1. Hadist Pertama
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ (رض) قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ (ص م) خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْ آنَ وَعَلَّمَهُ
)وأخرجه البخاريّ والترمذيّ والنسائيّ وابن ماجة(
Artinya : Dari ‘Usman bin Affan ra., ia berkata, Rasulullah saw bersabda. “Orang yang paling baik diantara kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya”.
(Hadist ini adalah hadist shahih yang diriwayatkan oleh imam Al-Bukhori, Abu Daud, Al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Al-Darimi ).
Kandungan Hadist :
1. Anjuran untuk mempelajari al-Qur’an, memperhatikan dan mengenal hukum-hukum, aqidah, sunnatullah yang menimpa umat terdahulu yang terkandung di dalamnya, serta apa-apa yang Allah perintahkan dan yang Allah larang, karena di dalamnya terdapat keberuntungan di dunia dan akhirat.
2. Orang yang berilmu seharusnya mengajarkan ilmunya setelah ia mempelajarinya. Dan semua itu akan diberi pahala, tapi yang paling sempurna pahalanya adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain.
3. Orang yang mempelajari al-Qur’an akan mendapat kemuliaan dan diangkat derajatnya sesuai pengetahuannya.
4. Pembaca al-Qur’an yang tidak berguru tidak akan mampu membacanya dengan benar sesuai dengan hukum-hukum ilmu tajwid, dan tidak dapat mengetahui ilmu yang terkandung di dalamnya. Karena semua itu membutuhkan seorang guru, oleh karena itu Nabi SAW. menganjurkan untuk mempelajari dari para ahlinya dan menganjurkan orang yang mempelajari agar mengajarkannya, yang tentunya hal itu sangat bergantung kepada orang yang mengajarinya.[1]
Penjelasan:
Dalam sebagian besar kitab, hadist ini diriwayatkan dengan menggunakan huruf wa (dan), sebagaimana terjemahan di atas. Dan keutamaan yang disebuntukan menurut terjemahan di atas diperuntukkan bagi orang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain. Namun di beberapa kitab lainnya, ada yang diriwayatkan dengan menggunakan huruf aw (atau), sehingga apabila diterjemahkan akan memiliki arti, “ Yang terbaik adalah yang belajar al-Qur’an saja atau yang mengajarkan al-Qur’an saja.” Keduanya akan mendapatkan derajat yang utama.
Al-Qur’an adalah inti agama. Menjaga dan menyebarkannya berarti menegakkan agama, sehingga sangat jelas keutamaan mempelajari dan mengajarkannya, walaupun bentuknya berbeda-beda. Yang paling sempurna adalah mempelajarinya dan akan lebih sempurna lagi jika mengetahui maksud dan kandungannya. Dan yang terendah adalah sekedar mempelajari bacaannya saja. Rasulullah SAW menguatkan hadist di atas dengan sebuah hadist dari Sa’id bin Sulaim r.a. secara mursal bahwa barangsiapa mempelajari al-Qur’an, tetapi ia menganggap orang lain yang telah diberi kelebihan selain al-Qur’an itu lebih utama darinya, berarti ia telah menghina nikmat Allah swt yang dikaruniakan kepadanya, yaitu taufik untuk mempelajari al-Qur’an.
Sebagaimana akan diterangkan dalam hadist-hadist selanjutnya, al-Qur’an itu lebih tinggi dari kalam lainnya sehingga diyakini bahwa membaca dan mengajarkannya itu lebih utama daripada segalanya. Disebutkan dalam hadist lainnya oleh Mulla Ali Qari rah, bahwa barangsiapa yang menghafal al-Qur’an, maka ia telah menyimpan ilmu-ilmu kenabian di dalam kepalanya. Sahal Tustari rah berkata, “Tanda-tanda cinta kepada Allah SWT. adalah menanamkan rasa cinta terhadap al-Qur’an di dalam hatinya.” Diterangkan dalam Syarah Al Ihya bahwa di antara golongan orang yang mendapatkan naungan Arsy Illahi pada hari kiamat yang penuh ketakutan adalah orang yang mengajarkan al-Qur’an kepada anak-anak dan orang yang mempelajari al-Qur’an ketika masih kanak-kanak dan selalu menjaganya pada masa tuanya.
Selain itu disebutkan juga orang yang terbaik adalah yang terkumpul padanya dua sifat, yaitu mempelajari al-Qur`an dan mengajarkannya. Ia mempelajari al-Qur`an dari gurunya, kemudian ia mengajarkan al-Qur`an tersebut kepada orang lain. Mempelajari dan mengajarkannya di sini mencakup mempelajari dan mengajarkan lafazh-lafazh al-Qur`an; dan mencakup juga mempelajari dan mengajarkan makna-makna al-Qur`an.[2]
2. Hadist Kedua
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ اَنَّ النَّبِيَّ ص.م.قَا لَ : اِنَّ اللّهَ يَرْفَعُ بِهذَ الكِتَابِ اَقْوَامًا وَيَضَعُ بِه آخَرِ يْنَ
Artinya :Dari ‘Umar bin Khattab ra, bahwa Rasuullah SAW bersabda, “Sesung-guhnya Allah SWT dengan kitab al-Qur’an ini mengangkat derajat sekelompok orang, dan merendahkan derajat sekelompok yang lain”.
(Hadist ini juga termasuk hadist yang shahih yang diriwayatkan oleh imam Muslim, Ibnu Majah, dan Al-Darimi,).
Kandungan Hadist :
1. Ilmu dapat mengangkat derajat pemiliknya di dunia dan akhirat, dimana hal ini tidak dapat dilakukan oleh kekuasaan, harta dan lainnya.
2. Ilmu dapat mengangkat kedudukan hamba sahaya sehingga dapat menduduki kedudukan raja. Hal ini tampak dari asbabul wurud (sebab peristiwa hadist tersebut), dari Amir bin Watsilah bahwa Nafi' bin Abdul Harits -yang diangkat oleh Umar ra sebagai Gubernur Makkah- bertemu Umar ra di daerah 'Usfan. Lalu Umar berkata kepadanya : "Siapa yang kamu angkat untuk menggantikanmu di Makkah?" Ia menjawab: "Ibnu Abza" . Umar berkata : "Siapakah Ibnu Abza itu?" Ia menjawab : "Salah seorang maula (hamba sahaya) kami". Umar berkata : "Bagaimana kamu bisa mengangkat seorang hamba sahaya?" Ia menjawab: "Ia sangat pandai membaca Kitabullah dan sangat faham tentang ilmu waris".
3. Kemuliaan dan kegemilangan umat Islam diraih dengan cara berpegang teguh kepada agama dan melaksanakan hak-hak Kitab Sucinya. Jika umat ini berpaling darinya maka ia akan dikuasai oleh Umat lain yang akan mencabik-cabiknya.[3]
Penjelasan :
Hadist di atas menyebutkan bahwa Allah mengangkat derajat suatu kelompok dan merendahkan suatu kelompok dengan al-Qur’an, hal itu terbukti pada realita yang ada pada saat ini. Al-Qur’an mengangkat suatu kelompok apabila kelompok tersebut melakukan sesuatu apa yang di perintahkan oleh Allah dalam al-Qur’an. Begitu pula sebaliknya, apabila suatu kelompok tersebut tidak melakukan apa yang diperintahkan atau bahkan mengerjakan sesuatu yang dilarang oleh Allah dalam al-Qur’an maka Allah akan merendahkan kelompok tersebut. Hal ini juga banyak terjadi pada orang muslim sendiri.
Namun perlu digaris bawahi juga, terkadang seorang yang rendah derajatnya di mata kita adalah tinggi derajatnya di mata Allah, dan juga sebaliknya orang yang tinggi derajatnya di mata kita adalah rendah derajatnya di mata Allah. Hal itu akan dibalas oleh Allah SWT di akhirat nanti.
3. Hadist Ketiga
حدّثناعبدُبنُ حُمَيدٍ حدّثنِى حَبَّانُ بنُ هلالٍ أخبارنا سُهَيلُ ابن عبدالله وهو ابن أبى حَزمٍ أخُو حَزمٍ اَلقُطَعِىِّ حدّثنا ابو عِمْرَانَ الجَونِىُّ عن جُندُبٍ بن عبدالله قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلم "من قال فى القرأن برأيِه فأصابَ فقد اَخْطَأ"
Artinya : Abdu bin Humaid menceritakan kepada kami, Suhail bin Abdullah memberitahukan kepada kami, ia adalah Ibnu Abi Hazm saudaranya Hazm Al-Quthai Abu Imran Al-Jauni menceritakan kepada kami dari Jundub bin Abdillah berkata: Rasulullah SAW. bersabda; “Barang siapa berkata tentang al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri dan tepat, maka (tetap) salah”.
(Hadist ini gharib, dan diriwayatkan dari sebagian ahli ilmu dari sahabat-sahabat Nabi dan yang lainnya, mereka memperberat orang yang menafsirkan al-Qur’an dengan tanpa pengertian, adapun yang diriwayatkan dari Mujahid, Qatadah dan yang lainnya, dari orang-orang yang ahli ilmu, bahwasanya mereka juga menafsirkan al-Qur’an (tetapi dalam hal ini) kita tidak buruk sangka bahwasanya mereka mengatakan atau menafsirkan al-Qur’an dengan tanpa ilmu (pengertian) atau dari pendapatnya sendiri.
Dan diriwayatkan dari mereka (Mujahid dan Qatadah) yang memperkuat perkataan kita, bahwasanya mereka tidak mengucapkan al-Qur’an dengan tanpa ilmu atau dari pendapatnya sendiri (yaitu hadist ini).[4]
Kandungan Hadist:
- Kita tidak boleh menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat kita sendiri tanpa literatur yang jelas.
- Dalam menafsirkan al-Qur’an kita harus berhati-hati, karena belum tentu apa yang kita tafsirkan sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Allah SWT.
- Hadist di atas juga memperingatkan kita untuk tidak langsung menafsirkan suatu hal apapun dengan pendapat kita sendiri tanpa melihat pendapat orang yang lain.
Penjelasan :
Hadist di atas melarang kita untuk tidak menafsirkan al-Qur’an dengan tanpa ilmu, artinya kita tidak boleh menafsirkan al-Quran dengan pendapat kita sendiri karena al-Qur’an merupakan kalamullah yang patut kita hormati. Oleh sebab itulah sepantasnya dalam menafsirkan al-Quran kita menggunakan ilmu. Selain itu hadist di atas juga memperingatkan kita untuk tidak mengambil keputusan dalam suatu masalah secara langung, artinya kita harus berpikir dua kali dalam mengambil keputusan, dan tentunya keputusan yang kita ambil adalah suatu keputusan yang baik yang tidak memodharatkan kepada diri kita sendiri dan orang lain.
[4] H. Moh. Zuhri, Dipi. Terjemah Sunan AtTirmidzi Jilid 4. (Semarang: CV. Asyifa’. 1992). hl. 507-508
makasih ya gan, ijin catut hadistnya
BalasHapus