BIOGRAFI EMILE DURKHEIM
A. Latar belakang
Sejak awal tahun 1970-an salah satu masalah yang selau diperbincangkan para ahli ilmu sosial kita adalah perlunya apa yang disebut ‘pempribumian’ ilmu-ilmu sosial. Masalah ini muncul oleh adanya kesadaran bahwa dalam usaha untuk menangkap, memahami, dan menerangkan realitas sosial, ternyata pendekatan serta konsep dan teori-teori yang ada kurang memadai. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurang mampunya teori-teori yang tersedia itu untuk menerangkan realitas sosial yang ada.
Emile Durkheim adalah salah satu dari peletak dasar ilmu sosial modern yang paling terkemuka. namanya selalu disejajarkan dengan dua tokoh lain, yaiut Max Weber dan Karl Marx. Seperti halnya kedua tokoh tersebut, Durkheim hidup di saat peralihan sosial dann suasana krisis sedang melanda Eropa. Meskipun dia selalu tampil dengan jawaban yang berbeda dan menggunakan pendektan metodologis yang berlainan, ketiga tokoh ini mencoba mencari jawaban atas kegelisahan sosial masyarakat pada saat itu. Sebab itulah dengan mengenal Emile Durkheim, dan tulisan-tulisannya, kita tidak hanya berkenalan dengan salah satu corak pembentukan teori, tetapi juga contoh semacam pergumulan intelektual di saat peralihan sosial sedang berlangsung. Dengan demikian usaha ‘pempribumian’ ilmu soiologi akan lebih mungkin dirintis.
B. Riwayat hidup Emile Durkheim
Teori-teori mengenai masyarakat berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Dari waktu ke waktu, teori-teori itu mengalami perkembangan dan perubahan bahkan ada yang turut tenggelam bersama dengan bertumbuhnya teori baru. Dalam konteks ini, kita tidak bisa memungkiri bahwa perubahan-perubahan teori mengenai masyarakat itu terjadi di dalam suatu masyarakat yang dinamis dengan daya mobile yang tinggi. Beragam teori mengenai masyarakat itu memperlihatkan bahwa kemampuan masyarakat untuk berubah itulah yang menjadi faktor penting dalam memahami masyarakat. Artinya, masyarakat tidak bisa dimengerti dari suatu konstruk teori, melainkan mesti dilihat secara real atau kontekstual.
Adalah Emile Durkheim yang mengemukakan teori perubahan masyarakat dengan teori pembagian kerja yang kemudian memunculkan solidaritas mekanis dan organis. Oleh sebab itulah, sebelum kita melangkah lebih jauh terhadap pembahsan soiologi, tidak salah kiranya untuk mengetahui tentang Emile Durkheim, mengingat Emile Durkheim juga termasuk salah satu dari bapak Sosiologi.
1. Biografi
Seorang Sosiolog yang juga termasuk Bapak sosiologi adalah Emile Durkheim, dia dilahirkan di Epinal, Prancis, yang terletak di Lorraine pada tanggal 15 April 1858. Ia berasal dari keluarga Yahudi Prancis yang saleh, terbukti akan ayah dan kakeknya adalah pendeta Yahudi (rabbi). Hidup Durkheim sendiri sama sekali sekuler. Malah kebanyakan dari karyanya dimaksudkan untuk membuktikan bahwa fenomena keagamaan berasal dari faktor-faktor sosial dan bukan Ilahi. Namun demikian, latar belakang Yahudinya serta mayoritas mahasiswa dan rekan kerjanya adalah sesama Yahudi, dan seringkali masih punya hubungan darah dengannya hingga membentuk sosiologi Durkheim.
Perkembangan teknologi, pertumbuhan penduduk -yang seiring dengan kenaikan pendapatan serta merta memperbesar pasaran konsumen domestik- dan makin terjadi proses konsentrasi modal, yang salah satu akibatnya ialah ‘imperialisasi modern’, merupakan beberapa peristiwa sosial ekonomi yang penting. Semua ini bukan saja menimbulkan dinamika interen, melainkan yang lebih penting lagi mengubah pula tatanan sosial. Tentu saja yang paling menonjol adalah makin pentingnya dampak politik dari kaum pekerja atau buruh, yang selama ini harus menderita akibat dari sistem kapitalisme[1].
Begitulah situasi sosial-politik dan ekonomi yang dialami Emile Durkheim pada waktu itu. Tetapi walau dia adalah penganut ‘sosiologisme’ yang kokoh (dalam arti bahwa bagi mereka masyarakat adalah suatu realitas yang sui generis) Durkheim tidak melihat revolusi sebagai cara yang bisa menghapus kapitalisme. Dia sangsi bahwa revolusi adalah cara pemecahan yang tepat dalam mengatasi masalah sosial yang sedang timbul. Ia beranggapan bahwa masyarakat memerlukan peneguhan dasar moralitas yang baru. Jadi konsesnsus yang menjadi tiang segalanya.
Durkheim menyadari akan dirinya sebagai cendekiawan yang ‘sadar dan insyaf’ akan fungsinya, bahwa dia adalah patriot sejati. Tanpa tanggung-tanggung dia meluluhkan dirinya dalam memperkuat keyakinan patriotisme Prancis ketika menghadapi Perang Dunia I. Dalam perang ini pula ia kehilangan anak satu-satunya, Andre, yang diharapkan bisa mempunyai karier ilmiah yang gemilang.
Dari tinjauan sekilas ini bisa dimengerti mengapa perhatian Durkheim ada masalah konsensus dan moralitas tak pernah pudar. Bukan saja krisis-krisis politik yang melanda Prancis dalam periode Republik Ketiga, dan terjadinya pergeseran sosial, yang menggugah kemantapan yang lama, sebagai akibat industrialisasi dan kapitalisme, melainkan keterlibatan langsung Durkheim dalam berbagai maslah sosail yang dihadapi Prancis juga ikut memainkan peranan. Dalam keterlibatan ini dia bukan saja menghirup tradisi filisofis dan akademis yang telah berakar lama, melainkan juga secara kreatif mempertentangkannya dengan realitas sosial dan hasrat normatifnya. Demikianlah disampin guru-gurunya di Ecole Normale yang telah memperkenalkannya dengan tradisi intelektual Prancis, mulai dari Descartes sampai pada tradisi pemikiran Aufklarung (masa pencerahan), khususnya Montesquieu dan Rousseau, kemudian juga Saint Simon dan Auguste Comte. Kunjungannya ke Jerman menyebabkan dirinya lebih akrab mengenal perkembangan filsafat Jerman. Dalam kunjungan ini pula dia makin mengenal Immanuel Kant. Pemikirannya mengenai moralitas didewsakan oleh perkenalannya dengan kara Kant. Dalam menghadapi berbagai masalah Durkheim juga mengadakan dialog yang cukup keras dengan para pemikir-pemikir Inggris. Dalam berdialog (tidak dalam arti harfiah) dia tidak hanya menolak dengan tegas kecenderungan individualistis Herbert Spencer, yang hanya elhat masyarakat sebagai kelanjutan dari individu, melainkan juga makin mempertajam kecenderungan sosiologistisnya. Sementara itu pula idealisme Jermannya dipertemukannya dengan kecenderungan empiristis Inggris. Begitulah, sebagaimana telah diperlihatkan sebagai studi, pada Durkheim tergabung tradisi idealisme Jerman, empirisme Inggris, dan nasionalisme dari Masa Pencerahan Prancis. Dengan demikian ia merumuskan tujuannya yang fundamental, yaitu “melanjutkn rasionalisme ilmiah pada tingkah laku manusia”.
Ketika Perang Dunia I berkecamuk, Durkheim, seperti disaat ‘Peristiwa Dreyfus’[2], kerja tanpa henti. Dia menulis karangan-karangan yang patriotik dan membuat studi tentang ‘Karakter Bangsa Jerman’. Tetapi kematian anaknya merupakan pukulan besar baginya. Pada tahun 1916 ia mulai sakit-sakitan. Selama itu pula ia mulai menyusun tulisan-tulisannya yang berupa munuskrip secara lebih teratur. Hal ini yang memungkinkan para muridnya kemudian dapat menerbitkan tulisan-tulisan itu. Pada tanggal 15 November 1917, setahun sebelum genjatan senjata, ketika ia hampir berusia 60 tahun Durkheim si calon rabbi, yang kemudian menjadi pelopor sosiologi yang etis, meninggal dunia di Fontaineblau.
2. Pendidikan
Setelah mencoba dua kali, akhirny pada kesempatan ketiga kalinya, Durkheim diterima menjadi murid dari sekolah yang palig elitis dan terpilih di Prancis, Ecole Normale Superieur, di Paris, pada tahun 1879. Di situlah dia belajar sampai tahun 1882. Di sekolah itu ia mulai berkenalan dengan guru yang sangat dikaguminya, Fustel de Coulanges, salah seorang tokoh pelopor historiografi modern Prancis-‘Patriotisme adalah suatu kebajikan dan sejarah adalah suatu ilmu; dan keduanya jangan dicampur adukkan,” si guru ini pernah mengatakan. Dari ahli sejarah besar inilah tampaknya Durkheim mulai tertarik pada masalah konsesnsus dan peranan tradisi, bahkan bukan tidak mungkin bahwa perhatian pada “wewnang perantara” ditimbulkan oleh Fustel. Di sekoah ini ia juga belajar kepada Boutroux, seorang ahli filsafat yang memperkenalkan Durkheim dengan tulisan-tulisan Auguste Comte-suatu perkenalan yang ikut membentuk corak sumbangan Durkheim dalam dunia ilmu. Meskipun dia termasuk murid yang terpandai, tetapi nilai rata-ratanya tidaklah gemilang. Dia terlalu bosan dengan serba aturan yang dirasakannya sebagai penghambat kebebasan pencarian ilmiahnya.
Setelah menamatkan pelajaran di Ecole Normale, sampai tahun 1887, kecuali setahun ketika ia berdiam di Jerman untuk mempelajari situasi pemikiran di sana, Durkheim mengajar diberbagai Lycee. Pada tahun 1887 dia diundang untuk mengajar di Universitas Bordeaux dan pada tahun 1896 ia menjadi Profesor penuh di Universitas Bordeaux. Sampai denga tahun 1902, ketika ia akhirnya diundang ke Sorbonne (Paris). Durkheim berhasil menyelesaikan tiga dari empat buku klasiknya, dan pada tahun 1906 ia menjadi profesor ilmu pendidikan dan sosiologi di Universitas tersebut.
Dalam dunia pendidikan, Durkheim juga merupaka salah satu pemerhatinya terbukti pada saat dia mengajar di Universitas Bordeaux dia membuka pusat pendidikan guru yang pertama di Prancis. Di sana ia mengajar pedagogi (pendidikan ilmu anak-anak) dan ilmu-ilmu sosial (suatu posisi baru di Prancis). Dari posisi ini Durkheim memperbarui sistem sekolah Prancis dan memperkenalkan studi ilmu-ilmu sosial dalam kurikulumnya. Selain itu Durkheim juga tertarik pada bagaimana pendidikan dapat digunakan untuk memberikan kepada warga Prancis semacam latar belakang sekuler bersama yang dibutuhkan untuk mencegah anomi (keadaan tanpa hukum) dalam masyarakat modern. Dengan tujuan inilah ia mengusulkan pembentukan kelompok-kelompok profesional yang berfungsi sebagai sumber solidaritas bagi orang-orang dewasa.
Durkeim berpendapat bahwa pendidikan mempunyai banyak fungsi :
a. Memperkuat solidaritas sosial
· Sejarah: Belajar tentang orang-orang yang melakukan hal-hal yang baik bagi banyak orang membuat seorang individu merasa tidak berarti.
· Menyatakan kesetiaan: Membuat individu merasa bagian dari kelompok dan dengan demikian akan mengurangi kecenderungan untuk melanggar peraturan.
b. Mempertahankan peranan sosial
· Sekolah adalah masyarakat dalam bentuk miniatur. Sekolah mempunyai hierarkhi, aturan, tuntutan yang sama dengan "dunia luar". Sekolah mendidik orang muda untuk memenuhi berbagai peranan.
c. Mempertahankan pembagian kerja.
· Membagi-bagi siswa ke dalam kelompok-kelompok kecakapan. Mengajar siswa untuk mencari pekerjaan sesuai dengan kecakapan mereka.
3. Karya-karya
Karya-karya Emile Durkheim yang merupakan empat buku klasik dalam sejarah perkembangan ilmu sosial, adalah:
a. De la Division du Travail Social: Etude Des Societes Superieurs, atau dalam bahasa Indonesianya ‘Pembagian Kerja dalam Masyarakat’, buku ini terbit pada tahun 1893. Kemudian buku tersebut diterjemahkan dalam bahasa Inggris pertama kali oleh George Simpson pada tahun 1933 denga judul ‘The Division of Labor in Society’ di penerbit The Free Press, New York, Amirika. Selian itu, buku ini juga merupakan tesis Durkheim dalam meraih gelar Doktornya.
b. Les Regles de la Methode Sociologique, adalah karya kedua Emile Durkheim, buku ini terbit pada tahun 1895. Diterbitkan dalam bahasa Inggris untuk yang pertama kalinya pada tahun 1938 oleh Sarah A. Solovay dan Jhon M. Meuller dengan judul ‘The Rules of Sociological Method’ atau ‘Aturan-aturan dalam Metode Sosiologi’ di penerbit The Free Press, New York, Amirika.
c. Pada tahun 1877, Emile Durkheim kembail menerbitkan buku yang berjudul Le Suicide: Etude de Sociologie. Dalam buku ini Durkheim mendefinisikan bunuh diri sebagai "kematian yang secara langsung atau tidak langsung merupakan hasil dari tindakan positif atau negatif dari sang korban itu sendiri". Buku ini diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh John a. Spaulding dan George Simpson pada tahun 1951 dengan judul ‘Suicide: A Study in Sociology’ (Bunuh Diri: Studi dalam Sosiologi). Buku ini diterbitkan oleh penerbit Free Press, Glencoe.
d. Buku keempat hasil karya Emile Durkheim adalah Les Formes Elementaires de la Vie Religieuse: Le Systeme Totemique en Australie (Dasar-dasar Kehidupan Agama) yang terbit pada tahun 1912. Buku ini terbit dalam bahsa Inggris pada tahun 1915 dengan judul ‘The Elementary Forms of the Religious Life: A Study in Religious Sociology’ oleh John Ward Swain, Allen, London, dan Unwin, McMillan, New York.
C. Pemikiran Emile Durkheim
Emile Durkheim hidup di masa Perancis yang pada saat itu sedang mengalami kemerosotan moral. Maka Durkheim berusaha mencari suatu terobosan agar dapat menyatukan masyarakat Perancis melalui suatu pendidikan moral yang di ajarkan di setiap institusi pendidikan. Durkheim berargumen, dengan adanya suatu pendidikan moral maka masyarakat di Perancis dapat memadu kehidupan sosial mereka. Inilah yang menjadi kunci mengapa Durkheim sangat konservatif dan mengutamakan adanya suatu keteraturan dalam masyarakat melalui solidaritas atau integrasi. Untuk dapat mempelajari pendidikan moral, maka Durkheim menggunakan metode ilmiah sama seperti mempelajari ilmu alam. Walaupun hidup di jaman di mana sosialisme Perancis begitu kuat pengaruhnya, Durkheim tidak sepenuhnya setuju dengan konsep ini. Menurut dia, Sosialisme dapat membuat moralitas dalam suatu masyarakat menjadi tinggi namun Durkheim tidak setuju ketika konteks Sosialisme dikaitkan dengan suatu kekerasan. Dengan adanya tingkat moralitas yang tinggi, maka cita-cita Durkheim untuk membentuk suatu masyarakat yang damai, teratur, dan bebas konflik akan tercapai dengan sendirinya.
Seperti pemikiran Spencer dan Comte, Emile Durkheim juga memiliki pemikiran mengenai evolusi dari masyarakat, yaitu dari masyarakat yang solidaritas mekanik yang primitif dimana komunitas yang homogen hidup bersama tumbuh menuju solidaritas organis yang semakin heterogen, setiap orang lebih individual, dan hubungan sosial yang terjalin didasari kebutuhan dasar tiap orang. Di karyanya The Division of Labor in Society (1893-1964) ia menyimpulkan bahwa masyarakat dipersatukan terutama oleh fakta sosial berupa ikatan moralitas bersama yang disebut juga kesadaran kolektif. Durkheim mencoba untuk menjawab mengapa masyarakat dengan keberagamannya tetap bisa hidup bersama? Jawaban yang diberikannya menjadi bagian dari fungsionalismenya.
Ia beragumen bahwa keadaan seperti meningkatnya kepadatan populasi yang berasal dari imigrasi, pertumbuhan penduduk dan semacamnya menekan jarak sosial antara individu dengan hal lain seperti contohnya alat transportasi dan telekomunikasi yang merupakan kebutuhan sehingga memunculkan kompetisi untuk memenuhinya. Kompetisi yang terjadi pada akhirnya memenuhi kebutuhan masing-masing individu dan Durkheim merasa dengan menekan kompetisi dan meningkatkan kerja sama secara individual ini kebutuhan tetap dapat dipenuhi dan individu yang berbeda-beda dapat hidup berdampingan. Hal tersebut dikenal dengan ‘sistem pembagian kerja’, adanya sistem pembagian kerja tersebutlah yang dimaksudkan Durkheim sebagai evolusi masyarakat. Perubahan dari solidaritas mekanik menjadi solidaritas organik, dimana dalam solidaritas ini masyarakat seperti sebuah sistem organ yang terdiri dari sub-sub sistem yang masing-masingnya mempunyai fungsi dalam menjalankan sistem organ tersebut.
Evolusi masyarakat Durkheim, menjelaskan bahwa masyarakat akan berkembang dari homogen menjadi heterogen karena kebutuhan hidupnya. Hal ini yang membuat terjadinya division of labor pada masyarakat sehingga dapat saling memenuhi kebutuhan yang beragam dan hidup berdampingan. Pada teori ini Durkheim menekankan pada tingginya tingkat moralitas sehingga dapat terjadi evolusi masyarakat yang damai.
Selain itu menurut Emile Durkheim, perkembangan masyarakat meliputi banyak perubahan-perubahan yang terjdi secara simultan pada berbagai komponen masyarakat. Suatu perubahan yang sangat penting menyangkut suatu proses urutan dari pertambahan kepadatan penduduk yang disebabkan oleh meningkatnya interaksi dan komunikasi, yang mengakibatkan semakin meningkatnya spesialisasi dalam pembagian kerja. Durkheim mempergunakan variasi pembagian kerja sebagai dasar untuk membuat klasifikasi masyarakat, sesuai dengan taraf perkembangannya. Dia lebih cenderung menggunakan dua taraf klasifikasi, yaitu yang sederhadan dan kompleks. Tipe-tipe pembagian kerja tersebut dihubungkan dengan tipe-tipe solidaritas. Artinya masyarakat sederhana dan kompleks, kesatuan dan keutuhannya dipertahankan dengan berbagai cara. [3]
Apabila dalam pembagian kerja terdapat sedikit diferensiasi, maka solidritas didasarkan pada homogenitas; artinya, masyarakat sebenaranya sejenis atau sama. Dengan perkataan lain, masyarakat mempunyai cita-cita dan nilai-nilai yang sama. Kepribadian dari masing-masing merupakan pencerminan mikroskopis dari masyarakat. Oleh karena itu, maka secara relatif tidak terdapat kualitas-kualitas pribadi yang dapat memisahkan pribadi dari kolektiva. Durkhem menyebut solidaritas tersebut dengan solidaritas mekanis. Intinya solidaritas mekanis didasarkan pada homogenitas moral dan sosial, sehingga berciri; tradisional, non individualistik (komunal), keadilan kolektif, properti bersifat komunal, kehendak komunitas mendominai kehendak individu, kekerabatan, lokalisme, sakral.
Apabila pembagian kerja bertambah kompleks, maka kapasitas masyarakat semakin meninggi, akan tetapi dasar homogenitas ditransformasikan. Solidaritas didasarkan pada hubungan saling bergantung, antara bagian-bagian masyarakat yang telah mengenal pengkhususuan itu Durkheim menyebutnya dengan solidaritas organis. masyarakat didasarkan pada individu-individu dengan fungsi yang berbeda yang dipersatukan oleh peran-peran komplementer. Sehingga berciri; personal, kesamaan kesempatan serta kesederajatan, regulasi kooperasi serta pertukaran, keseimbangan tugas dan kewajiban dan, otonomi berserikat.
D. Kesimpulan
Emile Durkheim dilahirkan di Epinal, Prancis, yang terletak di Lorraine pada tanggal 15 April 1858. Ia berasal dari keluarga Yahudi Prancis yang saleh. Ayah dan kakeknya adalah pendeta Yahudi (rabbi). Dia meninggal pada tanggal 15 November 1917 ketika dia hampir berumur 60 tahun, setelah sebelumnya dia mulai sakit-sakitan pada tahun 1916.
Dalam hal pendidikan, Durkheim pernah menempuh studi di Prancis, Ecole Normale Superieur, di Paris, pada tahun 1879 sampai pada tahun 1882. Setelah menamatkan pelajaran di Ecole Normale, sampai tahun 1887, kecuali setahun ketika ia berdiam di Jerman untuk mempelajari situasi pemikiran di sana, Durkheim mengajar diberbagai Lycee. Pada tahun 1887 dia diundang untuk mengajar di Universitas Bordeaux dan pada tahun 1896 ia menjadi Profesor penuh di Universitas Bordeaux. Sampai denga tahun 1902, ketika ia akhirnya diundang ke Sorbonne (Paris). Durkheim berhasil menyelesaikan tiga dari empat buku klasiknya, dan pada tahun 1906 ia menjadi profesor ilmu pendidikan dan sosiologi di Universitas tersebut.
Karya-karyanya adalah De la Division du Travail Social: Etude des Societes Superieurs pada tahun 1893, Les Regles de la Methode Sociologique pada tahun 1859, Le Suicide: Etude de Sociologie pada tahun 1877, dan Les Formes Elementaires de la Vie Religieuse: Le Systeme Totemique en Australie pada tahun 1912. Buku tersebut merupakan empat buku klasik dalam sejarah perkembangan ilmu sosial.
Pemikiran Emile Durkheim mengenai evolusi dari masyarakat, yaitu dari masyarakat yang solidaritas mekanik yang primitif dimana komunitas yang homogen hidup bersama tumbuh menuju solidaritas organis yang semakin heterogen, setiap orang lebih individual, dan hubungan sosial yang terjalin didasari kebutuhan dasar tiap orang, yaitu dengan menekan kompetisi dan meningkatkan kerja sama secara individual sehingga kebutuhan tetap dapat dipenuhi dan individu yang berbeda-beda dapat hidup berdampingan. Hal tersebut kemudian dikenal dengan istilah ‘Sistem Pembagian Kerja’.
DAFTAR PUSTAKA
Soekanto. Soerjono ,1982, Teori Sosiologi tentang Pribadi Dalam Masyarakat, Jakarta: Ghalia Indonesisa
Abdullah. Taufik dan A.C. Van Der Leeden, 1986, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
[1] Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hl:6
[2] Dalam peristiwa itu (1896-1898) masyarakat cendekiawan dam politik Prancis terpecah menjadi duakelompok yang saling bermusuhan. Peristiwa ini bermula dari terbongkarnya skandal di Markas Besar tentara Prancis dengan hilangnya dokumen-dokumen militer, yang dalam pengusutan dilakukan secara tidak jujur, seorang opsir keturunan Yahudi dituduh sebagai pelakunya. Dia dibuang ke pulau Setan. Namun pemeriksaan selanjutnya dia terbukti memang tidak bersalah.
[3] Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi tentang Pribadi Dalam Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesisa, 1982), hl:190
Tidak ada komentar:
Posting Komentar