Indonesia, Islam pada khususnya. Pandangan agama Islam mengenai persoalan-persoalan antar agama mayoritas ulama mengalami perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya pernikahan beda agama di praktekkan di Indonesia, yang tentunya masing-masing pihak memiliki argumen rasional maupun argumen logikal yang berasal dari penafsiran mereka masing-masing terhadap dalil-dalil Islam.
B.  Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini kami dapat mengambil perumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa itu nikah?
2.      Bagai mana pendapat para ulama mengenai pernikahan beda agama?
C.  Pendekatan pembahasan
Dalam penulisan makalah ini kami memang sengaja memakai pendekatan secara kepustakaan, artinya dalam penulisan makalah ini penulis mengambil referensi  dalam buku-buku fikih, baik itu yang klasik atupun yang fiqih kontemporer. Sehingga makalah yang kami tulis ini nantinya memiliki rujukan yang jelas, dan pastinya dapat dipercaya.
D.  Metodologi
1.      Metode pengumpulan data
2.      Metode pembahasan
3.      Metode analisis
E.  Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang kami pakai pada makalah ini sengaja kami sajikan dalam lima bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang adalah merupakan landasan pemikiran penulis dalam mengangkat tema tersebut, perumusan masalah sebagai pembatasan dengan tujuan untuk lebih fokusnya pembahsasan makalah ini, pendekatan pembahasan yaitu cara-cara bagaimana kami mendapatkan informasi dan bahan untuk makalah ini, metodologi yaitu metode kami dalam membahas makalah ini, dan sistematika pembahasan atau urutan-ururtan dalam makalah ini.
Pada bab kedua dalam makalah ini sengaja kami mambahas kembali tentang nikah, meliputi pengertian, tujuan, hukum dan wanita yang haram dinikahi. Karena kami pikir hal itu penting dibahas kembali untuk bisa membuat pembaca lebih matang lagi dalam mengkaji tentang nikah beda agama nantinya.
Bab ketiga, kami menjelaskan tentang pendapat para ulama mengenai pernikah beda agama meliputi pengertian nikah beda agama tersebut dan hukumnya.
Dan bab keempat, yang merupakan bab terakhir dalam penulisan makalah ini adalah penutup yang berisi kesimpulan dari semua pembahasan, dan saran-saran dari penulis untuk pembaca.

BAB II
NIKAH
A.  Pengertian Nikah
Pengertian nikah perlu dibahas terlebih dahulu sebelum kita memasuki lebih jauh pembahasan tentang nikah. Kata nikah berasal dari bahasa Arab Nakaha-Yankihu-Nikâhan yang berarti kawin atau perkawinan. Kata nikah ini sudah diadopsi dari bahasa Arab dan menjadi kata bahasa Indonesia yang sangat populer serta ditujukan pada hajat manusia yang lain jenis dalam meresmikan perjodohannya. Sedangkan kata kawin sering diidentikkan dengan hal-hal yang negatif dan berbau kebinatangan. Umat islam yang meresmikan perjodohannya dengan pasangan pilihannya dengan disaksikan (diketahui) oleh masyarakat sekitarnya disebut telah melaksankan nikah, sedangkan umat manusia yang melakukan kumpul kebo bisa disebut kawin karena tidak berbeda jauh dengan binatang dalam hal memuaskan nafsu birahinya, serta tidak mengindakan aturan, norma dan nilai-nilai sosial yang telah ditetapkan agama.
Definisi nikah menurut syara’ adalah melakukan aqad (perjanjian) antara calon suami dan istri agar dihalalkan melakukan ”pergaulan” sebagaimana suami istri dengan mengikuti norma, nilai-nilai sosial dan etika agam. Aqad yang dimaksudkan di sini adalah pengucapan ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dan pengucapan qabul dari pihak calon suami atau bisa diwakilkan.[1]
Sedangkan pengertian nikah menurut Abu Haifah adalah ”aqad yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita, yang dilakukan dengan sengaja.” Pengukuhan yang dimaksud adalah suatu pengukuhan yang sesuai dengan ketetapan pembuat syari’ah, bukan sekedar pengukuhan yang dilakukan oleh dua orang yang saling membuat aqad (perjanjian) yang bertujuan hanya sekedar untuk mendapatkan kenikmatan belaka.
Menurut mazhab Maliki, pernikahan adalah ”Aqad yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan dari wanita, yang dengan aqad tersebut seseorang akan terhindar dari perbuatan zina.”
Menurut mazhab Syafi’i pernikahan adalah ”aqad yang menjamin diperboleh-kannya persetubuhan antara seorang laki-laki dan perempuan”.
Dan menurut mazhab Hambali adalah ”aqad yang di dalamnya terdapat lafadz pernikahan secara jelas, agar diperbolehkan bercampur”.[2] Bila diperhatikan kembali dari keempan definisi yang dipaparkan oleh beberapa mazhab di atas jelas, bahwa yang menjadi inti pokok pernikahan itu adalah aqad.
B.  Tujuan Nikah
Di dunia ini Allah menciptakan segala sesuatu dengan ada maksud atau tujuan tertentu, begitu pula dengan nikah. Tujuah nikah ialah menurut perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa tujuan pernikahan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia ini, juga mencegah perzinahan, agar terciptanya ketenangan jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat.[3]
Menurut Ny. Soemijati, S.H., dalam buku Hukum Pernikahan Islam yang ditulis oleh Mohd. Idris Ramulyo, S.H., M.H., disebutkan bahwa tujuan pernikahan dalam islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabi’at kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayag, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikut ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syari’at.
Rumusan tujuan pernikahan di atas dapat diperinci sebagai berikut:
1.      Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabi’at kemanusiaan
2.      Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih
3.      Memperoleh keturunan yang sah
Dari rumusan di atas, filosof Islam Imam Ghazali membagi tujuan dan faedah pernikahan kepada lima hal, yaitu:
1.      Memperoleh keturunan sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.
2.      Memenuhi tuntunan naluri hidup manusia
3.      Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan
4.      Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masya-rakat besar di atas dasar kecintaan dan kasih saying
5.      Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rizki penghidupan yang halal, dan memperbesar rasa tanggungjawab
C.  Hukum Nikah
Asal hukum melaksanakan pernikahan itu adalah mubah, namun dapat berubah sunnah, wajib, haram dan makruh berdasarkan sebab-sebab (illahnya). Yaitu:
1.      Sunnah
Hukum nikah itu menjadi sunnah apabila dipandang dari segi pertumbuhan fisik (jasmani) seseorang pria itu telah wajar dan berkeinginan untuk menikah, sedangkan baginya ada biaya sekedar hidup sederhana. Andaikata dia melaksanakan nikah akan mendapatkan pahala dan kalau dia tidak atau belum nikah tidak akan jatuh pada zina.
Bagi wanita yang belum mempunyai keinginan untuk melaksanakan nikah tapi membutuhkan perlindungan atau nafkah dari seorang suami maka hukumnya adalah sunnah baginya untuk melaksanakan nikah.
2.      Wajib
Wajib hukumnya untuk melaksanakan nikah jika seorang pria dipandang darisudut fisik (jasmani) pertumbuhannya sudah sangat mendesak untuk menikah, sedangkan dari sudut biaya kehidupan telah mampu dan mencukupi, sehingga kalau dia tidak menikah mengkhawatirkan dirinya akan terjerumus kepada penyelewengan melakukan hubungan seksual (zina). Demikian pula seorang wanita yang tidak dapat menghindarkan diri dari perbuatan orang jahat bila mana ia tidak manikah, maka wajib baginya manikah.  
3.      Haram
Hukum nikah bisa berubah menjadi haram bila seorang laki-laki tersebut tidak mempunyai harta yang mencukupi, dan bila tidak melaksanakan nikah tidak akan jatuh pada zina.
Seorang pria atau wanita tidak bermaksud akan menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai suami istri, atau pria ingin menganiaya wanita atau sebaliknya pria atau wanita ingin memperolok-olokkan pasangan saja maka haramlah yang bersangkutan itu menikah.[4]
4.      Makruh
Bias juga hukum nikah itu menjadi makruh apabila seseorang yang dipangdang dari sudut pertumbuhan jasmaniah telah wajar untuk nikah, walaupun belum sangat mendesak, tetapi belum ada biaya untuk hidup sehingga kalau dia nikah hanya akan membawa kesengsaraan hidup istri dan anak-anaknya, maka makruhlah baginya untuk menikah. Tetapi andaikata dia menikah juga tidak berdosa atau tidak pula berpahala sedangkan apabila dia tidak menikah dengan pertimbangan kemaslahatan itu dia mendapatkan pahala.
Ditinjau dari sudut wanita yang telah wajar untuk nikah tetapi ia meragukan dirinya akan mampu mematuhi dan menta’ati suaminya serta mendidik anak-anaknya, maka makruh baginya untuk melaksanakan nikah. Makruh hukumnya menikahi pria yang belum mampu mendirikan rumah tangga dan belum mempunyainiat untuk kehendak melaksanakan nikah.[5]
D.  Wanita yang Haram di Nikahi
Dalam islam ditetapkan bahwa laki-laki tidak bebas memilih perempuan untuk dijadikan istri. Ada ketentuan yang baku tentang perempuan yang boleh dinikahi dan yang tidak. Perempuan yang boleh dinikahi adalah perempuan yang bukan muhrim bagi laki-laki yang bersangkutan seperti saudara perempuan, anak tiri, anak kandung, dan sebagainya. Dalam hal ini perempuan-perempuan yang haram dinikahi dikatagorikan ke dalam dua bagian,[6] yaitu:
1.      Perempuan yang haram dinikahi untuk selama-lamanya, meliputi:
a.       Karena ada hubungan darah
Ø  Ibu, nenek (ibu dari ibu dan ibu dari bapak), dan seterusnya sampai ke atas.
Ø  Anak perempuan, cucu perempuan, dan seterusnya sampai kebawah.
Ø  Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu saja.
Ø  Saudara perempuan dari ayah dan ibu (bibi atau tante).
Ø  Anak perempuan dari saudara laki-laki dan perempuan (keponakan) dan seterusnya sampai kebawah.

b.      Karena ikatan pernikahan
Ø  Ibu dari istri (mertua).
Ø  Anak tiri (dengan catatan apabila sudah berhubungan intim dengan ibunya).
Ø  Istri dan anak (menantu).
Ø  Istri ayah (ibu tiri).
Ø  Dua perempuan bersaudara dinikahi sekaligus.
c.       Karena ikatan susuan
Ø  Ibu yang mengusui, nenek (ibu dari ibu yang menyusui), dan seterusnya sampai keatas.
Ø  Anak dari ibu yang menyusui (anak susuan) dan seterusnya sampai kebawah. [7]
Keharaman menikahi perempuan karena ada ikatan sesusuan sama dengan perempuan yang disebabkan hubungan darah atua keturunan. Hal ini termaktub dalam hadits Nabi Muhammad SAW. yang diriwa-yatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, yaitu ”Haram karena disebabkan ikatan sesusuan sama dengan sesuatu yang haram karena ada hubungan darah.”[8]
2.      Perempuan yang haram dinikahi untuk sementara waktu saja, yaitu:
a.       Menikahi dua perempuan yang bersaudara sekaligus. Artinya selama si A masih ada ikatan suami istri dengan B, si A menikahi si C, sedang si B dan C adalah saudara.
b.      Menikah dengan lebih dari empat perempuan. Laki-laki hanya boleh menikahi perempuan sebanyak empat orang, lebih dari itu (perempuan yang kelima) haram hukumnya. Kalau salah satu dari empat perempuan itu dicerai atau meninggal dunia maka sang suami boleh menikah lagi.
c.       Perempuan yang ditalak tiga. Mantan suaminya yang telah menjatuhkan talak tiga adalah haram menikahi perempuan itu. Tetapi, jika perempuan itu nikah dengan laki-laki lain kemudian dicerai dan masa iddahnya juga habis maka laki-laki yang bersangkutan (mantan suami yang menjatuhkan taak tiga di atas) boleh menikahi kembali.
d.      Perempuan yang masih menjadi istri orang lain dan perempuan yang masih dalam masa iddahnya. Laki-laki yang ingin menikahi istri orang lain adalah haram hukumnya, demikian juga menikahi perempuan yang masih dalam masa iddah.


BAB III
PENDAPAT PARA ULAMA MENGENAI NIKAH BEDA AGAMA
A.  Pengertian Nikah Beda Agama
Di atas telah penulis paparkan mengenai pengertian nikah, di sini penulis juga akan memaparkan pengertian nikah, tapi nikah yang dimaksudkan di sini adalah pengertian nikah beda agama. Menurut Rusli, SH dan R. Tama, yang dimaksud dengan pengertian pernikahan beda agama  adalah merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan, yang karena berbeda agama. Menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan pernikahan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing, dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
 Menurut I. Ketut Madra, SH dan I. Ketut Artadi, SH yang dimaksud dengan pernikahan beda agama adalah ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing berbeda agamanya dengan mempertahankan perbedaan agamanya itu sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan menurut Abdurrahman, SH yang dimaksud dengan pernikahan beda agama adalah suatu pernikahan yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. [9]
Dari berbagai pengetian nikah beda agama yang dikemukakan oleh para sarjana diatas dapat kami simpulkan bahwa yang dimaksud dengan pernikahan beda agama menurut mereka adalah pernikahan antar dua orang yang berbeda agama dan masing-masing tetap mempertahankan agama yang dianutnya.


B.  Hukum Nikah Beda Agama
Dalam hal pernikahan antara orang muslim dengan orang musyrik ulama sepakat menghukumi haram. Alasan yang cukup sederhana bahwa mereka juga akan mempunyai banyak perbedaan, baik itu dilihat dari segi agama, pemikiran, kebudayaan, peradaban, dan yang paling urgen adalah cara hidup mereka sangat berbeda sekali dengan orang muslim, maka sangatlah tidak mungkin bagi seorang muslim untuk menikahi orang musyrik.  Kalau seandainya dengan perbedaan-perbedaan yang mereka miliki masih mengadakan ikatan yang disebut dengan pernikahan, hubungan cinta mereka hanya akan bersifat badani.[10] Selain alasan yang telah kami paparkan, juga dijelaska di dalam Al-Quran surat al-Baqarah ayat 221:
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 Ÿwur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 78ÎŽô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôtƒ n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôtƒ n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãƒur ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbr㍩.xtGtƒ ÇËËÊÈ  
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Ayat di atas sangat jelas bahwa Allah sangat melarang orang muslim menikahi orang non muslim kecuali orang ahli kitab.
 Pada sisi agama Islam, masalah pernikahan antara orang muslim dengan orang non muslim ini sebenarnya terbagi dalam dua kasus keadaan. Pertama, pernikahan antara laki-laki non muslim baik itu laki-laki musyrik atupun ahli kitab dengan wanita muslim. Kedua, pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim.
1.      Pernikahan antara laki-laki non muslim baik itu laki-laki musyrik atupun ahli kitab dengan wanita muslim.
Pada kasus pertama ini para ulama sepakat untuk menghukumi haram pernikahan antara seorang wanita muslim dengan laki-laki non muslim baik itu laki-laki musyrik ataupun ahli kitab, dan hukum pernikahannya tidak sah. Jadi, bisa dikatakan jika seorang wanita muslim memaksakan dirinya menikah dengan laki-laki non muslim (ahli kitab), maka akan dianggap berzina. Karena sifat mereka yang lunak dan lembut, maka jikalau seandainya wanita muslim tersebut mendapatkan suami non muslim dan hidup dalam masyarakat non muslim, dimungkinkan wanita muslim tersebut akan mengikuti cara hidup pasangan mereka yang non muslim dan tidak mungkin dia dapat mempengaruhi pikiran mereka berhubung hukum suami istri dalam islam adalah istri berada dalam kekuasaan suami dan dikhawatirkan wanit muslim murtad dari agama islam dan mengikuti agama suaminya.[11] Selain dari alasan tersebut, kita ketahui bahwa selama ini tidak ada sejarah ataupun dalil yang membahas tentang bolehnya seorang perempuan muslimah menikah dengan orang ahli kitab ataupun orang musyrik.
2.      Pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim.
Seorang laki-laki muslim haram hukumnya menikah dengan wanita non-muslim kecuali wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), Pada surat al-Baqarah ayat 221 tersebut di jelaskan bahwa yang menjadi sebab haramnya pernikahan antara orang muslim dengan orang musyrik yaitu hanya akan menjerumuskan orang muslim tersebut kepada jalan kemusyrikan, dan perlu di garis bawahi bahwa pernikahan itu bukan hanya hubungan yang berbau seksual belaka, tetapi juga meliputi hubungan batin dan budaya. Boleh jadi orang muslim itu akan mempengaruhi orang musyrik sehingga dia dan keluarganya berkenan beralih agama kepada agama islam, tapi juga tidak mustahil malah sebaliknya orang muslim tersebut yang malah beralih agama kepada agama pasangannya sehingga menuju jalan kemusyrikan. Hal yang tidak dapat dipungkiri bila seorang muslim menikah dengan seorang yang musyrik adalah bercampurnya keturunan orang muslim dengan orang non muslim. Orang musyrik mungkin akan menyetujui hal tersebut, tapi jika kita sebagai orang muslim yang bertauhid selayaknya kita lebih suka mengendalikan hawa nafsunya ketimbang melakukan suatu perbuatan yang akan menyesatkan keimanan dan menjadikan musyrik baginya atau paling tidak keturunannya, resiko tersebut tidak akn diambil oleh seorang muslim hany untuk memuaskan hawa nafsu syahwatnya semata[12].
Mengenai pernikahan antara laki-laki muslim dengan ahli kitab ulama juga mengalami perbedaan hukum, ada yang membolehkan dan juga ada yang mengharamkan.
a.       Pendapat yang memperbolehkan
Menurut pendapat jumhurul ulama baik Hanafi, Maliki, Syafi’I maupun Hambali seorang laki-laki muslim diperbolehkan menikah dengan wanita ahli kitab yang berada dalam lindungan Negara Islam atau juga yang disebut dengan kafir Dzimmah.[13] Dengan berdasarkan pada Al-Quran surat al-Maidah ayat 5:
tPöquø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sŒÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èduqã_é& tûüÏYÅÁøtèC uŽöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB Ÿwur üÉÏ­GãB 5b#y÷{r& 3 `tBur öàÿõ3tƒ Ç`»uKƒM}$$Î/ ôs)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ƒÎŽÅ£»sƒø:$# ÇÎÈ  
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.”
Selain berlandaskan kepada al-Quran mereka juga kembali pada sejarah bahwa di antara para shahabat ada pula yang menikah dengan ahli kitab seperti Usman bin Affan yang mengawini Nailah binti al-Gharamidah seorang wanita beragama Nasrani, yang kemudian masuk islam, begitu pula dengan Hudzaifah mengawini waniti Yahudi dari penduduk Madinah. Landasan pada kelompok pertama juga kepada Jabir ra. yang pernah ditanya tentang pernikahan laki-laki muslim dengan wanita Yahudi atau Nasrani, beliau menjawab “kamipun pernah menikah dengan mereka pada waktu penaklukan Kufah bersama-sama dengan Sa’ad bin Abi Waqqash”.[14]
Meskipun di atas telah dijelaskan bahwa kalangan Jumhurul Ulama sepakat memperbolehkan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab namun masih ada perdebatan tentang makruh dan sunnahnya.[15]
b.      Menurut pendapat yang haram
Menurut golongan Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah mereka berpendapat bahwa laki-laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita ahli kitab. Golongan yang kedua ini juga berdasarkan pada beberapa dalil yang di antaranya adalah Al-Quran surat al-Muntahanah ayat 10:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ãNà2uä!%y` àM»oYÏB÷sßJø9$# ;NºtÉf»ygãB £`èdqãZÅstGøB$$sù ( ª!$# ãNn=÷ær& £`ÍkÈ]»yJƒÎ*Î/ ( ÷bÎ*sù £`èdqßJçFôJÎ=tã ;M»uZÏB÷sãB Ÿxsù £`èdqãèÅ_ös? n<Î) Í$¤ÿä3ø9$# ( Ÿw £`èd @@Ïm öNçl°; Ÿwur öNèd tbq=Ïts £`çlm; ( Nèdqè?#uäur !$¨B (#qà)xÿRr& 4 Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ br& £`èdqßsÅ3Zs? !#sŒÎ) £`èdqßJçG÷s?#uä £`èduqã_é& 4 Ÿwur (#qä3Å¡ôJè? ÄN|ÁÏèÎ/ ̍Ïù#uqs3ø9$# (#qè=t«óur !$tB ÷Läêø)xÿRr& (#qè=t«ó¡uŠø9ur !$tB (#qà)xÿRr& 4 öNä3Ï9ºsŒ ãNõ3ãm «!$# ( ãNä3øts öNä3oY÷t/ 4 ª!$#ur îLìÎ=tæ ÒOŠÅ3ym ÇÊÉÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
landasan mereka terdapat pada kalimat dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir.
Dalil kedua yang dijadikan landasan hukum golongan ini adalah pada Al-Quran surat al-Baqarah ayat 221:
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム ÇÎÈ(…9)).......4
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman……(ila akhirihi).
Golongan ini menganggap bahwa orang ahli kitab itu adalah musyrik (menyekutuukan Allah) berdasarkan riawayat Ibnu Umar, bahwa beliau pernah ditanya tentang hukum mengawini wanita Nasrani dan Yahudi. Beliau menjawab “sesungguhnya Allah mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi orang-orang mukmin, saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari pada anggapan seorang wanita (Nasrani), bahwa Tuhannya adalah Isa. Padahal Isa hanyalah manusia dan hamba Allah”.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas oleh golongan kedua, bahwa mereka berpendapat atau mempunyai anggapan bahwa ahli kitab itu sama dengan orang musyrik, akan tetapi telah dikelaskan bahwa antara orang ahlikitab dan orang musyrik itu berbeda, yaitu di dalam Al-Quran surat al-Bayinah ayat 6:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. ô`ÏB È@÷dr& É=»tGÅ3ø9$# tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$#ur Îû Í$tR zO¨Yygy_ tûïÏ$Î#»yz !$pkŽÏù 4 y7Í´¯»s9'ré& öNèd ŽŸ° Ïp­ƒÎŽy9ø9$# ÇÏÈ  
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.”
Dari ayat di atas, pada kata-kata sesungguhnya orang-orang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik, telah menunjukkan bahwa antara orang ahli kitab dan orang musyrik berbeda karena ahli kitab dan orang musyrik merupakan bagian dari orang kafir. Maka menurut hemat penulis pendapat yang kedua tentang boleh dan haramnya pernikahan antara orang muslim dengan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) adalah pendapat yang dlo’if (lemah).

BAB IV
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Bab-bab sebelumnya telah membahas mengenai nikah itu sendiri dan pendapat-pendapat para ulama mengenai nikah beda agama, jadi pada bab inikami dapat mengambil simpulan sebagai berikut:
1.      Kata nikah berasal dari bahasa Arab Nakaha-Yankihu-Nikâhan yang berarti kawin atau perkawinan. Kata nikah ini sudah diadopsi dari bahasa Arab dan menjadi kata bahasa Indonesia yang sangat populer serta ditujukan pada hajat manusia yang lain jenis dalam meresmikan perjodohannya. Sedangkan menurut syara’ adalah melakukan aqad (perjanjian) antara calon suami dan istri agar dihalalkan melakukan ”pergaulan” sebagaimana suami istri dengan mengikuti norma, nilai-nilai sosial dan etika agam.
Tujuan pernikahan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia ini, juga mencegah perzinahan, agar terciptanya ketenangan jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat.
Hukum melaksanakan pernikahan itu adalah mubah, namun dapat berubah sunnah, wajib, haram dan makruh berdasarkan sebab-sebab (illahnya).
Perempuan yang haram untuk dinikahi selama-lamanya adalah perempuan yang mempunyai hubungan darah, ikatan pernikahan, dan saudara tunggal susuan. Selain itu ada juga perempuan yang haram dinikahi untuk sementara waktu, yaitu menikahi dua orang perempuan yang bersaudara sekaligus, menikah dengan lebih dari empata orang, perempuan yang ditalak tiga, perempuan yang masih menjadi istri orang lain dan masih dalam masa iddahnya.

2.      Pernikahan beda agama menurut para sarjana di atas adalah mereka adalah pernikahan antar dua orang yang berbeda agama dan masing-masing tetap mempertahankan agama yang dianutnya.
Dalam hal pernikahan antara orang muslim dengan orang musyrik ulama sepakat menghukumi haram begitu pula dengan pernikahan antara perempuan muslim dengan laki-laki non muslim baik itu ahli kitab. Akan tetapi mengenai pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan boleh dan juga ada yang mengatakan tidak. Namun pendapat yang mengatakan tidak boleh adalah pendapat yang lemah, karena menganggap orang ahli kitab sama dengan orang musyrik, padahal tidak.
B.  Saran-Saran
Pada bagian pertama dalam bab empat ini kami telah mendapatkan simpulan dari pembahasan bab-bab sebelumnya. Oleh sebab itu kami harap pembaca dapat menyikapi dengan baik mengenai masalah pada realita yang terjadi di negara kita Indonesia ini yaitu pernikahan beda agama yang sudah banyak terjadi dan tidak bisa dianggap remeh. Tentunya dengan lebih berhati-hati dalam memilih pasangan hidup kita sendiri, yang sesuai dan patuh serta mendapatkan ridha dari orang tua kita.



[1] Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), hal. 5-6
[2] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), hal. 1-2
[3] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal. 26-27
[4] Ibid, hal. 23
[5] Ibid, hal. 21-23
[6] Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), hal. 118
[7] Ibid, hal. 122-123
[8] Yang dimaksudkan dengan menyusui di atas tersebut adalah bila mana sang anak msih belum berumur dua bulan dan dilakukan (disusui) lebih dari lima kali, kalau anak tersebut masih berumur dua bulan atau di bawahnya dan dalam menyusuinya tidak lebih dari lima kali maka belum termasuk mahram, pendapat yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i ini berlandaskan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, menjelaskan bahwa Aisyah r.a berkata, “Pada mulanya yang diturunkan ayat al-Qur’an sepuluh kali susuan yang masuk katagori mahram, kamudian dinasakh oleh lima kali susuan hingga Rasulullah SAW. meninggal dunia.” (Mohammad Asmawi, 2004, hal.123-124)
[9] Eoh,  Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1996),  hal. 35-36
[10] Abul A’la Al-Maududi. Fazl Ahmed, Pedoman Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1983), hal. 14
[11] Ibid, hal. 15
[12] Abdur Rahman, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996),  hal. 238-242
[13] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta: PT RajGrafindo Persada, 1996), hal. 11
[14] Ibid. Hal:12
[15] Pertama, sebagian madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali mengatakan bahwa hukum pernikahan itu makruh, dan di sini Syafi’I dan Maliki menambah bahwa kedua orang tua yang bersangkutan harus beragama Yahudi dan Nasrani, tapi kalau seandainya kedua orang tua yang bersangkutan menganut selain Yahudi dan Nasrani maka laki-laki muslim tersebut tidak boleh mengawini wanita ahli kitab tersebut, sekalipun kedua orang tuanya kemudian beralih agama kepada Yahudi atau Nasrani. Lain halnya dengan Maliki dan Hanafi, menurut mereka laki-laki muslim boleh menikahi wanita ahli kitab sekalipun kedua orangtuanya atau nenek moyangnya tidak beragama Yahudi ataupun Nasrani. (Mohammad Asmawi, 2004, hal. 135-136)
Kedua, menurut pendapat sebagaian madzhab Maliki, Ibnul Qosyim, Khalil bahwa pernikahan itu diperbolehkan secara mutlak dan ini merupakan pendapat Maliki. Pendapat tersebut berdasarkan bahwa al-Quran mendiamkannya. Karena mendiamkan maka dianggap sebagai persetujuan dan artinya boleh-boleh saja. (Abdur Rahman,  1996, hal. 245) Ketiga, Az-Zarkasyi (mazhab Syafi’i) mengatakan bahwa pernikahan itu disunnahkan, apabila wanita ahli kitab itu diharapkan dapat masuk islam. Seperti Usman bin Affan yang menikahi Na’ilah.

1 komentar: